Rintik hujan terdengar bak lagu yang merdu.
Bersama di bawah langit yang kelabu.
Aku dan kamu, berusaha untuk bersatu.
“Abang kapan pulang?” tanyaku setelah kami lama terdiam.
Pemuda yang sedari tadi kusebut pemuda patung itu ternyata benar pemilik manik mata indah yang begitu kukagumi tiga tahun lalu. Dia segera melepas tudung hoodie serta masker begitu aku berbalik. Senyum yang selalu memikat itu dia tunjukkan begitu tatapan kami bertemu.
Kami memutuskan untuk berbicara sebentar, sembari menunggu hujan reda. Setidaknya, saling menyapa sebagai sebuah keluarga yang telah berpisah meski rasa canggung terus menyiksa.
“Sudah hampir seminggu, Zahrah. Kamu ... apa kabarnya?” balasnya lemah.
Suara Bang Hasan sudah banyak berubah, bahkan parasnya menjadi lebih tampan berwibawa dibanding sebelumnya. Aku menelan saliva, saat jantungku yang nakal itu kembali memo
“What? Are you kidding me?” Tya memekik cukup keras hingga rahangnya mengeras. Jika tidak mengingat banyaknya makanan yang tertata di atas meja, sudah pasti gadis itu akan menggebrak meja demi meluapkan emosinya.Gadis itu segera mendatangiku dengan sorot mata yang tajam. Kedua matanya membesar dan bibirnya bergetar menahan kesal. Tidak ubahnya Tya, kini Wulan juga berperilaku sama. Keduanya serentak mencengkeram kedua lenganku hingga terasa panas.“Otakmu geser, Rah? Apa lulus CPNS dan punya jam mengajar tetap membuatmu tidak waras?” seloroh Tya. Terlihat jelas jika gadis itu juga menggertakkan barisan giginya yang rapi.Gadis itu terus mempererat cengkeraman tangannya, bukan berniat menyakiti melainkan sebal, kesal juga kecewa dengan jawaban yang tadi aku lontarkan. Meski demikian, aku tetap saja menatapnya dengan tatapan tenang, tidak ingin menodong keduanya sembarangan karena aku paham atas niat baik yang mereka rencanakan.
Pada deburan ombak serta hembusan angin di lautAku bersumpah, untuk berhenti mencintaiOrang lain selain, kamu!-MineLidahku terasa kelu saat mendengar ucapan mak cik. Begitu dalam rasanya relungku terluka setelah inginku berhadapan dengan penolakan. Bukannya aku tidak tahu hal itu, bukan juga tidak sadar diri, akan tetapi sudah bertahun lamanya nama Bang Hasan enggan hilang dari sanubari. Harus berapa lama aku memendam sebuah rasa yang haram ini? Cintaku butuh rumah, karena ia ingin pulang setelah lama berkeliaran.Aku menghela nafas, menundukkan wajah demi menyembunyikan kedua mata yang mulai basah. Batinku merana, tersiksa, namun semuanya harus kuteguk dalam-dalam meski jiwaku seakan telah tenggelam di dalam lautan.“Baik, mak cik, aku paham,” lirihku dengan suara yang bergetar.Entah bagaimana lagi caraku menjawab keduanya, sebab jika lebih banyak kata yang t
Aku tak pernah meminta banyak hal di dunia ini, selain kebahagiaan dan kasih sayang. Terima kasih sudah datang. –Zahrah Al-Humairah.“Zahrah? Sayang?” Bujuk rayu itu menggema di langit subuh yang syahdu. Aku yang masih memejamkan mata bisa merasakan sesuatu yang mulai menyentuh pipi. Dingin dan lembut, terasa kasih sayang yang melesat jauh dari ujung jemari itu.“Sayang? Bangun dong! Sudah subuh. Mandi dulu, terus salat bersama,” pinta suara itu lagi.Aku berbalik, berusaha memunggungi sosok yang kini duduk di dekat ranjang. Aku sadar, pun tahu jika pria yang terus berusaha menggodaku adalah Bang Hasan. Pria yang telah mengambil kesucian yang selama ini kujaga. Mendadak saja hati ini tergelitik mengingat bagaimana indahnya peristiwa yang telah kami jalani beberapa jam lalu.“Abang tahu kamu sudah bangun, Sayang?” godanya lagi. Lengkap dengan satu kecupan lembut di pelipisku.“Kamu aka
Senyumku merekah saat melihat rumah makan yang sama dengan dulu. Aku hampir tidak pernah lagi mampir ke restoran ini semenjak insiden Tya yang membocorkan perasaanku pada Bang Hasan. Dan hari ini, entah mengapa aku kembali datang ke tempat yang sama. Mendadak saja aku rindu dengan rasa sambalnya yang menggoyang lidah serta gurihnya ayam goreng yang disajikan di sini.Kutatap lamat-lamat seluruh sudut restoran, semuanya hampir serupa, hanya saja lebih luas dan megah dibandingkan tiga tahun lalu. Jumlah meja dan kursi semakin banyak, dan ruang untuk duduk lesehan telah berganti saung dengan atap rumbia.“Sudah lama enggak ke sini, ya?” paparku pada kedua gadis itu.Mereka mengangguk padaku, kemudian gegas berjalan memasuki restoran. Disambut hangat oleh waiters, Tya segera memesan tiga porsi makanan yang masih diingatnya dari kami.“Yuk! Cus ke saung biar nyaman lesehannya,” ujarnya lagi.Aku dan Wulan mengikuti Tya d
