Dengan cepat Joandra memandang ke arah pintu. Bibirnya melengkung memberi senyum. Ditinggalkannya tempat duduk lantas berjalan menyongsong kekasihnya itu.
"Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" Joandra mengecup pipi Utami dengan perasaan sayang. Iya, Joandra memang sesayang itu pada Utami. Hanya Utami yang bertahan lama di hatinya. Bukan karena siapa dan apa yang dimiliki gadis itu. Tapi karena Joandra mencintainya dengan tulus.
Namun kali ini reaksi yang didapatkannya tidak seperti biasa. Tidak ada senyum ceria atau kecupan balasan.
"Gimana mau bilang, dari tadi aku telfon kamu tapi nggak direspon."
Joandra spontan meraba saku celananya dengan kedua tangan namun tidak merasakan ada ponselnya di dalam sana. Lelaki itu lantas berjalan menuju meja lalu mencari ponsel di dalam ransel. Benda itu ditemukan dalam keadaan silent. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Utami.
"Sorry, Ta, sorry, ternyata tadi hpku silent." Joandra mengangkat benda tersebut lantas menunjukkan pada Utami.
Utami memandang Joandra tak biasa. Lelaki itu dapat merasakan hal tersebut.
"Duduk dulu yuk."
Panji yang pura-pura membaca majalah lalu menyingkir untuk memberi sepasang sejoli itu waktu. Keduanya pasti butuh ruang dan privasi untuk berdua.
"Ada apa, Sayang?” Joandra tanyakan sembari menggenggam tangan Utami.
Utami mengembuskan napas sebelum menyampaikan keresahan hatinya.
"Jo, apa benar kamu yang melaporkan perusahaan Papi?"
Joandra membisu beberapa saat. Sejak awal dia merasa begitu dilema karena posisinya berada di tengah-tengah. Apa pun yang akan dilakukannya pasti ada konsekuensinya. Tapi hidup adalah tentang pilihan kan? Dia bisa saja tutup mulut dan mundur, namun hatinya tidak akan bisa tenang karena bertentangan dengan prinsipnya. Di lain sisi, dia harus siap berlawanan dengan orang tua kekasihnya atau malah mungkin dengan kekasihnya itu sendiri.
Lantas Joandra mengangguk mengiakan pertanyaan Utami.
Gadis itu lunglai seketika. Tadi ia masih menaruh harapan bahwa dugaannya salah. Bahwa yang dimaksud papinya adalah Joandra yang lain yang bernama sama dengan Joandra kekasihnya. Atau ini hanya kesalahpahaman saja. Namun harapannya pupus dalam sekejap mata setelah Joandra mengonfirmasi.
"Memangnya apa salah Papi, Jo? Kenapa sampai kamu laporin?" Utami ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut kekasihnya.
"Kamu ingat nggak waktu aku cerita tentang mantan karyawan yang menuntut hak mereka? Yang pesangonnya nggak dibayar?"
Utami terdiam sejenak sembari mencoba memulihkan ingatannya. Iya. Dirinya belum lupa akan hal itu. Baru seminggu yang lalu Utami mendengar cerita itu dari Joandra.
"Ingat," jawabnya kemudian.
"Para mantan karyawan tersebut sebelumnya bekerja di PT. Cipta Dinamika yang dibeli oleh Papi kamu dan otomatis berada di bawah Mahawira Group. Aku sudah mencoba mengajak Om Wira bicara baik-baik, tapi beliau menolak untuk bertanggung jawab. Maka akhirnya aku memilih menempuh jalan terakhir yang bisa kulakukan. Aku terpaksa melaporkan masalah ini."
Utami dibuat bisu setelah mendengar penjelasan panjang kekasihnya. Gadis itu bingung bagaimana cara menyikapinya karena sama dengan Joandra dirinya juga berada di posisi yang tidak mudah. Joandra adalah kekasihnya, sedangkan di sisi lain dia juga tidak mungkin membiarkan orang tuanya terjerumus dalam masalah.
"Tapi harusnya kamu bisa bicarain baik-baik sama aku dulu, Jo, bukannya main langsung lapor."
Mungkin dalam hal ini Joandra memang salah lantaran tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan Utami. Namun ia tahu pendiriannya bisa saja goyah jika melibatkan kekasihnya itu. Joandra ingin bersikap profesional. Dia tidak ingin perasaan cinta pada Utami mengalahkan logika.
"Selama ini kamu mana pernah ikut campur dalam pekerjaanku, Ta, jadi aku pikir untuk apa gunanya melibatkan kamu," jawab Joandra beralasan.
"Iya, aku memang nggak mau ikut campur. Tapi apa kamu nggak nyadar kalau yang kali ini kamu hadapi adalah orang tuaku, Jo? Semestinya sebelum bertindak kamu minta pertimbanganku dulu."
Joandra sadar jika meminta pertimbangan dari Utami maka gadis itu sudah bisa dipastikan akan memintanya untuk mengalah.
"Aku minta maaf jika langkahku ini menurutmu salah, Ta."
"Jelas saja salah," jawab Utami cepat. "Sekarang mumpung belum terlalu jauh aku minta kamu cabut laporan itu."
