Gilang mengingat kembali pertemuannya dengan gadis yang menabraknya di Gramedia beberapa hari yang lalu.
Pertemuan itu merupakan pertemuan yang kedua kalinya oleh Gilang, setelah sebelumnya juga bertemu di Restoran saat makan siang.
Gilang penasaran dengan sosok gadis tersebut.
Gadis dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam bersinar, seakan menambah nilai plus pada dirinya.
Kulitnya tidak putih seperti perempuan pada umumnya yang pernah dekat dengan Gilang.
Akan tetapi lebih mengarah ke arah sawo matang dan jangan lupakan sebuah lesung pipi disebelah kanan pipinya yang menambah daya tarik kuat dimata para pria tak terkecuali dengan Gilang yang juga terbius pesona gadis tersebut.
Melihat dari penampilannya dia bukanlah cewek yang feminim, tapi lebih kearah tomboy.
Gilang tersenyum sendiri mengingat pertemuannya dengan gadis tersebut.
Dia larut dengan pemikirannya sambil tersenyum-senyum sendiri sampai Gilang tidak menyadari David sang Asisten pribadinya sudah berdiri di sampingnya.
David menatap bos nya tersebut dengan tatapan aneh dan penuh tanda tanya.
“Kenapa Pak, senyum-senyum sendiri dari tadi?” selidik sang Asisten.
“Sudah berapa kali saya bilang, ketuk pintu dulu sebelum masuk!” kesal Gilang karena lamunannya terganggu oleh kehadiran David.
Gilang berjalan menuju mejanya tanpa menghiraukan pertanyaan sang Asisten.
“Saya sudah ketuk-ketuk pintu dari tadi Pak. Bahkan sudah sampai lima kali malahan. Kirain Bapak kenapa-napa karena tidak ada sahutan, nggak taunya lagi senyum-senyum sendirian kayak orang kesurupan!” sang Asisten berargumen sendirian.
“Kamu jangan sembarangan David, mana ada orang yang kesurupan siang-siang gini, dan orang kesurupan bukannya senyum-senyum tapi malah kejang-kejang!” Gilang tambah kesal mendengar ocehan Asistennya yang terkadang malah membuat jengkel.
“Manatau, kan jinnya nggak pandang waktu untuk masuk, karena dialam jin mungkin nggak ada jam dinding, Pak!” jawaban konyol David membuat sang bos malah tambah marah.
“Ya, jinnya sama kayak kamu. Nggak pandang waktu masuk ruanganku!” kesal Gilang.
“Masuk salah. Nggak masuk salah. Sudah resiko jadi asisten dari bos yang nggak bisa ditebak ini! Aku selalu menjadi sasaran kemarahannya” ucap David, tapi hanya didalam hati sambil mengusap kepalanya.
“Ngomong apa kamu. Ngomong dengan suara, jangan ngomong dalam hati!” sergah Gilang.
“Nggak ada Pak!” David salah tingkah dengan terkaan sang bos yang tepat mengenai pikirannya.
“Bagaimana dengan kunjungan kerja besok, sudah disiapkan semuanya?” tanya Gilang lebih lanjut.
“Sudah, Pak. Tinggal menunggu keberangkatan!” lapor David.
“Jangan ada yang tertinggal, persiapkan semuanya sematang mungkin! Kalau ada yang kurang maka kamu yang akan jadi sasarannya!” ucap Gilang tajam.
“Baik, Pak,” jawab David
“Bapak yakin akan berangkat sendirian, nggak perlu saya temani?” David meyakinkan kembali.
“Sendiri saja. Kalau kamu ikut, ntar yang disini siapa?” jawab Gilang.
“Pak, kabarnya Belinda disini sekarang!” David memberikan informasi lebih lanjut.
Belinda merupakan wanita dari masa lalu Gilang yang berprofesi sebagai model.
Meskipun hubungannya dengan Gilang sudah berakhir, akan tetapi wanita tersebut tidak bisa ditebak tingkah lakunya.
Dia akan melakukan apapun demi ambisinya untuk bisa bersama kembali dengan Gilang.
“Perhatikan saja gerak-geriknya. Jangan sampai dia mengacaukan segalanya,” perintah Gilang.
“Baik, Pak! Kalau begitu, saya permisi keluar dulu, Pak!” pamit David sambil melangkahkan kaki meninggalkan ruangan sang CEO tersebut dengan perasaan yang aneh.
“Si bos kenapa senyum-senyum sendiri bikin horror aja,” David bicara sendirian sambil memegang tengkuknya yang meremang.
“Kenapa Pak?” tanya Karina yang merupakan Sekretaris Gilang.
“Nggak ada, Rin. Anu,” David nggak tau apa yang akan dikatakannya.