“Zahrah? Kok manyun, sih Sayang?” tegur Bang Hasan dengan suaranya yang berat.Dia melirikku yang duduk bak patung di kursi samping kemudi. Memandang diam ke jalanan seorang diri. Usai menikmati makan siang bersama, Bang Hasan selaku suami menawarkan diri untuk mengantarku kembali ke kampus dengan alasan agar Tya tidak perlu dua kali mutar demi mengantar Wulan lalu mengantarku.Gadis itu menurut saja, karena dari gelagat dan senyumnya yang nakal, Tya bisa paham kalau Bang Hasan memang ingin berduaan saja denganku. Mungkin, memang benar adanya begitu, sebab kini Bang Hasan mulai meraih tanganku yang sibuk memeluk tas di pangkuan, kemudian menggenggamnya erat, seerat mungkin hingga aku ikut menoleh padanya.Kudapati Bang Hasan terus memandang ke jalanan, wajahnya tersenyum cerah, binar bahagia benar-benar terasa di sana. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di dadaku saat ini.Aku tahu, kami baru menjadi suami istri selama dua hari, ada banyak hal
Aku menanti dengan sabar kepulangan Bang Hasan usai menghidangkan beberapa menu makan malam di meja. Sendirian, bertemankan sepi, kuputuskan untuk memainkan gawai sembari mengulang momen sakralnya pernikahan kami.Tidak bisa kupercayai, jika kini kami telah menjadi sepasang suami istri. Walau Bang Hasan merupakan mantan suami adikku, tetapi cinta kami tetap suci.Kesalahpahaman kecil yang dibalut rindu di masa lalu, ternyata telah mengantarkan kami ke dalam ikatan yang lebih kokoh. Perasaan kami berdua terasa lebih nyata usai kesulitan dan kesakitan yang berhasil kami lewati.Siapa yang peduli soal status Bang Hasan yang menduda? Atau soal aku yang pernah menjadi kakak iparnya? Kini, kami terjalin dalam janji suci sehidup dan semati, dan itu semua lebih dari cukup untukku dan Bang Hasan. Luka menjadi bahagia, itulah yang kurasa usai memandangi foto pernikahan yang diambil oleh Tya hari itu.Semuanya terlihat indah, khusyu’ dan bahagia. Bang Ha
“Sayang? Zahrah? Buka pintunya, Sayang. Kamu tidak kasihan Abang dicium nyamuk begini? Enggak cemburu?” selorohnya dari luar.Aku masih berdiam diri di tempat. Helaan napas terus memberat sebab barisan kata yang didendangkan Bang Zaky tadi membekas di kepala. Sepertinya, memang ada sesuatu yang disembunyikan Bang Hasan dariku, sebab itulah dia terlambat pulang tanpa mengabari sama sekali.Tetapi, ini belum satu minggu pernikahan? Bagaimana mungkin ....“Zahrah?” ulangnya.“Abang dari mana aja? Kenapa pulangnya telat?” Aku berseru dari dalam. Kuintip dia yang berdiri di depan pintu dengan wajah risau.Sesekali, dengan tangan kekarnya itu, Bang Hasan menampar nyamuk-nyamuk yang mencumbu rayu dirinya. Bunyi gedebuk pelan terdengar berulang hingga beberapa saat. Merasa puas menyiksa Bang Hasan dengan serangga usil itu, aku membuka pintu untuknya.Seketika saja, Bang Hasan mendobrak, dia menahan daun pintu deng
Bang Hasan bergumam beberapa kali. Dia yang duduk bersandar di dashboard ranjang sibuk memainkan gawai. Bibirnya yang merah melengkung tiba-tiba, pun manik mata indah yang selalu menjadi candu itu berkilau seketika.Kuputuskan untuk mengakhiri ritual perawatan diri malam ini demi mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Bang Hasan seorang diri. Merasakan pergerakan dariku, Bang Hasan dengan cepat mengusaikan semua yang dilakukannya, termasuk menyimpan gawai kembali di meja nakas.“Kenapa disimpan, Abang?” tanyaku tanpa berniat mengumbar jika aku sedikit curiga dengan tingkah lakunya.“Sudah malam, mau tidur, Zahrah Sayang. Itu tuh, mata kamu, tuh! Ada lasernya!” kilah Bang Hasan.Aku menggeleng tidak setuju dengan penuturannya. Dia benar-benar bersikap mencurigakan, seakan ada sesuatu yang sedang disembunyikan.Pria itu menarik tanganku hingga menimpa tubuhnya. Terdengar gedebuk saat kami beradu, tetapi Bang Hasan s