"Baju yang ini gimana, Sayang?"Utami memiringkan kepalanya, memindai sosok Joandra yang saat ini mengenakan kemeja slim fit dan jeans.Perempuan itu lantas menggeleng. "Terlalu kasual, kurang cocok buat ketemu Mami.""Jadi pake yang mana lagi, Sayang?" erang Joandra frustrasi. Baru kali ini Utami sedemikian concern pada penampilannya. Biasanya mana pernah Utami mengatur. Perempuan itu tidak pernah protes Joandra mau pakai baju apa saja.Sudah berkali-kali Joandra gonta-ganti baju. Tapi tidak ada satu pun yang sesuai di mata Utami. Ada saja kurangnya. Yang terlalu kasual lah, terlalu formal lah, atau tidak terkesan berwibawa.Duduk di pinggir ranjang, Joandra memerhatikan sang kekasih yang sibuk membongkar pakaian di lemari."Jo, coba deh yang ini. Aku rasa yang ini udah pas." Utami memutar tubuh, menunjukkan sebuah baju kaos berwarna broken white, celana chino berwarna khaki, serta sebuah jas semi formal.Joandra tidak langsung memakainya. Dipandanginya sang kekasih hati."Kok nggak
Utami memeluk pinggang Joandra begitu erat selama perjalanan ke rumah laki-laki itu. Malam ini keduanya begitu bahagia."Udah lama banget ya, Jo, kita nggak motoran kayak gini," ujar Utami menempelkan dagunya di atas bahu Joandra."Iya, Sayang." Joandra mengiakan. Dilepaskannya tangan kiri dari stang motor lalu meletakkan di paha Utami. Joandra tidak ingin kehilangan perempuan itu lagi. Sudah cukup deritanya.Dulu saat mereka masih berpacaran Utami lebih suka Joandra membawanya dengan motor ketimbang mobil karena dengan begitu Utami bisa memeluk Joandra dari belakang. Ia juga bisa menyandarkan kepalanya ke punggung laki-laki itu.Sekarang Utami tidak perlu khawatir lagi. Mereka bisa mengulang momen-momen indah itu tanpa batas waktu karena mereka akan bersama selamanya.Setibanya di rumah, mereka menemukan wajah terkejut Ike ketika membuka pintu. Namun segera saja ekspresi perempuan itu berganti dengan binar ceria."Ma, aku mau menepati janjiku. Aku bawa yang terbaik untuk Mama," ucap
Utami tidak tahu dosa sebesar apa yang telah dilakukannya sehingga takdir begitu tega menjungkirbalikkan hidupnya. Seolah semua yang telah dialaminya masih belum cukup, ia masih diuji dengan satu lagi realita pahit. Hari itu juga Utami harus melahirkan anaknya. Bukan hanya menanggung luka batin, Utami juga harus merasakan bagaimana sakitnya diinduksi. Utami terlalu sakit dengan semua itu. Lalu kini ia harus menyaksikan pemakaman anaknya. Menyakitkan ketika ia harus bertemu dengan anaknya di dunia dalam keadaan tidak bernyawa. Sepasang mata Utami mengembun. Rasanya baru beberapa jam lalu dirinya berjuang menahan sakit untuk mengeluarkan anak itu dari rahimnya. Ia pikir tidak ada hal lain yang menyakitkan melebihi diinduksi. Nyatanya ia salah, karena menyaksikan dengan matanya sendiri tubuh mungil itu dikebumikan jauh lebih menyakitkan. Maudy, Magdalena dan kerabat mereka yang lain yang menghadiri pemakaman tersebut tampak bersedih. Orang tua Daniel hampir sama terpukulnya dengan U
Joandra memeriksa ponselnya sekali lagi, memastikan tidak ada pesan dari Utami. Tadi perempuan itu mengatakan sudah di berada di dalam taksi. Sedangkan Joandra sendiri sudah stand by sejak hampir setengah jam yang lalu. Ia membuktikan janjinya benar-benar akan datang untuk makan siang bersama. Joandra tidak ingin membuat Utami menunggu. Apalagi setelah mendengar betapa khawatirnya perempuan itu saat kemarin Joandra menelepon.Menyesap minumannya, Joandra meluruskan pandangan, memerhatikan beberapa orang yang sedang berdendang di depan sana. Restoran tersebut memang menyediakan live music pada hari-hari tertentu.Di pintu masuk restoran Utami berdiri. Matanya mengelana mencari sosok lelaki yang berjanji dengannya. Utami khawatir laki-laki itu tidak datang. Namun ketika matanya menemukan sosok seseorang mengenakan kemeja putih lengan panjang yang lengannya digulung sesiku, Utami mengembuskan napas lega. Joandra sudah datang dan terlihat sedang fokus menikmati permainan musik yang dibawa
Bagi Utami mendapat kesempatan berduaan dengan Joandra seperti saat ini adalah hal yang selalu diimpi-impikannya sejak lama--ketika dulu ia belum menikah dengan Daniel. Karena setelah menjadi istri pria itu Utami mencoba untuk mengenyahkan Joandra dari hati, pikiran dan apa pun.Siapa yang akan menduga jika setelah tahun demi tahun terlewati Utami bukan hanya sekadar bertemu dengan Joandra, tetapi juga memiliki kesempatan untuk duduk berdua seperti saat ini. Meskipun situasinya terasa canggung.Tidak ada seorang pun yang berinisiatif membuka pembicaraan. Utami tidak tahu harus membicarakan apa. Begitu pun dengan Joandra yang bingung harus memulai semuanya dari mana. Tapi saat kemudian teringat belum tahu alamat pasti tujuan mereka Joandra terpaksa bertanya."Ta, ini kita ke dokter yang di mana?"Utami menyebutkan dengan jelas nama sang obgyn serta alamat lengkapnya yang menjadi pembuka obrolan-obrolan mereka selanjutnya."Ke sana biasanya sekali berapa, Ta?""Normalnya sih sekali sebu
Suasana pemakaman Daniel di San Diego Hills diwarnai oleh tangis dan air mata dari keluarga yang ditinggalkan.Magdalena pingsan berkali-kali. Kenyataan yang mereka hadapi begitu berat untuk mereka terima.Tidak seorang pun menyangka bahwa Daniel akan meninggal di usia yang masih sangat muda dengan cara yang teramat dramatis. Lebih menyedihkannya lagi adalah karena pria itu meninggalkan seorang istri yang tidak ia ketahui sedang mengandung anaknya.Para pelayat datang dari berbagai kalangan. Mulai dari keluarga kedua belah pihak, para kolega, teman, sahabat, tetangga, hingga sekadar kenalan.Satu di antara banyak pelayat tersebut adalah Joandra.Joandra datang bersama teman-teman advokat serta alumni Fakultas Hukum dulu.Dari tempatnya saat ini Joandra menyaksikan Utami. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Meski demikian Utami adalah yang paling tegar di antara lainnya meski saat ini keadaannyalah yang paling menyedihkan--ditinggalkan suami saat sedang mengandung. Na