Utami menahan air matanya agar tidak tumpah. Jalan raya di hadapannya tampak buram. Bulir-bulir bening berdesakan di pelupuknya dan siap jatuh kapan saja. Menyakitkan mengetahui Joandra lebih memilih pekerjaan dan prinsip yang dipertahankan sampai mati ketimbang Utami yang jelas-jelas adalah wanita yang dicintainya. Utami merasa kalah. Ia pikir selama ini dirinya adalah prioritas bagi Joandra. Tapi apa buktinya?
Tadi saat Utami bergegas meninggalkan Joandra, laki-laki itu memang mengejarnya sambil memanggil namanya. Namun Utami yang terlanjur kecewa menggas mobilnya sekencang mungkin meninggalkan kantor Joandra. Kantor yang tidak layak disebut sebagai kantor. Tempat tersebut lebih cocok disebut sebagai gudang, ruangan tua tidak berguna atau apa pun yang menyimbolkan bahwa tempat tersebut sangat tidak tepat dijadikan sebagai tempat beraktivitas. Kecil, sempit dan pengap. Beberapa bagian dindingnya bahkan sudah terkelupas.
Utami tidak mengerti pada kekasihnya itu. Di saat dia bisa mendapat kehidupan yang jauh lebih baik dengan membangun karir di firma hukum, Joandra malah mengabdi di LBH kecil.
Dulu Joandra beralasan, dia sudah tahu rasanya kerja di firma hukum saat magang di kantor advokat selama dua tahun sebelum resmi menjadi pengacara. Kata Joandra dia muak menangani masalah yang itu-itu saja, seperti perselingkuhan, perzinahan atau apa pun yang tidak jauh-jauh dari masalah selangkangan. Padahal menurut Utami bukankah untuk menjadi pengacara yang sukses harus mampu menangani kasus apa saja tanpa pilih-pilih?
Utami kembali ke rumah. Dia mengurungkan niat untuk datang ke butik hari ini. Padahal jadwalnya penuh. Selain mengerjakan endorse-an, dia juga harus mengurus stok barang-barang yang sudah banyak yang kosong.
Percuma Utami datang ke butik. Mood-nya sedang buruk. Yang ada bukannya kerja dengan baik, dia justru akan mengacaukan segalanya.
Rumah sepi saat Utami tiba. Mungkin kedua orang tuanya sudah berangkat ke tempat aktivitas masing-masing. Utami naik ke lantai dua. Setelah masuk ke kamar, gadis itu membanting tas ke tempat tidur. Utami kesal. Pada Joandra yang tidak mau mengalah. Pada papinya yang ternyata membohonginya. Ingat lelaki itu, Utami mengambil tas tadi lalu mengeluarkan ponsel dari sana. Dia ingin bicara dengan papinya sekarang.
"Halo." Papinya menjawab tidak lama setelah panggilan tersambung.
"Kenapa Papi bohong sama aku? Kenapa Papi nggak jujur? Kenapa Papi tutupi semuanya?" Utami langsung menyerang.
"Kamu kenapa Tami? Kenapa langsung marah-marah sama Papi?" Mahawira keheranan lantaran tidak biasanya putrinya begitu.
"Papi bilang nggak melakukan apa-apa. Papi nggak pernah melanggar peraturan atau melakukan hal-hal yang merugikan orang-orang. Tapi ternyata lebih parah dari itu. Apa salahnya Papi bayar pesangon mereka? Papi nggak akan rugi. Justru Papi bisa kerja dengan tenang setelahnya."
Hening sejenak dari arah Mahawira. Lalu laki-laki itu berdeham.
"Jadi kamu sudah tahu? Pacarmu udah ngadu?"
"Dia nggak ngadu apa-apa, tapi aku yang nanya makanya aku tahu."
Mahawira mendengkus, mencoba untuk mematahkan mental anaknya.
"Dari sini seharusnya kamu bisa menilai. Dia nggak menganggap kamu sebagai orang yang berarti untuk dia. Kamu nggak penting. Buktinya saja dia nggak bilang apa-apa kan? Dia mengambil keputusan tanpa sepengetahuan kamu. Coba kamu pikir lagi, Tami. Apa dia benar-benar mencintai kamu? Atau jangan-jangan hanya kamu sendiri yang mencintai dia?"