Joandra terdiam mendengar ucapan Utami. Ia tentu tidak akan melakukannya.
"Maaf, Ta, aku nggak bisa. Laporannya sudah diproses dan sudah dilakukan pemanggilan."
Sepasang mata indah Utami melebar tak percaya mendengarnya. Ia pikir Joandra akan mendengar jika dirinya yang meminta. Bukankah Joandra sangat mencintai Utami? Lalu logikanya, bukankah jika kita sangat mencintai seseorang maka kita rela melakukan apa pun demi orang tersebut?
"Sudah diproses namun bukan berarti nggak bisa dihentikan. Kamu bisa cabut laporan itu sekarang, Jo."
Joandra menggelengkan kepalanya, menolak. "Sorry, Sayang, aku nggak bisa. Aku sudah kasih Papi kamu kesempatan untuk bertanggung jawab, tapi dia menolak. Padahal kalau dia mau membayar kewajibannya maka masalah ini akan selesai. Lagian uang yang akan dikeluarkan untuk membayar pesangon tersebut nggak seberapa jika dibanding apa yang perusahaan miliki. Papi kamu nggak akan rugi."
Utami menatap kekasihnya lekat. Sulit untuk percaya kalau Joandra menolak memenuhi keinginannya.
"Bahkan kalau aku yang minta kamu juga nggak mau, Jo?"
"Bukannya nggak mau, Sayang, tapi kita nggak perlu melibatkan masalah tersebut ke dalam hubungan kita."
"Mau nggak mau semua ini ada hubungannya. Aku tahu kamu ingin bersikap profesional. Tapi please, Jo, untuk kali ini saja tolong kamu mengalah. Papi aku itu bakal menjadi mertua kamu lho!" tekan Utami penuh penegasan.
"Iya, Sayang, aku tahu. Bukan hanya menjadi mertua, tapi bakal jadi orang tuaku juga. Kamu nggak usah khawatir, Papi pasti bisa bersikap profesional dan memisahkan masalah ini dengan hubungan pribadi. Percaya sama aku."
Utami menggeleng cepat. Andai memang seperti itu. "Kamu salah, Jo. Papi marah dan kecewa, nggak nyangka kamu akan setega itu melaporkan dia. Makanya aku ke sini memohon sama kamu agar kamu cabut laporannya."
Joandra yakin jika ia mencabut laporan tersebut Mahawira tetap tidak akan sudi membayar hak karyawan. Bukan tidak mencoba. Setelah menemuinya kala itu Joandra juga mencoba menelepon pria tersebut secara pribadi dan meminta baik-baik, namun percuma. Pendiriannya tidak lagi tergoyahkan. Mahawira menolak untuk bertanggung jawab.
"Sekali lagi aku nggak bisa. Maaf, Sayang," ucap Joandra berat hati.
Utami menatap kekasihnya dengan perasaan kecewa yang dalam lalu menarik jemarinya yang berada dalam genggaman Joandra.
"Aku pikir aku sangat berarti buat kamu, tapi ternyata dugaanku salah. Aku nggak ada arti apa-apa," ucapnya kecewa lalu pergi meninggalkan laki-laki itu.
Bersambung~
Utami tidak mengira jika reaksi yang akan dia terima dari Joandra adalah pelukan hangat seperti ini. Pelukan yang sudah bertahun-tahun Utami rindukan.Utami balas dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Joandra. Dia menahan agar air matanya tidak menetes."Maaf untuk apa, Jo?" lirihnya dalam pelukan Joandra.Banyak yang ingin Joandra sampaikan. Tak sedikit hal yang ingin dia ungkapkan. Bahwa kata maaf tadi adalah mewakili seluruh kesalahannya yang tidak terhitung dan mungkin tidak akan pernah termaafkan.Kemudian yang terucap dari mulutnya adalah, "Maaf karena aku membuat semua ini terjadi.""Kamu nggak salah, Jo. Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan," balas Utami dengan pelukan yang lebih erat.Utami tidak ingin semua ini berakhir. Dia masih ingin berada lebih lama lagi di pelukan Joandra. Namun harapannya tak terkabul.Bagai disadarkan oleh kenyataan, Joandra melepaskan Utami dari dekapannya. Mereka sedang berada di ruang publik. Joandra tidak ingin menambah masalah
Hampir dua minggu lamanya Joandra berada di Medan. Begitu kondisinya pulih lelaki itu kembali ke Jakarta dan memulai aktivitasnya seperti sediakala. Berhubung pemilu sudah selesai maka Joandra lebih banyak menghabiskan hari-harinya di LBH Justicia. Tempatnya mengabdi selama ini."Bang, ada surat buat lo." Angga memberi amlop pada Joandra.Lelaki itu menerimanya, melihat nama pengirim dengan seksama kemudian membaca isi surat tersebut."Astaga." Itu kata pertama yang berhasil keluar dari mulut Joandra setelah membaca surat tersebut."Kenapa, Bang?" Angga bertanya ingin tahu."Gue dipanggil Peradi," beritahu Joandra. Peradi adalah organisasi yang menaungi para advokat di Indonesia."Masalahnya?""Kayaknya ada yang ngelaporin gue, katanya gue ngelanggar kode etik sebagai advokat.""Adaaa aja masalahnya." Angga ikut geram mengetahuinya. Seakan tidak cukup dengan mencelakai Joandra, orang-orang masih ingin menjatuhkannya dengan cara yang lain.Joandra hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu.
