Share

4. Siapa Kang Mas?

 "Mbak!"

Lelaki itu memanggilku dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, senyumnya merekah membuat ketampanannya semakin terpancar.

"Mengapa lelaki itu terlihat semakin tampan, ya?" gumamku.

Tak lama lelaki itu telah berada di depanku, masih dengan senyum manisnya.

"Mbak," ucapnya lagi.

"Bandi, kamu kok masih ga ganti baju sih, itu ga dimarahi yang punya kostum gitu?" tanyaku yang penasaran.

Keningnya mengernyit, "Baju, Mbak? Wong ini baju saya dan cuma punya satu ini, apa baju ini ga buat sya ganteng gitu di mata Mbak? Kalo ga ganteng saya ganti baju dulu, tapi baju siapa, ya?"

Bandi membuatku bingung, rasanya ingin berkata dirinya orang gila.

Tak ingin pusing karena tingkah konyol lelaki itu, aku pun masa bodo padanya, nyatanya kini lelaki itu membawa sekantung kembang dan mulai memakannya di depanku.

Aku hanya dapat menggelengkan kepalaku saja melihat tingkah tak biasanya.

Malam semakin merangkak naik, angin semilir menusuk tulang, aku mengenakan jaket yang  selalu ada dalam tasku.

Mungkin karena sudah larut malam, kini tak lagi aku melihat Bandi di depan toko.

"Lelaki aneh itu sudah pergi, ya! Dasar, pergi aja ga pamit dulu. Jadinya kan aku nyari dia, dasar wong edan!" gerutuku saat itu.

Aku yang celingak-celinguk di depan toko, dikejutkan oleh Mbah Juju yang menepuk bahuku tiba-tiba.

"Ngapain kamu celingukan di luar gitu, Na?" tanya Mbah Juju.

"Eh, demit!" pekikku yang terkejut.

"Lah, mbah ganteng gini dikata demit. Tuh, di sana yang lagi nyembah demit, bukan nyembah mbah, kan?" tunjuk mbah Juju.

"Hehehe!"

Aku hanya menyengir saja melihat ke arah makam keramat yang tengah di kunjungi sekelompok orang itu.

"Mbah, lihat cowok ganteng, tinggi terus pake baju arak-arakan ga?" tanyaku pada mbah Juju.

"Ga ada tuh, sedari tadi mbah di sini dan ga ada lihat cowok ganteng, wong yang datang para sepuh dan para dukun, kok! Jadi ga ada yang bening nan tampan seperti katamu tadi, awas lho! Jangan-jangan itu demit," tukas mbah Juju.

"Mbah, jangan nakutin deh! Emaang mbah mau di sini kalau Una takut gara-gara ucapan Mbah tadi," dengusku.

Mbah Juju terkekeh, "Yo wes, malam ini kan mbah memang akan ada di makam karena menjadi kuncen makam yang di datangi para sepuh itu. Bikinin mbah kopi, Na! Dua ya, kita berdua nongkrong di depan toko aja, gimana?"

"Nggeh, siap Pak Bos!" celetukku gembira.

Gegas aku ke dalam dan menyeduh dua cup kopi untukku dan mbah Juju.

Saat itu kulihat jam di tangan, sudah menunjukkan pukul satu malam.

Aku hanya menghela napas panjang saat membawa dua cup kopi keluar dan Mbah Juju sudah beranjak ke tengah makam kembali.

"Eh, pergi lagi! Katanya mau ngopi bareng! Mbah ini kadang-kadang," gerutuku.

Kuaktifkan ponselku, setelah tadi kuisi daya.

Kubuka  sebuah aplikasi di mana kita bisa bernyanyi  walau suaraku tak sebagus artis, tapi ya, lumayanlah! Untuk menghibur hati dan membunuh rasa bosan seorang diri.

"Ah, aku mulai merindukan para bapak yang meronda, meski kerap kali ngutang rokok dan ga mau rugi masalah air seduhan kopi yang sedikit ... tapi kehadiran mereka membuat malam terasa menyenangkan, haduh ... kok serasa merindukan suami orang. Bapak- Bapak, kenapa kalian ga meronda setiap tanggal satu suro hingga semimggu ke depan? Una kan jadi dosa, rindu suara kalian yang nyanyiin lagu lawas dengan nada sumbang dan rindu dengar kalian gibahin istri sendiri," gumamku seorang diri.

Aku bergumam sembari berkacak pinggang ke arah pos ronda yang jaraknya ga jauh dari toko.

Saat aku asyik ngedumel, ternyata ada seorang wanita cantik duduk di kursi tempat aku menyimpan dua cup kopi aku dan mbah Juju.

Merasa ada pelanggan, aku pun gegas mendekati.

"Mbak, mau beli apa?" tanyaku padanya.

