Utami terbangun dan mendapati hari sudah gelap. Entah berapa lama dirinya tertidur.
Tadi siang setelah menangis sepuasnya karena kesal, Utami ketiduran. Sambil menggeliatkan badan dijangkaunya ponsel di nakas. Tadi Utami sengaja mematikannya agar Joandra tidak bisa menghubungi.
Apa yang dilakukan Joandra saat ini? Apa lelaki itu tidak merasa bersalah lalu mencoba menghubungi Utami?
Ragu sejenak, Utami memutuskan untuk membiarkan ponselnya tetap mati. Kalau Joandra merasa bersalah dia pasti akan mencari Utami ke mana pun.
Setelah mandi Utami turun ke lantai utama. Perutnya keroncongan. Dia ingin makan sekarang.
"Papi mana, Bi?" tanyanya pada pembantu yang sudah bertahun-tahun mengabdi di rumah itu.
"Ada di ruang tamu, Non. Sama Ibu juga."
"Lagi ada tamu?"
"Betul, Non. Tadi tidak sengaja Bibi lihat saat mengantar minum. Orangnya cakep, masih muda. Sebelas dua belas sama pacarnya Non." Sang ART bertutur dengan muka penuh binar.
"Siapa dia, Bi?" tanya Utami penasaran.
"Bibi juga tidak tahu. Coba Non Tami lihat sendiri."
Utami mengangguk lantas melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Tiba di sana dia melihat orang tuanya berbicara dengan seorang laki-laki muda. Persis seperti yang didefinisikan pembantunya tadi laki-laki itu good looking. Kulitnya terang, fitur wajahnya menarik—bibir tipis, hidung mancung dan sepasang matanya yang tajam. Sebelas dua belas dengan Joandra. Bedanya Joandra berkulit eksotis dan mata laki-laki itu tidak tajam tapi teduh walau sedang marah sekalipun.
Tapi kapan memangnya Joandra marah padanya? Joandra tidak pernah marah pada Utami. Jangankan marah, satu kali pun Utami belum pernah mendengar Joandra berbicara dengan nada tinggi. Hal itu yang tidak pernah Utami temukan dari laki-laki manapun yang dia kenal. Jadi tetap Joandra jauh lebih segalanya dari pria tampan yang saat ini sedang berbicara dengan orang tuanya itu.
Bagi Utami, Brown sugar is the best flavor. Brown sugar better than granulated sugar.
"Tami, kenapa berdiri di sana?"
Utami kaget. Maminya mengetahui keberadaannya.
"Ayo sini!" Perempuan itu melambaikan tangan agar sang putri mendekat.
Utami melangkah menghampiri. Tiga pasang mata menyambutnya.
"Kamu masih ingat nggak, ini Daniel. Katanya dulu satu alumni sama kamu,” kata Maudy mengenalkan.
Utami pandangi pria berkemeja maroon itu. Dia melempar senyum pada Utami. Utami membalas sekenanya. Utami merasa tidak asing lagi. Dia seperti sering melihatnya dulu.
"Apa kabar, Tami? Masih ingat sama Abang?"
Ih, Abang, sok akrab banget. Utami meledek di dalam hati. Mungkin karena dia merasa lebih tua dari Utami.
"Kita dulu satu kampus, tapi beda fakultas. Kamu di Fekon, Abang di Hukum. Abang dua tingkat di atas kamu."
Setelah melihat lebih dekat, Utami ingat sekarang. Pria ini satu angkatan dengan Joandra. Siapa ya namanya? Oh iya, Daniel.
"Om, Tante, Tami kayaknya lupa sama saya nih,” tawa laki-laki itu menyaksikan Utami termangu.
Mahawira dan istrinya tertawa.
"Beneran kamu lupa sama Daniel?" tanya Maudy.
"Daniel ini sekarang sudah jadi pengacara kondang lho, Ta. kamu tahu kan law firm Joseph Simamora & Partners yang terkenal itu? Nah, Daniel ini kerja di sana,” terang Maudy lagi.
"Oh," hanya itu respon Utami.
Selanjutnya dia mendengarkan saat ketiganya berbincang-bincang.
