Home / Romansa / Mencintai Seorang Climber / bab 05. Komandan Baru yang Arogan

Share

bab 05. Komandan Baru yang Arogan

last update Last Updated: 2024-10-01 04:08:45

Gadis itu punya nama lengkap Maryam Nur Asyifa, penampilannya sederhana, pakaian dan jilbabnya dari bahan yang murah, dan berwarna gelap. Wajahnya selalu polos tanpa make up. Namun di balik kesederhanaan itu, sebenarnya Maryam berparas cantik, dengan kulit kuning langsat. Saat dia tersenyum ada lekuk mungil di pipinya, giginya rapi dan bersih, matanya bulat bening. Tubuhnya tinggi semampai.

Saat ini Maryam sudah memasuki tahun ke empat masa kuliah. Maryam tidak sempat jualan peyek, karena sibuk praktik mengajar di sebuah SMP, di Cicalengka. Itu yang dilihat Marco di akun media sosial milik Maryam. Marco dan Maryam saling follow akun medsos, walau Maryam jarang membuat postingan, Marco juga begitu. Postingan yang dibuat Maryam kadang-kadang diberi tanda like oleh Marco. Sedangkan postingan terakhir Marco di akun pribadinya, adalah saat dirinya melakukan serah terima jabatan komandan Adventure kepada yuniornya yang bernama Raymond Sanjaya. Postingan itu lewat di beranda akun medsos milik Maryam, dan Maryam tidak memberi jejak apapun pada tayangan video itu, hanya mengamatinya saja.

Maryam kerap merasa kegiatannya biasa saja, tidak ada yang istimewa untuk diposting di medsos. Sedangkan Marco tidak terlalu suka posting kegiatan climbing dan naik gunung di akun pribadinya, karena sering diintai oleh keluarganya, dan diomeli mamanya. Makanya Marco lebih sering mengunggah kegiatannya di akun milik organisasi Adventure. Maryam tidak follow akun Adventure, karena merasa bukan anggota. Sebenarnya pengin follow, tapi khawatir dipertanyakan, mau ngapain follow akun The Adventure. Maryam memang kerap merasa tidak percaya diri, dan penuh rasa khawatir jika ditolak oleh pihak lain. Efek dari beberapa kejadian di masa kecilnya, saat dirinya kerap ditolak ikut bermain oleh teman-teman di SD, karena dianggap anak miskin yang bajunya lusuh, sepatu butut.

Kali ini Maryam mengunggah video saat dirinya sedang mengajar di depan kelas, yang merekam adalah rekannya. Maryam ingin kegiatannya mengajar dapat terdokumentasi, dan bisa dilihat oleh keluarganya. Tidak disangka, Marco memberi komentar pada postingan itu.

“Ibu guru Maryam.” Itu komentar Marco, lalu ditambahi emoticon love. Cuma begitu saja, tapi mengundang beberapa komentar dari rekan-rekan Maryam di kampus.

“Cie cie, dikasih lope sama si Abang.”

“Ukhti Maryam, kapan balik ke kampus? Kayaknya ada yang kangen tuh.”

“Pulanglah Dek, sekarang Abang sudah bukan komandan lagi.” Itu komentar dari Cepi, anggota Adventure yang pernah jadi rekan sekelas Maryam.

Komentar Cepi dibalas oleh komentar Marco. “Cuci muka sana!”

Si Cepi membalas Marco. “Cukur rambut lo! Dah semester VIII masih gondrong! Norak lo!”

Lalu ada rekan Marco yang berkomentar juga. “Bakal hilang kekuatan Samson kalau rambutnya dicukur.”

“Gue bukan Samson.” Balas Marco.

“Saha maneh?” balas Cepi lagi. Maksudnya ‘siapa kamu?’

Marco membalas lagi. “Aing maung.”

Maryam terkikik pelan membaca komen yang saling berbalas itu.

***

Sore itu seusai kuliah, Marco tidak buru-buru pulang. Dia duduk di dalam homebase sembari mendengarkan musik.

