Share

6. Terungkap Hingga Kelepasan.

"Tolonglah Mbak, terus teranglah pada Una. Setidaknya Una akan menuruti perkataan Mbak," pintaku pada Mbak Ina.

Mbak Ina lalu berjalan ke arahku dan memelukku erat, dituntunnya aku ke kursi rotan hasil karya Ayah dulu di saat senggangnya.

"Mas, tunggu di teras ya," pinta Mbak Ina pada Mas Irgi.

Lelaki itu mengangguk dan sejurus kemudian telah berada di teras rumah, punggungnya terlihat dari kaca jendela.

Mbak Ina menggenggam tanganku, tangisnya mulai terdengar kembali ... bahkan kini airmatanya menetes hingga membasahi tanganku yang digenggamnya.

"Una, kejadian beberapa tahun silam merupakan salah mbak. Mas Irgi hanya korban keegoisan mbak saja, waktu itu di mana mbak pulang dari Taiwan. Ayah mengatakan kalau mbak harus kembali ke Taiwan lagi, karena begitu kamu wisuda ... ayah akan menikahkanmu dengan mas Irgi. Mbak saat itu marah pada ayah, mbak lelah harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat itu, mbak sudah menyarankan ayah agar menjual sapi dan beberapa lahan saja sebagai modalmu menikah, sayangnya ayah tak terima saran mbak. Sempat terjadi adu mulut mbak dengan ayah yang membuat mbak tahu, rupanya mbak hanya anak selingkuhan ibu bersama lelaki lain di saat ayah bekerja keluar kota," ungkap Mbak Ina lirih.

"Astagfirullah!" pekikku.

"Saat itu, mas Irgi bertandang ke rumah hendak mengambil laptopmu yang tertinggal dan akan ke kota, kamu ingat ga, Na?" imbuh  Mbak Ina.

Aku mencoba mengingat-ingat, hingga aku mengangguk pelan. Aku ingat saat itu, kebetulan Mas Irgi pulang kampung, aku yang tak pulang memintanya singgah ke rumah guna mengambil laptopku yang rusak dan akan membawanya ke tukang servis di kota.

"Mas Irgi datang di saat ayah menampar mbak dan mendengar semua misteri hidup mbak selama ini, mas Irgi pula yang menahan tangan ayah saat akan menampar mbak ... saat itu, mas Irgi membawa mbak ke kota dan mbak tinggal di kost-annya. Semua itu terjadi, Na. Semula kami hendak melupakan, mas Irgi termenung memikirkanmu. Dua hari dia hanya meringkuk di kost dan saat itu, mbak kembali pulang. Ayah meminta maaf dan meminta mbak tak membicarakan hal ini padamu. Tepat sebulan kemudian, saat mbak hendak kembali ke Taiwan, ternyata pas di PT check up, mbak positif hamil. Saat itu mbak bingung dan takut kembali ke rumah. Pada mas Irgi, mbak katakan semua. Dengan airmata yang berlinang, mas Irgi siap bertanggung jawab. Mbak juga bingung, saat itu kalian sudah menyiapkan segalanya untuk pernikahan, kan? Mbak salah, Na. Maafkan mbak! Karena mbak juga, ayah meninggal dunia, hiks hiks!" ungkap Mbak Ina panjang lebar.

Aku kembali mengingat saat terpuruk dalam hidupku, di saat Mbak Ina mengaku hamil anak Mas Irgi dan ayah meninggal dunia.

Tak terasa, aku menangis tersedu-sedu.

Hatiku kembali sakit, Mbak Ina hendak memelukku tapi kutepis tangannya. Terlebih saat ini, Mas Irgi berdiri mematung di depanku sembari menatapku penuh arti.

"Nana," lirihnya.

Ya, nama itu yang dirinya berikan padaku saat bahagia dulu. Kini, setelah bertahun-tahun. Nama itu kembali terdengar untukku dari orang yang sama namun rasa yang beda.

Mas Irgi bersimpuh  di depanku, pandangan kami berdua saling bertaut. Sayangnya, tak kurasakan hangatnya cinta seperti dulu.

Kubiarkan kedua insan tersebut di tempatnya, kuseka kasar airmataku, lalu menatap aksa Mbak Ina yang masih setia menatapku dengan sendu.

"Lalu, sumpah apa yang ibu berikan pada Mbak?" tanyaku.