"Om sering melihat kamu tampil mengisi podcast. Om kagum sama kamu. Kamu sangat cerdas dan berintegritas. Ini baru namanya the great lawyer. Membela kebenaran dan keadilan pada tempatnya, bukannya demo sana sini nggak jelas lalu main lapor orang seenaknya.”
Sampai di sini Utami tahu siapa yang dimaksud Mahawira. Papinya itu sedang menyindir Joandra. Utami hanya bisa diam dan terus menyaksikan percakapan tersebut dengan kepala dipenuhi tanda tanya. Untuk apa Daniel ke sini?
Daniel tertawa. “Om bisa saja. Saya nggak sehebat itu, Om. Om terlalu berlebihan,” ucapnya sok merendah.
“Nggak berlebihan gimana? Sudah banyak buktinya kalau kamu sangat berprestasi. Kamu yang terlalu rendah hati. Jarang-jarang Om ketemu anak muda seperti kamu. Om malah sering menemui orang yang masih muda, nggak punya prestasi apa-apa, tapi songong bukan main.”
Tanpa memandang padanya Utami tahu bahwa papinya sedang menyindir Joandra. Utami tidak suka cara Mahawira yang menjelek-jelekkan Joandra pada orang lain. Joandra salah kalau mengira Mahawira akan profesional seperti ucapan pria itu tadi pagi. Buktinya saat ini.
“Hahaha …” Daniel tertawa. “Siapa tuh orangnya, Om?”
“Nanti kamu juga tahu sendiri.” Mahawira juga tertawa lalu memandang pada Utami. “Tami, jadi Daniel ini adalah pengacara baru Papi. Dia dan timnya nanti yang akan membantu Papi menyelesaikan masalah Cipta Dinamika.”
Tim?
Utami tahu persis Joandra akan kalah. Jangankan dengan tim, cukup hanya dengan bantuan seorang lawyer maka papinya yang berkuasa akan memenangkan kasus itu. Utami tidak mau harga diri Joandra semakin jatuh di mata keluarga besarnya. Selama ini Joandra menjadi bulan-bulanan karena pekerjaannya yang tidak jelas. Mereka mengolok-olok Joandra ingin masuk surga karena bekerja membantu orang-orang dengan sukarela. Tapi Utami tidak ambil pusing atas olokan yang dikemas dalam bentuk candaan itu.
“Pi, aku rasa nggak perlu pakai tim pengacara segala. Apa susahnya sih Papi bayar aja? Kita kan nggak akan rugi, Pi. Daripada buat bayar pengacara lebih baik Papi bayar pesangon karyawan.” Utami yakin sepenuhnya untuk membayar pengacara papinya harus merogoh kocek lebih dalam ketimbang membayar uang pesangon karyawan.
“Gimana sih kamu, Ta? Papi kan nggak salah. Masa Papi yang harus menanggung?” jawab Mahawira santai.
Lalu Daniel ikut tersenyum pada Utami.
“Kamu tenang aja, Tami. Jangan pikirkan masalah ini,” ucap laki-laki itu.
***
Hari ini Joandra dipusingkan oleh banyak hal. Mulai dari Panji dan teman-temannya yang mulai goyah, LBH rekanan yang menyatakan mundur setelah tahu mereka berhadapan dengan siapa. Biasanya para LBH saling berkaitan. Mereka saling membantu. Namun LBH Bakti dan LBH Ruang keadilan hari ini menyatakan mundur.
Di antara semua hal yang memusingkan kepalanya Utami menempati tempat tertinggi di tumpukan pikiran Joandra.
Tadi Joandra mencari Utami ke butik tapi kata Febi atasannya itu hari ini belum datang. Lalu malam ini Joandra kembali menyambangi tempat tersebut.
"Ci Tami nggak ke sini dari pagi, Mas Jo," katanya sakit kepala." Itu informasi yang Joandra dapat.
Sejak mereka berdebat tadi pagi Utami mematikan ponsel. Joandra tahu kekasihnya itu marah padanya. Tapi Utami mungkin tidak tahu sebesar apa kegalauan Joandra.
"Terus dia bilang apa lagi, Feb?" tanya Joandra.
