Share

5. Sumpah Ibu Pada Mbak Ina.

"Ga ada orang? Lah, tadi Una ngomong sama siapa?" tanya ku pada Mbah Juju.

"Hmmm, awas demit tho Na, mbok yo kamu pake ramah aja sama semua makhluk. Kamu ga curiga gitu," sahut Mbah Juju.

Aku hanya menggeleng, seketika bulu kudukku meremang.

"Ih, kok seketika Una jadi merinding, ya!" tukasku

Sejurus kemudian, aku memilih duduk di kursi kasir saja hingga pagi tiba.

Beberapa warga mulai ke toko di saat subuh, Ibu-Ibu yang hendak mencuci ke sungai mulai berdatangan ke toko guna membeli sabun dan peralata mandi.

"Ndok, mbah mau sabun colek dua dan sabun mandi merk anu satu ya," ujar Mbah Tukiyem.

Seorang sepuh yang kerap menjadi dukun beranak di kampung ini.

Dengan cekatan, segera kuraih sabun sesuai permintaan Mbah Tukiyem.

"Mbah mau nyuci ya?" sapaku ramah.

Mbah Tukiyem tersenyum sembari mengangguk pelan, "Nggeh, mbah mau mencuci kain jarik yang di pakai pasien mbah yang melahirkan di rumah mbah semalam," sahut Mbah Tukiyem.

"Tumben Mbah, lahirannya di rumah Mbah. Biasanya kan Mbah yang dipanggil ke rumah yang lahiran," celetukku penasaran.

Bagaimana tidak aku tahu, rumah Mbah Tukiyem berada di samping toko. Jika ada yang melahirkan, maka suara gedoran akan terdengar hingga ke toko.

Yang aku tahu, setiap ada warga yang membutuhkan bantuan Mbah Tukiyem, selalu saja melahirkan di rumah sang pasien.

Makanya kini aku berkata tumben, ada yang melahirkan di rumah Mbah Tukiyem.

"Kamu penasaran, ya Ndok?" tanya Mbah Tukiyem padaku.

Aku hanya terdiam sembari menatap dukun beranak itu melanjutkan kata-katanya.

"Iki lho, Nduk. Demit!" bisik mbah Tukiyem tepat di telingaku.

"Ah, Mbah! Ga lucu, suka nakutin aja." Aku meraih uang yang disodorkan Mbah Tukiyem di meja kasir.

Mbah Tukiyem terkekeh, "Wong mbah jujur, kok! Malah ga percaya," gerutunya.

Wanita tua itu berlalu pergi sembari terkekeh.

Aku hanya dapat geleng-geleng kepala. Semenjak Mbah Juju bilang kalau waktu itu aku berbucara seorang diri, membuat aku mudah kaget.

Seperti saat ini, di kala Ani datang menggantikanku.

Aku yang sibuk menyusun  barang ke etalase yang kosong, agar mempermudah pekerjaan Ani. Wanita itu malah menepuk bahuku hingga aku pun terkejut.

"Hahaha, Mbak Una serius amat sampai ga tahu Ani ada di belakang, ya!" celetuk gadis itu.

Tanpa rasa bersalah dia malah terkekeh mentertawakanku yang saat ini masih mengusap dadaku, bagaimana tidak, saat ini jantungku rasanya copot.

"Mbak, kenapa pucat begitu mukanya, aduh ... apa aku keterlaluan, ya?" tanya Ani memastikan.

Wanita itu lalu menghampiriku dan memberiku minum air putih.

Raut wajahnya seketika panik melihatku yang gemetar serta memegang dada.

"Mbak," panggilnya.

Aku yang baru saja meneguk segelas air putih itu, mengangguk tanda menanggapi panggilannya.

"Maafkan Ani, ya! Kalau barusan buat Mbak Una jadi jantungan,"tukasnya.

"Edan, aku ga jantungan, Ani! Cuma kaget aja!" pekikku.

"Nah, kalau gini baru Ani percaya Mbak sudah waras. Sana pulang, istirahat yang cukup!" seru Ani bercanda.

Aku hanya melotot padanya yang kini cengengesan.

Segera kuraih tas dan bergegas pulang.

Begitu sampai di halaman rumah, langkahku terhenti saatku lihat lelaki masa laluku bersandar di mobilnya.

Tandanya Mbak Ina ada di dalam rumah.

"Ngapain kalian kemari pagi-pagi sekali, tahukan jam segini saya masih di tempat kerja." Aku menggerutu sembari berlalu di depan Mas Irgi.

"Mbak-mu yang ingin bertemu denganmu dari semalam," sahutnya.

Aku berbalik, ternyata Mas Irgi mengikuti langkahku menuju rumah.