Mbak Ina menghela napas panjang lalu bercerita kembali, "Sebulan setelah pernikahan, mbak keguguran. Setelah itu, mbak tak pernah hamil lagi, hingga di saat ibu sekarat dan memanggil mbak ke kamar. Saat itu ibu tertawa, mentertawakan mbak dan mengatakan menyesal telah melahirkan mbak. Mbak lahir dari zinah dan rupanya takdir mbak tak jauh dari berzinah, begitu kata ibu. Saat itu ibu berkata jika mbak takkan pernah punya keturunan jika kamu belum menikah. Maka selama kamu belum menikah, semua bebanmu akan menjadi tanggung jawab mbak, itu yang membuat mbak tak dapat memiiki keturunan dengan Mas Irgi, semula mbak tak percaya. Kami melakukan banyak pengobatan medis bahkan spiritual, bahkan bayi tabung yang mahal itu pun telah mbak lakukan. Sayang semua nihil," jelas Mbak Ina.

Tanganku memijit pelipisku sendiri, aku melangkah gontai ke arah kamar.

Begitu di depan pintu, aku berkata. "Pulanglah Mbak, Mas! Una mau istirahat, minggu depan atur pertemuan Una dengan lelaki bernama Rizal itu," tukasku.

Begitu sampai ke kamar, kuraih obat tidur melebihi dosis yang biasa kuminum.

Biasanya hanya satu pil sehari, kini kutelan segenggam hingga botol obat tidur itu kosong melompong.

Dalam pikiranku, hanya bayang Ayah dan Ibu saja, kutarik selimut dan perlahan kupejamkan mata.

"Selamat tinggal!" ucapku lirih.

__________________________

Kubuka mataku, seketika aku terperanjat! Aku berada di sebuah pasar tradisional yang begitu ramai dan berdesakan.

"I-ini di mana?" tanyaku pada diri sendiri.

Ramainya orang yang berlalu lalang, membuat tubuhku terhuyung ke sana ke mari.

Tak dapat kutahan, kala tubuhku terhuyung dan aku tersungkur ke tanah.

"Aw!"pekikku.

Kubersihkan tanganku yang penuh dengan debu. Saat kucoba berdiri, ternyata kakiku terkilir. Sontak saja aku kembali terduduk di tanah.

"Mbak Una!" sapa seseorang.

Aku yang merintih kesakitan akhirnya mendongak dan mataku mengembun saat kulihat senyum teduh dari seseorang yang beberapa hari ini kuanggap gila.

"Bandi, tolong aku!" rengekku, karena saat itu aku sudah menangis tersedu-sedu.

Bandi lalu menggendongku dan membawa aku ke sebuah gubuk yang agak jauh dari keramaian tadi.

"Mbak Una, kenapa bisa ada di sini?" tanya Bandi.

Tangannya cekatan mengurut kakiku yang terkilir, dan dalam beberapa saat tulang kakiku yang diurutnya berbunyi, aku pun sampai menjerit karena rasa sakit yang amat sangat tadi.

"Sudah, Mbak! Sekarang pasti tak sakit lagi," tukasnya.

Aku pun mencoba menggerakkan kakiku yang tadi terkilir. Benar saja, aku sudah tak merasakan rasa sakit yang tadi begitu mendera.

"Terima kasih," ucapku.

"Mbak Una belum menjawab pertanyaan saya, kenapa Mbak ada di sini?" tanya Bandi lagi, lelaki aneh ini suka menanyakan hal yang sama.

"Mana saya tahu!" jawabku ketus.

"Lah, kok ga tahu! Emang tadi Mbak lagi apa? Mari diingat-ingat kembali," cakap Bandi sopan.

Aku mencoba mengingat-ingat, mataku melihat ke atas atap rumbia yang menjadi pelindung dari panas dan hujan penghuni gubuk ini.

"Tadi aku lagi tidur kok rasanya," ingatku.

"Terus?"

"Ya, tidur. Apalagi?" jawabku.

"O, jadi Mbak Una ini kelepasan ya. Hm, paham ... paham!" sahut Bandi.

"Kelepasan? Apa itu kelepasan? Setahu aku adanya juga kemasukan, lah ini. Kelepasan! Aneh, kamu!" ujarku.

"Lah, iki buktinya! Mbak kelepasan sampai ke mari, emang Mbak pikir kita ada di mana ini?" pungkas Bandi.

"Emang kita di mana?" tanyaku penasaran.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Adit Aditya
apa Rauna nnt nya akan berjodoh dengan Bandi
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status