Cepi masuk ke dalam homebase. “Gue mau nginap di homebase. Tempat kos gue lagi direnov kamar mandinya. Semua mampet, bau banget. Cuma satu kamar mandi yang berfungsi. Malas gue kudu antre setiap kali mau pake kamar mandi. Entar kalau septictank sudah disedot, kamar mandi semuanya sudah kelar direnov, baru gue mau balik ke tempat kos.”

Beberapa anggota Adventure kadang menginap di homebase, untuk banyak alasan. Homebase itu bisa jadi alternatif tempat mondok saat tak tahu harus ke mana.

“Ya udah, gue temenin lo mondok di sini ....” ucapan Marco tidak lanjut karena ada seseorang yang datang dan memotong ucapannya.

“Buat sementara, dilarang mondok di homebase!” Itu suara Raymond, komandan Adventure yang baru.

“Apa hak lo ngelarang kita?” tanya Marco.

“Gue lagi mendata aset organisasi, termasuk barang-barang dalam homebase. Untuk sementara jangan ada yang mondok di homebase supaya isi homebase aman.”

“Lo kira, kita mau nyolong?” Marco mulai kesal, “Semua barang dalam homebase ini adalah hasil upaya seluruh anggota Adventure! Semua anggota berhak memakai homebase kapan pun mereka mau, selama tidak bikin kerusakan di sini.”

“Kalau gitu, apa gunanya kalian milih gue jadi komandan yang baru, kalau kalian nggak mau gue atur?”

“Gue nggak milih lo, Raymond!” tukas Marco.

“Tapi anggota lain milih gue, menghargai gue sebagai komandan, sebagai pemimpin. Anggota lain mau nurut sama aturan gue! Kalau ada satu oknum yang menolak kepemimpinan gue ... ya terserah! Tapi apa artinya orang sebiji, dibanding puluhan anggota aktif yang ngedukung gue?” Raymond mengambil kunci homebase dari lubang kuncinya.

“Arogan banget sih lo!” ujar Cepi, “Marco aja yang dua tahun jadi komandan, nggak pernah ngelarang anggota yang mau mondok di homebase.”

Raymond menyeringai. “Hei Marco, lo sudah lewat, mending lo minggir! Kuliah yang bener!”

Marco mulai emosi. “Nggak perlu ngedikte apa yang harus gue lakukan! Gue tau kalau lo marah soal latihan di Citatah kemarin, karena lo nggak mau gue ikut.”

“Terus kenapa lo malah ikut?”

Cepi yang menjawab, “Karena anggota yunior ingin Marco ikut, mereka merasa aman kalau Marco ada bersama mereka. Kalau lo mau dipatuhi sama seluruh anggota Adventure, maka buatlah mereka merasa aman dan nyaman, saat bersama lo.”

“Gue nggak butuh saran kalian. Pergi sana! Homebase mau gue kunci!”

Cepi bicara lagi, dengan nada lunak, “Raymond, biar bagaimanapun, aku dan Marco adalah senior kamu, di kampus ini, maupun di organisasi. Setidaknya kamu masih bisa menghargai kalau umurku dan Marco itu lebih tua dari kamu.”

“Kalian aja nggak pernah menghargai aku sebagai komandan Adventure, bagaimana aku bisa menghargai kalian?”

Marco membalas, “Berapa duit harga diri lo?”

Wajah Raymond memerah menahan marah, dia hendak bergerak mendekati Marco. Lekas Cepi berdiri di antara keduanya. “Sudah Maghrib Bro, kita pergi aja. Masak lo mau ribut saat adzan Maghrib?” Akhirnya Cepi berhasil membuat Marco beranjak meninggalkan homebase.

Akan tetapi saat di teras, Marco menoleh ke arah Raymond yang sedang mengunci pintu homebase. “Raymond, lo kurang ajar! Suatu saat lo bakal tau rasa, karena sudah ngusir gue dari homebase!”

“Persetan!” jawab Raymond sembari berjalan meninggalkan homebase yang sudah terkunci, dan kuncinya dia yang bawa.

Beberapa saat kemudian Marco melarikan motornya pulang ke rumahnya nan sepi, kali ini bersama Cepi. Malam itu mereka makan bareng, mengobrol sembari nonton beberapa acara TV. Akhirnya keduanya tertidur di karpet ruang tengah rumah.