“Anunya kenapa, Pak?” sambung Karina polos dengan nada khawatir.
“Bukan itu Karin!” sergah David karena Karina yang sudah menyalah artikan ucapannya.
“Bapak kenapa? Lagi sakit?” Karina tambah tidak mengerti dengan ucapan David yang tiba-tiba emosian.
“Saya nggak sakit kok. Lupakan!” ucap David sambil berjalan menuju mejanya.
“Oppss. Kirain anunya Bapak kenapa. Saya jadi kaget mendengarnya,” ucap Karina.
“Pikiran kamu tuh yang harus dibenarin,” sahut David.
“Bapak ini gimana sich? Kan Bapak sendiri yang bilang anunya Bapak. Malah nyalahin saya lagi. Makanya kalau ngomong itu yang jelas, Pak!” jawab Karina tidak mau kalah.
"Maksud aku, bukan itu, Karina. Aku belum selesai ngomong, kamu sudah main potong saja," ucap David menambahkan.
"Hmmm. Trus Bapak kenapa? sampe megang tengkuk segala? Apa Bapak melihat setan?" Karina bertanya kembali
"Setannya diruangan si Bos!" ucap David jengkel sambil berjalan meninggalkan Karina yang melongo seperti sapi ompong nggak kebagian makan.
Sedangkan diruangannya, Gilang tertawa sendirian melihat ulah sang Asisten dan Sekretarisnya yang meributkan hal nggak penting.
“Orang sehat gini, dibilang kesurupan, dasar Asisten aneh. Hanya memikirkan gadis tersebut saja sudah membuatku seperti ini, apalagi kalau bisa memilikinya seutuhnya,” monolog Gilang sendirian sambil melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
***
Dilain sisi, Ara sudah sampai di apartemennya. Hari ini Ara akan memasak menu makan siang yaitunya membuat sup daging kesukaannya.
Setelah mengganti pakaian kerja, dan meletakkan sepatu pada tempatnya, Ara langsung menuju dapur dengan rambut yang digulung ke atas, biar nggak repot saat memasak.
Ara mulai mengeluarkan semua bahan-bahan masakan yang akan digunakan dari dalam lemari pendingin.
Mulai dari daging yang ada di freezer. Semua daging yang ada di dalam freezer sudah dipotong-potong dan dibagi dengan ukuran kecil.
Daging-daging tersebut disimpan di dalam wadah Tupperware kecil-kecil agar tidak susah untuk mengambilnya saat dibutuhkan.
Saat dibutuhkan tinggal mengambil satu wadah, dan tidak perlu mengganggu daging yang lainnya. Jadi lebih memudahkan dan lebih efisien. Selain itu juga lebih sehat.
Begitu juga dengan semua jenis sayuran, setelah dibersihkan, akan dimasukkan ke dalam wadah Tupperware untuk memudahkan saat mengambil dan lemari pendingin juga akan terlihat lebih rapi dan bersih, tanpa ada bahan makanan yang berserakan.
Selain itu, dengan penyimpanan menggunakan wadah makanan, maka kesehatan dan kebersihan bahan makanan jauh lebih terjaga.
Setelah mengeluarkan daging, mengambil tomat, wortel, kentang dan daun sup.
Dilanjutkan dengan memotong-motong Bawang, Daun sup, Kntang, Wortel dan Tomat.
Ara langsung mengeksekusi semua bahan tersebut menjadi sup daging yang enak.
Enak kalau menurut penilaiannya, tapi Carista sering bilang kalau sup buatan Ara juga enak.
Hampir dua jam, aku berkutat didapur dengan menu sup, akhirnya selesai juga.
Saat sedang menata makanan di atas meja, Carista pulang dari kerjanya.
“Masak apa, Ra?” sahut Carista dari pintu masuk.
“Sup daging, Car!” jawabku menggelegar.
“Yyyeeeeee! Untung aku belum makan diluar!” Girangnya berjalan menuju meja makan
“Ganti baju dulu, Car. Kita makan bareng!” usul Ara.
“Okey!” Carista langsung menuju kamar dan mengganti pakaian.
Selesai makan dan mandi, aku mengemasi barang-barang yang akan dibawa besok.
Rasanya sangat tidak sabar menunggu hari esok, dengan memikirkan semua kemungkinan yang akan aku hadapi disana.
Pastinya memikirkan akan melukis lagi, sangat membahagiakan rasanya.
“Berangkat jam berapa besok, Ra?” tanya Carista.
“Seperti biasa, Car. Ngumpul di kampus dulu, setelah itu baru berangkat sama-sama ke Bandara!” jawab Ara.
“Kenapa nggak langsung ke Bandara saja?” usul Carista.