"Nggak usah bahas cinta, Pi. Joandra sangat mencintai aku. Papi jangan ragukan hal itu. Buktinya sudah enam tahun aku dan dia bersama."
"Oh ya? Seharusnya kalau memang dia mencintai kamu setidaknya dia mau mendengarkan kamu. Kalau dia benar-benar cinta semestinya dia mencabut laporan itu. Tapi apa buktinya? Dia tidak melakukan itu. Seharusnya dari kejadian ini kamu berpikir bahwa dia tidak benar-benar tulus. Buka mata hati kamu, Tami. Joandra memacari kamu hanya demi kenyamanan."
"Kenyamanan apa maksud Papi?"
"Joandra tahu kamu memiliki segalanya. Uang, harta benda dan apa pun yang kamu miliki tidak akan habis dalam waktu yang singkat. Tapi kamu tidak sadar karena dibutakan oleh cinta. Lagian apa yang kamu lihat dari dia? Kamu bisa dapat jauh yang lebih baik dari laki-laki itu. Seribu kali lebih baik melebihi laki-laki itu dalam hal apa pun!" ucap Mahawira menggebu-gebu mencoba memengaruhi putrinya.
"Papi salah. Joandra mencintai aku dengan tulus," bantah Utami. "Kalau Joandra mengincar harta kita, dia pasti nggak akan menolak kerja untuk Papi. Dia nggak akan memperkarakan Papi ke meja hukum."
Mahawira mendengkus. "Itu hanya pencitraan biar dia terpuji di mata kamu. Agar dianggap sebagai lelaki pekerja keras. Sadarlah, Tami. Dia tidak sungguh-sungguh mencintai kamu. Buktinya saja dia melawan Papi. Baru kali ini ada orang yang menentang orang tuanya padahal memacari anaknya.”
Utami kehabisan kata. Ia merasa kalah. Utami tidak ingin membela siapa-siapa. Semua membuatnya muak. Pacarnya, ayahnya. Keduanya sama-sama egois. Tidak ada yang mengerti dirinya.
Bersambung~
Sungguh, Utami sama sekali tidak berniat untuk memperlakukan Joandra seperti ini. Utami tidak tiga melihat muka Joandra saat tadi memandangi kepergiannya dengan Daniel. Utami melakukan ini hanya ingin tahu apa Joandra benar-benar mencintainya. Apa Joandra akan cemburu melihat Utami pergi dengan pria lain?Daniel berdeham yang membuat Utami menggerakkan kepala memandang laki-laki itu. Dia mendapati Daniel tersenyum padanya.“Lagi mikirin apa, Tami?” tanyanya.“Nggak ada, Bang,” jawab Utami berbohong. Padahal kepalanya penuh dengan Joandra.“Jujur aja, Tami. Abang tahu kamu tertekan. Semua ini berat buat kamu. Tapi kamu harus realistis. Joandra hanyalah laki-laki yang kamu kenal setelah kamu dewasa. Sedangkan Om Wira adalah orang tua kamu. Dia yang menyebabkan kamu ada di dunia. Kalau bukan karena orang tua kamu nggak akan jadi apa-apa. Kasihan Om Wira kalau anaknya yang disayang dengan sepenuh hati, dibesarkan dengan kasih sayang, namun setelah dewasa malah lebih memilih orang lain. Bu
Tiga pasang mata yang lain serentak memandang ke arah pintu menyaksikan aksi Utami. Di saat itulah Joandra menyadari bahwa kedatangannya tidak tepat waktu.“Aku mengganggu?” tanya Joandra setelah Utami berdiri tepat di hadapannya.Kekasihnya itu menggelengkan kepala.“Tadi dua kali aku cari kamu ke butik tapi kata Febi kamu nggak masuk, katanya kamu sakit kepala. Makanya aku ke sini. Masih sakit kepala?”“Udah agak mendingan,” jawab Utami. Dia berbohong karena nyatanya kepalanya bertambah sakit saat ini setelah mengetahui rencana papinya.“Tami, kenapa Joandra nggak disuruh masuk?” Terdengar suara Maudy menyela obrolan mereka.Utami terdiam dan hanya bisa memandangi wajah Joandra. Utami tidak ingin Joandra masuk lalu duduk bersama orang tuanya. Dia tidak ingin Joandra mendapat sikap kasar dari orang tuanya. Dia tidak mau Joandra tersinggung.Tidak mendapat respon dari Utami, Maudy langsung berdiri lalu menghampiri keduanya yang masih berdiri di sisi pintu.“Jo, ayo masuk, kenapa berdi