“Aku mau mati sebagai climber!”

Marco terbangun, istighfar beberapa kali. Mimpi kali ini lebih buruk. Pemanjat itu, yang berteriak mau mati sebagai climber, adalah dirinya!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mencintai Seorang Climber   bab 293. Kawin Lagi

    Kusmin sedang duduk di teras belakang rumah Erna, yang berhadapan dengan kamar mandi untuk ART, tempat cuci piring, mesin cuci dan area tanpa atap untuk menjemur pakaian. Hari telah gelap karena malam sudah larut. Kusmin sebenarnya letih, ingin berbaring di kamar. Namun dia malas meladeni pertanyaan istrinya soal ponsel itu. Maka Kusmin memilih duduk di teras, pengin merokok, tapi tidak berani, takut nyonya rumah melihat dan marah. Karena ada juga keluarga yang anti rokok, makanya Kusmin tidak coba-coba menyalakan rokoknya.Kusmin adalah pria berusia 52 tahun, yang telah mengalami berbagai hal tidak menyenangkan dalam hidupnya, lebih banyak sebagai akibat perbuatan buruknya di masa lalu.“Pak!”Kusmin tersentak kaget mendengar suara istrinya.“Eh, kamu belum tidur, Iroh?”Mbok Iroh mendekati teras tempat suaminya sedang duduk. “Pak, tolong bicara jujur, kenapa tiba-tiba kowe mau ikut ke Bandung?”“Saya tidak tega membiarkan kalian berangkat ke tempat baru. Nanti kamu harus berjuang se

  • Mencintai Seorang Climber   bab 292. Mencari Video Panas

    Malam itu Bu Marianne datang ke rumah Erna, diantar oleh sopirnya. Bu Marianne tersenyum melihat Maryam.“Maryam, kamu sedang hamil? Sudah berapa bulan?”“Jalan lima bulan, Bu.”“Bagaimana keadaanmu? Kamu capek ya, setelah perjalanan jauh?”“Iya ... eh, tidak apa-apa, saya baik-baik saja, Bu.”Bu Marianne masuk ke kamar itu, meminta Maryam duduk di tepi tempat tidur, dia juga duduk di samping Maryam. Erna turut masuk ke dalam kamar, berdiri di dekat lemari.“Kamu sudah makan malam?” tanya Bu Marianne lagi.“Sudah Bu.”“Sebetulnya saya yang mau berangkat bareng suami ke Makassar, untuk mencari tahu soal Marco. Tapi menjelang berangkat, saya sakit, jadi Erna yang menggantikan saya.”Maryam hanya mengangguk pelan. Erna berdehem.Bu Marianne bicara lagi, “Ayo pulang ke rumah saya!”“Jangan sekarang, Kak!” tukas Erna, “Kang Ardi menitipkan Maryam pada saya, di rumah saya. Nanti tunggu Kang Ardi pulang.”“Bagaimana kalau suamiku masih lama pulangnya?”“Kita bisa menelepon Kang Ardi untuk me

  • Mencintai Seorang Climber   bab 291. Pulang Kampung

    Kusmin berniat mengejar pria itu, untuk menanyakan apakah pria itu ketinggalan ponsel. Namun sesaat kemudian, dia teringat bahwa dia sudah kehilangan pekerjaan sebagai juru parkir di pujasera itu. Digenggamnya ponsel itu, memperkirakan harganya jika dijual.“Aku nggak mencuri barang ini, tapi nemu. Aku lagi butuh uang karena pekerjaanku tiba-tiba hilang. Mungkin hape ini bisa laku di atas lima juta, mungkin lebih.” Gumamnya.Kusmin pulang dengan masih menjinjing travel bag isi baju istri dan anak-anaknya. Tetangganya yang sopir angkot, baru pulang narik, bicara padanya.“Hey Pak Kusmin, tadi saya lihat istrimu menangis di tepi jalan, sambil bawa dua anak. Saya lewat di depannya, lalu dia mencegat angkot saya, minta diantar ke rumah tempat dia biasa kerja. Tapi tadi kan, sudah sore, biasanya jam segitu dia pulang, bukan pergi ke rumah majikan. Kecuali kalau kamu usir dia!”“Tidak! Dia mau pulang kampung, ke Jawa, bareng majikannya.”“Pak Kusmin nggak ikut? Atau nggak diajak?” Tetanggan