“Nggak, Car. Ada sedikit pengumuman dulu kepada rombongan yang akan ikut. Biar nanti semuanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan!” jelas Ara lebih lanjut.
“Mudah-mudahan nanti disana ketemu sama Dosen yang keren, Ra. Pastinya yang bisa dibawa ke pelaminan!” kekeh Carista yang tidak berubah dari dulunya. Asal aku bepergian pasti ini terus pesannya.
“Apaan sih, Car. Aku kesana mau kerja, bukan cari jodoh!” geram Ara.
“Ya, manatau ketemu jodoh, Ra. Kan bisa sekalian. Ibarat pepatah sambil menyelam minum air dan dapat ikan gitu! Kalau kamu kan sambil studi banding dapat jodoh,” lanjutnya dengan tawa yang menjengkelkan.
“Terserah kamu saja, Car!” Aku mulai malas meladeni Carista kalau penyakit musimannya ini sudah keluar.“Sampai disana jangan lupa kasih kabar, Ra!” sela Carista.“Pastinya, Car,” jawabku.“Jangan lupa oleh-olehnya juga!” ucapnya menambahkan.“Kamu mau oleh-oleh apa?” tanya Ara.“Apa aja deh, Ra. Yang penting enak,” cetis Carista.“It’s ok, Car!” ucap Ara.Pagi ini, halaman kampus sudah dipenuhi oleh mahasiswa yang akan ikut studi banding ke Universitas Negeri Padang yang berada di Provinsi Sumatera Barat.Mereka sudah lengkap dengan bawaannya masing-masing.Diparkiran kampus sudah berjejer tiga buah bus kampus, yang akan membawa semua mahasiswa peserta Studi Banding dan Dosen yang mendampingi menuju Bandara.Peserta studi banding kali ini terdiri dari seratus orang mahasiswa/mahasiswi, dan ada sepuluh orang dosen pembimbing
“Morning too, Gilang!” senyumku.Aku terpaku menatap senyuman Gilang yang sangat menawan dengan dua lesung pipi di pipinya.“Jangan terlalu lama menatapku, Kia! Ntar kamu jatuh hati. Aku tahu kok kalau aku keren!” canda Gilang yang disusul dengan suara tawanya.“Hahahah. Nggak segitunya kali Lang!” kekehku.“Kia, kita kesana yuk!” ajak Gilang sambil menunjuk sebuah tempat yang ada diseberang lautan.Tempat tersebut merupakan sebuah pulau kecil. Kesana bisa ditempuh dengan perahu yang disewakan disekitaran pantai.Kami pun berjalan menyusuri pantai, dengan menggunakan perahu yang disewakan nelayan, yang berkapasitas 20 orang sekali jalan.Perjalanan sangat menyenangkan, karena aku penyuka tantangan.Akan tetapi, perjalanan cukup menegangkan bagi yang belum biasa naik perahu.Diiringi deburan ombak, sekitar 30 menit sampailah kami di tempat tujuan karena lokasi yang menyebera
Kiara gadis yang baik, ramah, dan supel menurutku.Wawasannya juga lumayan tinggi. Sepertinya latar belakang pendidikannya juga oke, terbukti dari cara dia menjelaskan segalanya kepadaku.Ya, disinilah aku sekarang didepan penginapan Kiara, untuk keluar bersama mencari makanan yang bisa dinikmati dengan menu khas Padang.Kiara menyuruhku menunggu diluar saja, karena menurutnya nggak enak dipandang jika laki-laki dan perempuan didalam rumah berduaan.Untuk yang kesekian kalinya, Gilang terpana dengan Kiara. Sebuah alasan yang masuk akal menurutku.Aku berasumsi bahwa Kiara gadis yang baik, yang tidak sembarangan dengan laki-laki.Gadis yang masih memegang tradisi dan sopan santun yang masih kental.Sekitar 20 menit menunggu, akhirnya yang kutunggu pun keluar dengan blouse lengan panjang selutut berwarna putih, dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam.Flat shoes putih, dan sebuah sling bag Louis Vuitton berwarna putih dengan
Finally, setelah menikmati makanan dan minuman yang telah mereka pesan selama lebih dari dua jam lamanya, merekapun berdiri untuk membayar semua tagihan yang telah mereka nikmati tadi.“Aku yang bayar, Kia!” tegas Gilang saat Kiara akan mengeluarkan uang untuk membayarnya.“Nggak usah, Lang. Biar aku saja yang bayar,” tolak Kiara.“Aku saja. Nggak baik juga kalau cewek yang bayar. Sekalian aku yang traktir,” balas Gilang.“Yakin, nich?” tanya Kiara.“Sure!” angguk Gilang penuh keyakinan.“Terima kasih, Lang,” ucap Kiara.“Sama-sama, Kia," jawab Gilang sambil tersenyum.Mereka berjalan menuju kasir untuk membayar semua tagihan selanjutnya berjalan menuju mobil yang berada di parkiran restoran.“Kita kemana lagi?” tanya Gilang sambil memasangkan seat belt pada Kiara.Yang langsung membuat Kiara membeku untuk sepersekian d