Kuacuhkan dia, dan benar saja ... saat ini Mbak Ina sudah menyajian nasi goreng di dapurku.

"Mbak!" panggilku.

Mbak-ku itu menoleh dan tersenyum padaku.

"Tumben, pagi-pagi kalian sudah ada di sini?" tanyaku peenasaran.

Kembali Mbak-ku hanya tersenyum sembari meraih tanganku dan menuntunku duduk bersamanya dan mas Irgi.

"Ono opo iki?" tanyaku curiga.

"Selamat ulang tahun, kudunya pas tanggal satu suro kemaren kan, tapi mbak sama masmu sudah seminggu ini berada di luar kota dan baru semalam pulang, jadi mbak keingat kamu pas lihat ini." Mbak Ina menyerahkan satu paperbag padaku.

"Terima kasih," ucapku.

"Ini dari mas."Lelaki masa lalu yang kini menjadi Kakak iparku itu menyerahkan sebuah amplop.

Sontak saja aku tersenyum saat menerima amplop tersebut.

"Hore, dapat duit!" sorakku kegirangan.

"Ya sudah, mari makan. Mbak cuma bawa ayam goreng dan sambal ampela yang mbak masak subuh tadi, makan yang banyak ya," tukas Mbak Ina.

Aku yang memang sudah lapar, tanpa pedulikan keduanya langsng melahap nasi goreng derngan lauk ayam goreng serta sambal ampela.

Setelah kumakan dan mandi, Mbak Ina masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku.

Mbak Ina duduk di ranjangku, dapatku lihat raut wajah sedih di wajah cantiknya.

Aku dan Mbak Ina hanya beda tiga tahun saja, entah mengapa sedari kecil Ayah dan Ibu lebih menyayangi aku daripada mabkku ini, sampai tamat SMP Mbak Ina di suruh ke Taiwan oleh ayah dan menjadi TKW bertahun-tahun.

Dari hasil keringat Mbak Ina bekerja di Taiwan jugalah aku dapat kuliah hingga S1.

"Una," panggilnya.

"Ya, Mbak!"jawabku.

"Gini, anak pak Romoji baru saja ke terima di SETDA. Sudah mapan lho dia, Na! Beberapa waktu lalu menyervis mobilnya ke bengkel mas-mu, si lelaki itu nanyain kamu. Katanya pernah belanja di toko yang kamu jaga itu. Nah, apa mau kamu ketemu dan kenalan ma anak pak Romoji ini? Namanya Rizal, Na. Ganteng dan mapan, kurang apalagi. Mau ya, ketemuan! Nanti mbak atur pertemuannya," bujuk Mbak Ina.

"Cih, lagi-lagi perjodohan! Ngapa sih Mbak ngebet banget Una kawin? Una masih pengen sendiri, Mbak," tolakku.

Aku berbaring dan mengacuhkan Mbak Ina, sudah kuduga ... kedatangannya pasti ada maunya.

Dapat kudengar helaan napasnya, kali ini Mbak Ina ga ngotot seperti sebelumnya.

Mbak Ina hanya keluar perlahan dari kamarku dan tak lama dapatku dengar isak tangisnya.

Aku yang penasaran akhirnya beranjak dari ranjang dan membuka sedikit pintu kamarku, kini dapatku lihat Mbak Ina menangis tersedu-sedu dalam pelukan Mas Irgi.

"Kalau begini, aku pasrah jika ibu Mas meminta Mas menikah lagi dan menceraikan aku, aku sudah tak tahu harus bagaimana lagi, Mas. Harapan punya anak hanya impian, jika sumpah ibu tak jua berhasil kita lakukan, Mas!" isak Mbak Ina tersedu-sedu.

"Sudahlah, tak apa. Mas takkan menikah lagi, kita bisa berobat lagi atau pindah ke kota lain agar ibu tak mengusik kita dengan pertanyaan tentang cucu itu, sudah, jangan menangis lagi!" hibur Mas Irgi.

Masih kuingat suara baritonnya yang khas.

"Mbak, Una mau ketemu sama lelaki bernama Rizal itu!"seruku.

"Tapi kalian berdua harus menjawab pertanyaan Una dengan jujur dulu, bukankah dulu kalian menikah karena Mbak Ina hamil, lalu kenapa sampai sekarang tak memiliki anak? Serta Mbak Ina juga harus mengatakan sumpah dari ibu itu, ibu menyumpahi Mbak Ina apa? Kapan? Jawab, Mbak, Mas!"

Saat itu, aku berteriak pada sepasang suami istri yang membuat luka di hatiku kembali berdarah. Suaraku bergetar karena saat itu aku menangis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Adit Aditya
ternyata karma datang begitu cepat rasakan kau Ina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status