"Nggak ada sih. Tadi awalnya Ci Tami rencananya memang mau ke sini. Tiba-tiba nge-chat katanya sakit kepala. Coba deh Mas Jo ke rumah Ci Tami. Kali sakit kepalanya langsung sembuh," kata Febi tertawa.
Joandra menjawab dengan tawa kecil lalu berpamitan.
Dari butik, laki-laki itu bergerak menuju rumah kekasihnya. Joandra siap jika nanti harus berhadapan dengan orang tua Utami.
Joandra tidak tahu bagaimana nasib hubungannya dengan Utami nanti setelah kasus ini. Mungkin terlalu naif jika berpikir hubungan mereka akan baik-baik saja. Tapi memang begitu harapannya.
Setibanya di rumah Utami, Joandra langsung masuk ke halaman setelah sekuriti membuka gerbang. Pekerja di sana sudah tahu dirinya adalah kekasih anak majikan mereka.
Langkah kaki Joandra tertahan tepat di depan pintu saat melihat empat orang yang saat ini sedang bercakap-cakap. Ternyata ada tamu, yang duduk membelakangi Joandra.
Ingin mundur tapi Utami sudah terlanjur melihat.
"Jo!" Utami langsung berdiri lalu bergegas menyongsong kekasihnya.
Bersambung~
Utami tidak mengira jika reaksi yang akan dia terima dari Joandra adalah pelukan hangat seperti ini. Pelukan yang sudah bertahun-tahun Utami rindukan.Utami balas dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Joandra. Dia menahan agar air matanya tidak menetes."Maaf untuk apa, Jo?" lirihnya dalam pelukan Joandra.Banyak yang ingin Joandra sampaikan. Tak sedikit hal yang ingin dia ungkapkan. Bahwa kata maaf tadi adalah mewakili seluruh kesalahannya yang tidak terhitung dan mungkin tidak akan pernah termaafkan.Kemudian yang terucap dari mulutnya adalah, "Maaf karena aku membuat semua ini terjadi.""Kamu nggak salah, Jo. Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan," balas Utami dengan pelukan yang lebih erat.Utami tidak ingin semua ini berakhir. Dia masih ingin berada lebih lama lagi di pelukan Joandra. Namun harapannya tak terkabul.Bagai disadarkan oleh kenyataan, Joandra melepaskan Utami dari dekapannya. Mereka sedang berada di ruang publik. Joandra tidak ingin menambah masalah
Hampir dua minggu lamanya Joandra berada di Medan. Begitu kondisinya pulih lelaki itu kembali ke Jakarta dan memulai aktivitasnya seperti sediakala. Berhubung pemilu sudah selesai maka Joandra lebih banyak menghabiskan hari-harinya di LBH Justicia. Tempatnya mengabdi selama ini."Bang, ada surat buat lo." Angga memberi amlop pada Joandra.Lelaki itu menerimanya, melihat nama pengirim dengan seksama kemudian membaca isi surat tersebut."Astaga." Itu kata pertama yang berhasil keluar dari mulut Joandra setelah membaca surat tersebut."Kenapa, Bang?" Angga bertanya ingin tahu."Gue dipanggil Peradi," beritahu Joandra. Peradi adalah organisasi yang menaungi para advokat di Indonesia."Masalahnya?""Kayaknya ada yang ngelaporin gue, katanya gue ngelanggar kode etik sebagai advokat.""Adaaa aja masalahnya." Angga ikut geram mengetahuinya. Seakan tidak cukup dengan mencelakai Joandra, orang-orang masih ingin menjatuhkannya dengan cara yang lain.Joandra hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu.
