Share

7. Nama dan Status Baru

"Kita di mana, Bandi?" tanyaku sekali lagi.

Lelaki berhidung mancung itu tersenyum dan kemudian mendekat padaku.

"Kita di alamku, Mbak!" jawabnya.

Entah mengapa aku tak puas dengan jawabannya.

"Bandi!" pekikku.

"Hmm," dengusnya. Aksanya masih setia memandang ke arah jalan.

Jalan yang lenggang, tak sedikit pun tampak seperti di kampungku. Di mana kendaraan sesekali lewat.

"Tunggu sebentar, ya! Saya harap Mbak tak keluar. Duduk manislah di situ." Bandi keluar setelah meminta aku menunggunya.

Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk ini, gubuk yang beralasan tanah serta beratap daun rumbia. Sebuah tungku batu tersedia di sudut gubuk.

"Ah, bagaimana bisa aku ada di sini?" Kusentuh kakiku yang tadi terkilir, senyumku merekah kala rasa sakit itu telah hilang.

Seolah tak terjadi apa pun, kakiku bisa digerakkan bebas.

"Rupanya Bandi mahir jadi tukang urut," gumamku yang terkekeh.

Beberapa saat kemudian, lelaki tampan itu kembali dengan dua helai kain di tangannya.

"Mbak, ganti pakaianmu dengan ini." Bandi menyerahkan kain itu padaku.

"Ini gimana konsepnya sih? Kok pake kemban segala, aku gak bisa, Bandi!" Aku gak mau!" Aku yang bersikukuh meletakkan kain itu di peraduan begitu saja.

Lelaki itu lalu memijit pelipisnya.

"Mbak, saya beritahu ya! Kita ini bukan sedang berada di alam atau dunia Mbak. Kita sedang ada di dunia saya, jaman pajajaran lho Mbak. Saya mohon, tolong mengerti. Gak mungkin saya bawa Mbak keluar dengan pakaian seperti itu. Saya ini---"

Bandi lalu menatapku lekat, sejurus kemudian dia keluar dan berteriak.

"Jangan membantah dan segera pakai kain itu!" teriaknya lantang.

"Huft, mau gimana lagi." Aku menggerutu kala meraih kain panjang dan kemban yang aku sendiri tak tahu apa bisa atau tidak menggunakannya.

****

"Ih, ini su ... sah sekali," tuturku.

Aku kesusahan menggunakan kemban dan kain panjang ini. Berkali-kali kulilit dan berakhir salah.

"Bandi!" seruku lantang.

Lelaki berpakaian yang sama sepertiku ini, masuk setelah aku memanggilnya.

"Ya, Mbak! Kenap---"

Bandi malah memalingkan wajahnya, padahal aku benar-benar tak bisa ah ....

"Bandi, kamu harus tanggung jawab ini! Kamu suruh saya pake beginian, bagaimana caranya?!" ujarku yang mulai jengah.

"Ta-Tapi saya, itu lho Mbak! Gimana ini?" Bandi terlihat kebingungan.

Kuraih tangannya, "Bantu aku!"

"Tatap mataku dan biarkan tanganmu memasangkan kemban ini." Kuraup wajahnya hingga netra kami berdua saling bertaut.

Tak butuh waktu lama, kemban dan kain panjang itu berhasil kukenakan dengan bantuan Bandi.

"Mbak, sudah!" ucapnya.

Kala itu kami masih saling menatap dan dapatku dengar deru napasnya.

Jantungku berdegup kencang, apa yang kurasakan ini?

Pakaianku dimasukkan oleh Bandi ke dalam kendi kosong di bawah peraduan.

"Kenapa disembunyikan?" tanyaku penasaran.

"Kita akan kembali ke mari saat semua sudah tenang. Sekarang kita akan berjalan di malam hari agar tak ada yang mengenal bahkan mengejar kita. Mbak harus ingat, setiap kali melihat prajurit ... Mbak harus menjauh," jawab Bandi.

"Tunggu! Kenapa?" tanyaku lagi.

"Mbak, saya masih dikejar seperti pertama kali kita bertemu," jelas Bandi.

Saat itu, Bandi mulai menanggalkan pakaiannya satu per satu. Aku memalingkan wajah, sejurus kemudian Bandi kembali berdiri di sampingku dengan pakaian ala rakyat jelata jaman kerajaan.

Ikat kepalanya terlihat miring, "Tunggu sebentar, Bandi!"

Kuraih ikat kepala itu dan kuletakkan rapi di kepalanya. Hingga rambutnya yang panjang tampak tergerai rapi.

"Mbak, kita sekarang sedang menjadi rakyat biasa. Jadi ceritanya kita ini suami istri, nama saya Bayu Mada. Mbak Una berganti nama Dewi Kumala, bagaimana?" Bandi kembali menatapku lekat, aku pun tak bisa mengalihkan pandangan darinya. Seolah ada daya magnet yang membuat aku selalu ingin menatap wajahnya.

"Mbak?" panggilnya.

"Eh, iya! Jadi saya panggil kamu siapa?"tanyaku memastikan.

"Kang Mas Bayu," jawabnya singkat.

Digenggamnya jemariku. Dalam temaram cahaya bulan, Bandi mengecup kening dan pucuk kepalaku.

"Nimas Dewi," ucapnya lirih.

Aku mengulum senyum, rasanya pipiku bersemu merah mendengar lelaki tampan di depanku ini memanggilku dengan nama itu. Nama yang terdengar seperti rayuan bagiku.

"Mari kita mulai perjalanan kita, perjalanan Bayu Mada dan Dewi Kumala." Bandi menggenggam erat tanganku saat itu. Aku pun menggenggam erat tangannya hingga kurangkul lengan satunya.

Kami berjalan kaki lumayan jauh malam itu, sepanjang jalan terlihat rumah warga yang hanya terpasang obor di luar.

Suara binatang malam begitu terdengar jelas, dan aku menyerahkan semua pada Bandi, lelaki yang kini menamakan dirinya Bayu Mada dan aku Dewi Kumala.

Malam itu angin berhembus kencang, aku yang hanya menggunakan kemban merapatkan tubuh ke dada bidang Bayu Mada.

"Kenapa?" tanyanya pelan.

"Dingin, apa kita akan terus berjalan di malam seperti ini?" Aku balik bertanya.

Lelaki itu tersenyum dan menghentikan langkahnya.

"Jadi begini. Jika Nimas Dewi merasa dingin, kain panjang ini bisa ditarik dan lilitkan ke arah belakang. Nah, sudah tertutup dan tak begitu dingin biar angin malam menerpa," jelas Bandi, bukan ... kali ini aku harus biasa memanggilnya Kang Mas Bayu.

Kami pun melanjutkan perjalanan kembali, menembus gelap malam dan melewati hutan.

****

"Masih lama?" Kali ini kakiku sudah gemetar, sepanjang malam kami berjalan dan di saat mentari tampak pun belum ada tanda Kang Mas Bayu akan mengajakku menepi.

"Sebentar lagi, dua bukit terjal itu dan kita akan sampai," tunjuk Kang Mas Bayu.

Aku terperanjat, "Mas, aku sudah tak kuat. Bisa kita istirahat dulu? Kumohon!"

Kang Mas Bayu terdiam, sesekali dirinya melihat ke arah tempat yang kami tuju.

"Sudah tak kuat?" tanya Kang Mas Bayu.

Aku mengangguk dan sejurus kemudian ....

"Arggghh! Apa yang kau lakukan? Bandi!"

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status