Sidang hari ini berlangsung panas. Pihak penggugat dan tergugat keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Masing-masing dari mereka merasa berada di jalan yang paling benar dan bersikukuh mempertahankan pendirian masing-masing. Beberapa kali sidang terinterupsi karena Daniel yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Sedangkan Joandra tetap terlihat tenang meski adu argumen seperti ini tidak hanya membutuhkan pikiran namun juga menguras energinya. Terlalu banyak berbicara memicu perasaan perih bekas operasi di perutnya. Namun, Joandra menyimpan dari orang-orang. Dia tidak boleh cengeng karena akan membuatnya lemah. Itu hanyalah bekas operasi. Semua orang yang pernah mengalami operasi pasti pernah merasakannya.Dari tempat duduknya Utami memerhatikan Joandra. Khawatir laki-laki itu akan tumbang saat sidang sedang berlangsung. Tapi syukurlah. Yang ditakutkannya tidak terjadi. Joandra baik-baik saja sampai sidang berakhir.Satu demi satu orang-orang yang menghadirinya keluar dari ruangan. Sid
Joandra memejamkan matanya. Tidak sanggup membalas Utami yang saat ini sedang menatapnya. Bukan hanya itu saja. Selain tangannya yang menggenggam jemari Joandra, tangannya yang lain menelusup ke setiap helai rambut laki-laki itu lalu membelainya dengan lembut.Perasaan malu dan bersalah menghimpit dada Joandra. Malu karena Utami sudah memberi pertolongan sampai sebegininya sedangkan besok dia harus menghadapi orang tua gadis itu. Juga merasa bersalah lantaran terlalu sering menyakiti Utami.“Sakit, Jo?” tanya Utami saat melihat Joandra meringis sembari menyentuh perutnya.“Sedikit,” jawab laki-laki itu. Seharusnya saat ini dia berada di tempat yang nyaman dan melalui masa-masa perawatan di bawah pengawasan tenaga medis.“Sabar ya, Jo. Ini nggak akan lama kok. Sebentar lagi kita nyampe.” Utami ikut meringis melihat ringisan di wajah Joandra. Meskipun waktu tempuh dengan menggunakan pesawat pribadi lebih singkat dibandingkan pesawat komersial, namun detik demi detik waktu terasa begitu
Utami mengendarai mobilnya dalam temaram malam dengan perasaan galau. Sisa-sisa hujan yang sudah berhenti masih membasahi jalan tidak ada apa-apanya dengan air mata yang mengalir di pipi Utami saat ini. Utami mengkhawatirkan kondisi Joandra. Yang terjadi saat ini sudah sangat buruk. Utami tidak ingin yang lebih buruk lagi menimpa lelaki itu.Kaki Utami begitu gemetar saat gadis itu mengayunkan langkah menyusuri koridor rumah sakit. Tepat di depan IGD Utami menemukan Panji sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang Utami tidak tahu siapa. Mengetahui kemunculan Utami, Panji beralih padanya. Lelaki itu terlihat lega mengetahui Utami akhirnya bersedia datang."Gimana keadaan Jo?" buru Utami cepat."Lagi dioperasi, Mbak.""Kejadiannya gimana?" tanya Utami lagi."Gue baru pulang terus ngeliat rumah dalam keadaan gelap. Terus ... gue ngeliat Bang Jo dalam keadaan nggak sadarkan diri di depan rumah. Ada luka tusukan di perutnya. Dan itu baru banget. Kayaknya kejadiannya nggak lama sebelum gu
Utami memijit-mijit pelipisnya. Kepalanya bertambah berat sekarang. Aruna sudah pergi bersama kebenciannya pada Utami. Lalu sekarang tinggallah Utami menghadapi Maudy dan Jennifer yang mencak-mencak memarahinya."Mami nggak nyangka kalau dialah dalang di balik semua ini. Demi apa pun Mami menyesal pernah membiarkan kamu pacaran dengan dia.""Aku yakin, dia pasti mau balas dendam karena dulu kalah ngelawan Om Wira," kata Jennifer mengompori."Dan kali ini nggak akan berubah. Dia akan tetap kalah.""Untung Ci Tami putus sama dia. Aku nggak akan rela ada pengkhianat menyelinap ke dalam keluarga kita. Lagian kenapa sih dulu Ai biarin Ci Tami pacaran sama orang itu?"Maudy memandang ke arah Utami dengan tatapan sebalnya. "Bukannya dibiarin tapi Tami-nya yang nggak mau dilarang. Sekarang lihat sendiri akibatnya kan? Orang yang kamu bela dan kamu cintai mati-matian ternyata adalah orang yang ingin menghancurkan kita. Kalau tahu begini dari dulu Mami nggak akan pernah mengizinkan kamu berhubu