Utami terbangun dan mendapati hari sudah gelap. Entah berapa lama dirinya tertidur.Tadi siang setelah menangis sepuasnya karena kesal, Utami ketiduran. Sambil menggeliatkan badan dijangkaunya ponsel di nakas. Tadi Utami sengaja mematikannya agar Joandra tidak bisa menghubungi.Apa yang dilakukan Joandra saat ini? Apa lelaki itu tidak merasa bersalah lalu mencoba menghubungi Utami?Ragu sejenak, Utami memutuskan untuk membiarkan ponselnya tetap mati. Kalau Joandra merasa bersalah dia pasti akan mencari Utami ke mana pun.Setelah mandi Utami turun ke lantai utama. Perutnya keroncongan. Dia ingin makan sekarang."Papi mana, Bi?" tanyanya pada pembantu yang sudah bertahun-tahun mengabdi di rumah itu."Ada di ruang tamu, Non. Sama Ibu juga.""Lagi ada tamu?""Betul, Non. Tadi tidak sengaja Bibi lihat saat mengantar minum. Orangnya cakep, masih muda. Sebelas dua belas sama pacarnya Non." Sang ART bertutur dengan muka penuh binar."Siapa dia, Bi?" tanya Utami penasaran."Bibi juga tidak tah
Utami menahan air matanya agar tidak tumpah. Jalan raya di hadapannya tampak buram. Bulir-bulir bening berdesakan di pelupuknya dan siap jatuh kapan saja. Menyakitkan mengetahui Joandra lebih memilih pekerjaan dan prinsip yang dipertahankan sampai mati ketimbang Utami yang jelas-jelas adalah wanita yang dicintainya. Utami merasa kalah. Ia pikir selama ini dirinya adalah prioritas bagi Joandra. Tapi apa buktinya?Tadi saat Utami bergegas meninggalkan Joandra, laki-laki itu memang mengejarnya sambil memanggil namanya. Namun Utami yang terlanjur kecewa menggas mobilnya sekencang mungkin meninggalkan kantor Joandra. Kantor yang tidak layak disebut sebagai kantor. Tempat tersebut lebih cocok disebut sebagai gudang, ruangan tua tidak berguna atau apa pun yang menyimbolkan bahwa tempat tersebut sangat tidak tepat dijadikan sebagai tempat beraktivitas. Kecil, sempit dan pengap. Beberapa bagian dindingnya bahkan sudah terkelupas.Utami tidak mengerti pada kekasihnya itu. Di saat dia bisa menda
Dengan cepat Joandra memandang ke arah pintu. Bibirnya melengkung memberi senyum. Ditinggalkannya tempat duduk lantas berjalan menyongsong kekasihnya itu."Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" Joandra mengecup pipi Utami dengan perasaan sayang. Iya, Joandra memang sesayang itu pada Utami. Hanya Utami yang bertahan lama di hatinya. Bukan karena siapa dan apa yang dimiliki gadis itu. Tapi karena Joandra mencintainya dengan tulus.Namun kali ini reaksi yang didapatkannya tidak seperti biasa. Tidak ada senyum ceria atau kecupan balasan."Gimana mau bilang, dari tadi aku telfon kamu tapi nggak direspon."Joandra spontan meraba saku celananya dengan kedua tangan namun tidak merasakan ada ponselnya di dalam sana. Lelaki itu lantas berjalan menuju meja lalu mencari ponsel di dalam ransel. Benda itu ditemukan dalam keadaan silent. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Utami."Sorry, Ta, sorry, ternyata tadi hpku silent." Joandra mengangkat benda tersebut lantas menunjukkan pada Utami.Utami m