Setelah menunaikan kegiatan melukisnya selama dua jam, akhirnya Ara selesai juga dengan lukisannya.“Finish!” senyum Ara mengembang sambil memandang hasil lukisannya sore ini, dan menoleh ke arah Gilang yang tidak berkedip.“Selesai, Lang. Balik sekarang, atau bentar lagi?” tanyanya melihat Gilang yang tetap bungkam tanpa suara.“Bentar lagi, Kia! Lukisannya sangat bagus,” puji Gilang yang berhasil membuat rona kemerahan di wajah Kiara.“Terima kasih, Lang,” ujar Kiara.“Sama-sama, Kiara,” jawab Gilang.“Lukisannya sudah selesai semuanya?” tanya Gilang.“Poin yang penting-pentingnya sudah, Lang. Nanti tinggal finishing saja di penginapan atau ntar kalau sudah kembali ke Jakarta!” jelas Kiara.“Aku mau lukisannya!” pinta Gilang.“Boleh. Tapi di selesaikan dulu,Lang,” jawab Kiara.“Baiklah,” senyum
Mereka menempuh perjalanan lebih kurang selama dua puluh menit.Akhirnya jam delapan malam, mereka pun sampai di penginapan Kiara.Gilang mengantarkan Kiara sampai ke depan pintu penginapannya berhubung karena Gilang yang membawa tas ransel Kiara tadi.Setelah meletakkan tas ransel tersebut di dekat pintu masuk, Gilang langsung menuju ke parkiran untuk kembali ke hotel tempatnya menginap, dan diikuti Kiara disampingnya.“Terima kasih untuk hari ini, Lang,” ucap Kiara dengan senyum manisnya.“Sama-sama, Kia. Seharusnya, aku yang berterima kasih, karena sudah diizinkan untuk ikut denganmu,” jawab Gilang sambil tersenyum."Sama-sama kalau begitu. Aku juga sudah ditemani dari tadi," ucap Kiara.“Sampai jumpa besok, Gilang. Hati-hati dijalan,” Kiara menambahkan.“Baiklah. Besok tunggu aku sampai datang, ya,” Gilang mengingatkan kembali karena takut akan ditinggal jika terlambat.
Kami berjalan melalui pemukiman penduduk. Disepanjang jalan kulihat Kiara bertegur sapa dengan penduduk disekitar tempat yang kami lewati.Aku tidak memahami apa yang dikatakan oleh Kiara saat melihat Kiara menunjuk sebuah gunung yang masih jauh.Mungkin penduduk menanyakan kemana tujuan kami. Aku sangat tidak paham dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat.Sedangkan Kiara hanya tersenyum ke arahku, tanpa berniat untuk menjelaskan apa yang telah dibicarakan dengan penduduk yang bertegur sapa dengannya.Hari sudah mulai terang. Perlahan kami bisa menikmati pemandangan alam yang tersaji didepan mata, yang ada disepanjang perjalanan.Sungguh sebuah pemandangan alam yang indah didaerah pegunungan.Dikaki gunung terdapat sungai yang mengalirkan air yang jernih dan segar.Kami berhenti sejenak untuk beristirahat sambil mencuci muka di air sungai yang mengalir indah.Terdapat banyak sawah dikiri dan kanan jalan dengan padi yang te
Setelah selesai mengemasi semua barang-barang, mereka pun memutuskan untuk memulai perjalanan menuju pulang kembali ke penginapan.Disepanjang perjalanan kami bertegur sapa dengan beberapa gadis Desa yang tersenyum ke arah kami, terutama ke arah Gilang.Bahkan tidak sedikit dari mereka yang meminta untuk berfoto bersama Gilang, dengan dalih untuk diperlihatkan atau dipamerkan kepada teman sekolahnya.Kiara hanya geleng-geleng kepala melihat antusiasnya mereka bertemu dengan Gilang, bahkan ada yang menjerit histeris seperti para fans yang bertemu dengan artis idola.“Bisa habis aku ntar kalau keseringan masuk Desa kayak gini, Kia!” cerewet Gilang karena sebenarnya sangat malas melayani hal yang seperti ini.“Hahahah. Sekali-sekali, kan nggak ada salahnya, Lang,” ucap Kiara sambil tertawa.“Iya sih. Tapi aku paling malas kalau kayak gini,” balas Gilang lesu.“Biasa aja, Lang. Itung-itung beramal