  • Mencintai Seorang Climber   bab 290. Barang Temuan

    Iroh, ART Maryam, teringat saat bicara dengan suaminya yang bernama Kusmin, menyampaikan niat ingin pulang ke Jawa Barat.“Tantenya Den Marco mau bayarin tiket pesawat. Nanti sampai di Bandung, saya boleh kerja di perusahaan catering miliknya. Kowe juga boleh ikut, Pak, katanya ada pekerjaan buat kowe di sana sebagai pengantar makanan.”“Ah, malas aku! Kerja jadi tukang parkir di pujasera lebih gede duitnya, santai, nggak perlu bangun pagi-pagi.”“Jadi selama ini duitmu banyak, Pak? Kenapa setiap saya minta uang buat beli beras, buat makan kedua anakmu, kowe bilang lagi sepi job, lagi nggak ada uang?”“Hei Iroh, kowe punya gaji dari Den Marco, sering dikasi nasi dan lauknya pula. Kowe sering diajakin makan di restoran sama mereka. Mana pernah aku makan enak di restoran? Kenapa kamu masih minta uang pula sama aku?”“Jadi kamu merasa nggak perlu ngasi nafkah sama kedua anakmu?”“Mereka itu kan, juga anakmu, kutengok setiap hari mereka makan, nggak kekurangan. Kenapa kowe masih mengincar

  • Mencintai Seorang Climber   bab 289. Hape yang Hilang

    Erna sedang memberi penawaran kepada ART di rumah Maryam untuk turut ke Pulau Jawa, dan bekerja di tempat usahanya. Mbok Iroh tampak ragu karena Tante Erna tampaknya tidak ingin suami Mbok Iroh ikut.“Kalau saya pulang ke Jawa, mungkin suami saya juga pengin ikut. Aslinya dia juga orang Jawa, cuma sudah sejak muda ada di Sulawesi karena dulu ikut transmigrasi bedol desa. Desanya sudah tenggelam jadi bendungan.”“Transmigrasi kan, dikasi lahan untuk bertani. Suamimu nggak bertani?”“Kata suami saya, dia kebagian lahan yang kurang subur. Akhirnya dia pergi ke kota untuk kerja di proyek bangunan. Sekarang dia sudah tua, nggak kuat lagi kerja bangunan. Suami saya juga nggak pernah kembali ke desa transmigrasi itu, setelah istri pertamanya meninggal. Suami saya bilang, itu bukan kampung halamannya. Makanya dia tetap tinggal di Makassar. Tapi kalau saya pulang ke Jawa, mungkin dia juga pengin ikut.”“Baiklah Mbok, bilang sama suamimu, kalau dia mau kerja, saya mau juga bayarin ongkos dia ke

  • Mencintai Seorang Climber   bab 288. Uang Tebusan

    Pak Ardi masih bicara dengan Wandi dan Vino, tentang strategi mencari dan membebaskan Marco dari penyanderaan oleh kelompok separatis.Wandi melontarkan sebuah usul, “Kita tawarkan uang tebusan untuk membebaskan Marco. Saya kira para pimpinan kelompok itu juga butuh uang untuk biaya hidup mereka.”Pak Ardi terdiam.Wandi bicara lagi, “Ini hanya usul dari saya, untuk menemukan Marco, dan membawanya pulang dengan aman, tanpa kontak tembak. Jika kita minta bantuan warga lokal, tentu akan ada biaya. Dan jika pimpinan kelompok separatis setuju untuk membebaskan Marco dengan aman, itupun butuh biaya. Saya serahkan semuanya pada keputusan Pak Ardi.”“Kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan?”Vino yang menjawab, “Untuk awal, kita merekrut dulu beberapa orang warga lokal yang akan mencari keberadaan Marco. Mungkin butuh seratus juta untuk awal pencarian.”Pak Ardi meminta asistennya untuk mengambil buku cek. Dia membuka buku itu, siap menulis sejumlah uang, tapi kemudian gerakan tangannya terhe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status