Dengan refleks Utami mengangkat kepala mendengar nama kekasihnya disebut. “Apa, Pi? Joandra?” “Apa ucapan Papi kurang jelas? Pacar kamu itu melaporkan perusahaan kita. Dia ingin menghancurkan Papi!” beritahu papinya menggebu-gebu. “Nggak mungkin Jo mau menghancurkan Papi. Itu sangat nggak masuk akal,” bantah Utami menyangkal. Dia yakin sekali jika kekasihnya tidak akan melakukan hal konyol tersebut. “Kenapa tidak mungkin? Nyatanya itu terjadi. Dia menuntut perasaan kita agar nama Papi tercoreng, reputasi Papi rusak. Lalu setelahnya apa? Dia tertawa melihat Papi hancur!” Utami menggeleng-gelengkan kepala, tidak sependapat dengan pikiran sang ayah. “Aku nggak yakin kalau itu Jo, Pi. Apa untungnya Jo melaporkan Papi? Jo masih waras. Dia nggak akan mungkin melakukan hal konyol begitu.” Utami terus bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Utami sadar betul dan tahu kekasihnya itu sampai ke akar-akar. Namun, Joandra tidak mungkin berlawanan dengan orang tuanya kan? Joandra tidak akan sen
Utami baru saja turun dari kamarnya yang berada di lantai dua. Dia bermaksud pergi ke butik lalu beraktivitas seperti biasa. Suasana rumah sangat sepi kala gadis itu melintasi bagian demi bagian. Rumah itu memang selalu sepi. Selain dirinya adalah anak tunggal, kedua orang tuanya juga sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing. Papinya dengan perusahaan yang beranak pinak. Sedangkan maminya dengan usaha franchise makanan yang semakin berkembang dengan pesat.“Iya, Feb, aku masih di rumah, kamu cek stok dulu, nanti kita bicarain.” Utami menjepit ponsel di antara telinga dan pundaknya sembari terus melangkahkan kaki.“Tami! Nggak sarapan dulu?”Utami memandang ke sumber suara. Ternyata maminya ada di ruang makan. Dia yang barusan memanggil Utami.Bukan hanya maminya, namun papinya juga ada di sana. Utami yang tadinya berniat untuk sarapan di butik mengurungkan niat tersebut lalu membelokkan langkah menuju meja makan.“Aku pikir Mami masih di Bandung. Kapan nyampe, Mi?” Utami tanyakan semba
Aromaterapi yang bersumber dari diffuser menyeruak ke udara ketika Joandra membuka pintu rumah. Bukan dirinya, tetapi sang kekasih cantiknyalah yang menyediakan. Joandra hanya tinggal menggunakan apa pun yang Utami sediakan.Utami geleng-geleng kepala ketika masuk ke kamar dan menemukan tempat tidur dalam keadaan berantakan. Utami mendekat lalu mulai membersihkannya.“Sorry, Ta, tadi pagi aku nggak sempat beresin,” ucap Joandra sembari membuka jaket lalu menggantungnya di belakang pintu. Setelahnya laki-laki itu mendekat. Dipeluknya sang kekasih dari belakang. “Percuma kamu beresin, kan mau diberantakin lagi,” bisiknya seduktif di telinga Utami.Gadis itu menggerakkan kepalanya, mencoba memandang Joandra yang saat ini memeluknya dari belakang. Lelaki itu menyambut dengan satu kecupan lembut di bibir Utami.Utami membalikkan badan lalu membalasnya. Berciuman dengan Joandra tidak akan pernah membuatnya bosan.“Dingin nih, Sayang …,” bisik Joandra di sela-sela ciuman mereka.“Aku juga,”
Tidak satu kali pun melintas di benak Joandra bahwa orang yang akan ditemuinya adalah Mahawira, calon mertuanya sendiri. Mana dia tahu kalau Mahawiralah yang membeli perusahaan tersebut. Namun bukan berarti membuat niatnya jadi surut. Sembari menepis keterkejutannya Joandra mengayunkan kaki mendekati pria itu. Dia duduk di kursi yang telah disediakan untuknya."Sore, Om, saya nggak tahu kalau Om yang membeli perusahaan ini." Itu kalimat pertama yang Joandra sampaikan setelah mendarat dengan sempurna di kursi."Tidak apa-apa." Mahawira tersenyum. "Mau minum apa, Jo?" sambung lelaki itu bersikap seakan sedang menyambut kekasih anaknya di rumah.Kedatangan Joandra jelas bukan untuk bertamu. Dia mewakili banyak suara yang menginginkan hak mereka."Maaf, Om, saya ingin membicarakan mengenai tuntutan para mantan karyawan. Mereka meminta agar uang pesangon dibayarkan. Dalam hal ini saya mewakili mereka untuk bicara," ucap Joandra sopan menuturkan maksudnya.Mahawira mengangguk-angguk yang me