Kupersembahkan senyum termanisku padanya.

"Saya cari kang mas saya. Kami sudah mau menikah, tapi dia kabur dan saya tak tahu dia ke mana," ujar wanita itu penuh kelembutan.

"Wah, apa ini korban cinta paksa? Atau karena sang lelaki punya gebetan lain?" Aku menduga-duga, seolah detektif kawakan.

"Saya sampai ke sini mencari dia, mungkin saja Sampeyan lihat lelaki tampan keliling di sini. Kata para pengawal, kang mas lari ke arah sini," tukasnya.

Aku yang mengangguk, kini menelisik penampilan wanita anggun ini.

Cara berpakaiannya sama seperti Bandi. Bagaimana tidak, di tengah malam begini keluar rumah hanya mengenakan kemban dan selendang saja.

'Apa mereka ini sedang syuting film kolosal ataukah orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa, ya?' batinku menerka-nerka.

"Mau ngopi atau beli sesuatu?" tawarku pada wanita itu.

Matanya yang sendu, kini menatap ke arah bungkusan kembang yang sudah layu dan akan kubuang besok.

"Kalau boleh, saya ingin kembang itu. Ada bunga kantilnya, itu sungguh enak," ujarnya.

Kembali keningku mengernyit, kenapa belakangan ini ada orang yang menyukai kembang untuk ditaburkan di atas  makam sebagai santapan, aneh!

"Kalau saya boleh tahu, mau buat Mbak apa kembangnya?" tanyaku yang penuh rasa penasaran.

"Makan, saya lapar." Tanpa kuiyakan, wanita itu sudah mengambil sebungkus kembang tersebut dan mulai memakannya dengan lahap.

Aku hanya terpaku sembari memandang wanita itu memakan kembang yang mulai layu dengan lahapnya hingga tak bersisa.

"Wow, Mbak! Biar apa sih makan kembang? Apa lagi viral gitu, atau bagaimana?" gumamku pelan.

Wanita itu tersenyum ketika kembang layu tersebut selesai dirirnya makan.

"Mbak, terima kasih, ya! Saya mau lanjut lagi mencari kang mas yang hilang," tukasnya.

Aku yang mengangguk lalu mencegat kepergian wanita itu.

"Mbak, sini dulu. Saya dandanin biar kang masnya jatuh cinta sama Mbak." Secepat kilat aku masuk ke dalam toko dan meraih tasku.

Kutuntun dia duduk di bangku kembali.

"Mbak, jangan ikut trend ya, pake lipstick nude- nude segala. Kan ga semua orang cocok, Mbak. Kayak Mbak sekarang, pakai nude malah yang ada rupa Mbak pucat gitu, mungkin itu alasannya menjauh dari Mbak. Mbak ini ga pandai dandan, hanya menjadi korban iklan doank. Jadi sini, saya poles sedikit dengan bedak dan lipstick merah menyala semerah darah dan cinta yang membara. Percaya deh, Mbak ini kayak saya. Cocok pake warna terang dan juga jadilah diri sendiri. Ok, jangan jadi korban iklan lagi ya, Mbak!"ungkapku panjang lebar.

Tanganku menari indah mendandani wanita asing yang terlihat pucat dengan pakaian seperti jaman dulu.

Tak butuh waktu lama, wanita itu sudah cantik berseri dengan lipstick merah.

" Tuh, kan. Sudah cantul, cantik betul !" pujiku.

Wanita itu tersipu malu, bahuku beberapa kali di tepuknya karena pujianku padanya.

"Ya sudah, saya pamit dulu ya, Mbak! Ga sabar pengen ketemu kang mas Bandi," tukas wanita itu, gembira.

Aku hanya melambaikan tangan padanya.

"Tadi wanita itu menyebut nama Bandi, kan? Aku ga salah dengar, kan?"

Aku yang sedang menduga nama lelaki aneh yang disebut wanita aneh itu juga, adalah Bandi.

"Ono opo iki?" gumamku.

tiba-tiba, terdengar suara orang yang  sedang menyeruput kopi, aku pun menoleh ke belakang.

"Eh, ada Mbah Juju," kataku.

"Kamu ngapain lho, Na, dari tadi senyum- senyum gitu?" tanya mbah Juju.

"Una sedang berbincang dengan wanita yang mencari kang mas-nya. Ngenes, udah mau kawin, lakinya malah kabur." Aku pun duduk di samping mbah Juju.

Menyeruput kopi yang mulai dingin itu, aku bernyanyi di sebuah aplikasi.

Mbah Juju malah menatapku lekat, "Una, Mbah perhatikan kamu sedari tadi seorang diri, ga ada orang lain, kok!"

"Lah, aku tadi ngomong sama siapa kalau gitu!"seruku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status