Sidang hari ini berlangsung panas. Pihak penggugat dan tergugat keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Masing-masing dari mereka merasa berada di jalan yang paling benar dan bersikukuh mempertahankan pendirian masing-masing. Beberapa kali sidang terinterupsi karena Daniel yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Sedangkan Joandra tetap terlihat tenang meski adu argumen seperti ini tidak hanya membutuhkan pikiran namun juga menguras energinya. Terlalu banyak berbicara memicu perasaan perih bekas operasi di perutnya. Namun, Joandra menyimpan dari orang-orang. Dia tidak boleh cengeng karena akan membuatnya lemah. Itu hanyalah bekas operasi. Semua orang yang pernah mengalami operasi pasti pernah merasakannya.Dari tempat duduknya Utami memerhatikan Joandra. Khawatir laki-laki itu akan tumbang saat sidang sedang berlangsung. Tapi syukurlah. Yang ditakutkannya tidak terjadi. Joandra baik-baik saja sampai sidang berakhir.Satu demi satu orang-orang yang menghadirinya keluar dari ruangan. Sid
Joandra memejamkan matanya. Tidak sanggup membalas Utami yang saat ini sedang menatapnya. Bukan hanya itu saja. Selain tangannya yang menggenggam jemari Joandra, tangannya yang lain menelusup ke setiap helai rambut laki-laki itu lalu membelainya dengan lembut.Perasaan malu dan bersalah menghimpit dada Joandra. Malu karena Utami sudah memberi pertolongan sampai sebegininya sedangkan besok dia harus menghadapi orang tua gadis itu. Juga merasa bersalah lantaran terlalu sering menyakiti Utami.“Sakit, Jo?” tanya Utami saat melihat Joandra meringis sembari menyentuh perutnya.“Sedikit,” jawab laki-laki itu. Seharusnya saat ini dia berada di tempat yang nyaman dan melalui masa-masa perawatan di bawah pengawasan tenaga medis.“Sabar ya, Jo. Ini nggak akan lama kok. Sebentar lagi kita nyampe.” Utami ikut meringis melihat ringisan di wajah Joandra. Meskipun waktu tempuh dengan menggunakan pesawat pribadi lebih singkat dibandingkan pesawat komersial, namun detik demi detik waktu terasa begitu
Utami mengendarai mobilnya dalam temaram malam dengan perasaan galau. Sisa-sisa hujan yang sudah berhenti masih membasahi jalan tidak ada apa-apanya dengan air mata yang mengalir di pipi Utami saat ini. Utami mengkhawatirkan kondisi Joandra. Yang terjadi saat ini sudah sangat buruk. Utami tidak ingin yang lebih buruk lagi menimpa lelaki itu.Kaki Utami begitu gemetar saat gadis itu mengayunkan langkah menyusuri koridor rumah sakit. Tepat di depan IGD Utami menemukan Panji sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang Utami tidak tahu siapa. Mengetahui kemunculan Utami, Panji beralih padanya. Lelaki itu terlihat lega mengetahui Utami akhirnya bersedia datang."Gimana keadaan Jo?" buru Utami cepat."Lagi dioperasi, Mbak.""Kejadiannya gimana?" tanya Utami lagi."Gue baru pulang terus ngeliat rumah dalam keadaan gelap. Terus ... gue ngeliat Bang Jo dalam keadaan nggak sadarkan diri di depan rumah. Ada luka tusukan di perutnya. Dan itu baru banget. Kayaknya kejadiannya nggak lama sebelum gu
Utami memijit-mijit pelipisnya. Kepalanya bertambah berat sekarang. Aruna sudah pergi bersama kebenciannya pada Utami. Lalu sekarang tinggallah Utami menghadapi Maudy dan Jennifer yang mencak-mencak memarahinya."Mami nggak nyangka kalau dialah dalang di balik semua ini. Demi apa pun Mami menyesal pernah membiarkan kamu pacaran dengan dia.""Aku yakin, dia pasti mau balas dendam karena dulu kalah ngelawan Om Wira," kata Jennifer mengompori."Dan kali ini nggak akan berubah. Dia akan tetap kalah.""Untung Ci Tami putus sama dia. Aku nggak akan rela ada pengkhianat menyelinap ke dalam keluarga kita. Lagian kenapa sih dulu Ai biarin Ci Tami pacaran sama orang itu?"Maudy memandang ke arah Utami dengan tatapan sebalnya. "Bukannya dibiarin tapi Tami-nya yang nggak mau dilarang. Sekarang lihat sendiri akibatnya kan? Orang yang kamu bela dan kamu cintai mati-matian ternyata adalah orang yang ingin menghancurkan kita. Kalau tahu begini dari dulu Mami nggak akan pernah mengizinkan kamu berhubu