Elena selesai berkeliling ke beberapa tempat, ditemani Will. Ia pergi ke museum seni Bristol dan Bristol Old City. Seolah menjelajah ke masa lalu. Banyak hal kuno bersejarah yang temui. Ternyata, ada gunanya berjalan – jalan sejenak, keluar dari rutinitas kantor. “Will, Drake akan baik – baik saja tanpamu, kan?” “Tentu saja, Nona. Tuan Drake bersama sekretarisnya, Tuan Mark.” “Baiklah, aku hanya sedikit merasa bersalah karena meminjammu darinya.” Elena tersenyum membayangkan Drake yang lebih repot ketika ditinggal oleh Will. “Tak masalah, Nona. Tuan Drake biasa menyetir sendiri.” “Benarkah? Saat masih denganku dia ....” Kalimat Elena terhenti. Ia tak ingin terdengar mengungkit masa lalu. “Beberapa waktu terakhir, Tuan Drake sering menyendiri.” “Kenapa?” “Saya tidak tahu, Nona.” Seraya mengerutkan kening, wanita bertubuh ramping itu memasuki kamar. Ia segera bersiap untuk mandi. Tepat saat ia akan memasuki kamar mandi, ponselnya berdering. “Halo, ada apa, Kate?” “Kemarin
Elena meringkuk di ranjang seraya melihat foto yang dikirim Kate padanya. Dari postur dan mata pria yang ada di foto itu, ia semakin yakin. Pria itu adalah Drake. Setengah jam sudah berlalu sejak mantan suaminya itu masuk ke kamar mandi. Elena sendiri sudah lelah meneriaki Drake untuk segera keluar. Tak lama setelah Elena mengamati foto itu lebih cermat, suara air dari dalam kamar mandi berhenti. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi yang dibuka. Drake muncul bertelanjang dada. Pria itu mengambil pakaiannya di lemari lalu dengan santai memakai pakaian santai. Elena mengalihkan pandangannya ketika Drake berganti pakaian hingga selesai. “Kau sudah janji memberitahuku, Drake.” Elena menatap tajam mantan suaminya itu dari ranjang. Ketika Drake berbalik, ekspresi Drake lebih melunak daripada tadi. Pria itu duduk di tepi ranjang, menatap Elena. Ia segera menunjukkan bukti foto di ponselnya pada Drake. “Kau pergi ke rumah sakit, sikapmu juga tak seperti biasanya. Beritahu aku, supaya ak
Elena menutup mulutnya dengan tangan. Matanya menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 14.12. Hanya dua jam sejak ia sampai di rumah. Elena segera menutup panggilannya dan berlari keluar dari kamar. Ia mengetuk pintu Drake cukup keras. Tak ada respon, Elena lebih keras mengetuknya berkali – kali. “Drake, buka pintunya! Ayolah!” Drake membuka pintu itu tiba – tiba, hingga membuat Elena terhuyung ke arahnya karena tangannya akan mengetuk pintu lagi. “Ada apa?” Drake membantu Elena berdiri tegak. Wanita itu tampak masih berantakan dengan rambutnya yang sedikit acak – acakan. “Ini gawat, Drake. Semuanya sudah bocor. Mereka tahu kalau kita ....” Tatapan Elena teralihkan ke arah tablet yang tergeletak di meja tak jauh dari pintu. Terlihat berita tentang mereka berdua. Drake pasti baru saja membacanya. “Kalau kita tinggal bersama?” Drake dengan santai merapikan rambut Elena dengan tangannya. Wanita itu menepis tangan Drake setelah beberapa saat terpaku menatap tablet dari ke
Elena menatap ke arah sumber suara. Tertegun sejenak saat menyadari Drake sudah berdiri menghadapnya dan Alexa. Ekspresi pria itu tak terbaca olehnya. Alexa segera berjalan mendekati Drake. Senyumnya merekah semanis mungkin. “Hai, Sayang. Apa kabar?” Alexa menggandeng lengan Drake dan bergelayut manja. Tak menyadari jika pria yang ia panggil sayang itu mengacuhkannya. Drake hanya menatap Elena yang sibuk membersihkan debu di lengan dressnya. “Kenapa kau ada di sini?” Nyaris bersamaan, Elena dan Drake mengucap pertanyaan yang sama. Keduanya lalu terdiam, hingga suara Alexa menginterupsi. “Drake, kau pasti merindukanku.” “Oh, sungguh reuni para mantan yang menarik. Mantan istri dan mantan kekasihmu, Drake.” Elena mengulas senyum, nada sindirannya tak luput dari perhatian Drake. “Kenapa kau datang ke sini, Alexa? Tak ada alasan bagi kita untuk saling bertemu lagi.” “Jangan bilang kau sudah dipengaruhi oleh Elena.” “Aku tak punya waktu untuk mempengaruhi Drake. Dia bukan ana
Pagi itu, seperti yang Elena duga. Ia bangun sedikit lebih siang. Buru – buru Elena berlari ke kamar mandi seraya merutuki dirinya sendiri. Secepat mungkin, Elena bersiap berangkat. Sepertinya tak ada waktu untuk sarapan. Begitu menuruni tangga, ia teringat akan apa yang terjadi tadi malam. Elena menggeleng – gelengkan kepalanya berkali – kali. “Ada untungnya juga aku bangun kesiangan. Tak perlu berpapasan atau sarapan bersamanya.” Wanita berambut pirang sebahu itu mengulas senyum hingga sampai di lantai bawah. Ia hanya ingin minum segelas kopi sebelum berangkat. Masih ada waktu 5 menit lagi. Senyumnya sirna tatkala berbelok ke ruang makan. Ia melihat Drake sedang menikmati sarapannya dengan tenang. Padahal, ia yakin betul jika pria itu sudah berangkat. Elena langsung berbalik, berjalan menuju pintu utama. “Pagi, Elena.” Suara Drake yang mendadak sudah berjalan di sampingnya membuat jantungnya hampir jatuh. “Pagi.” Elena sengaja mempercepat langkah agar tak diikuti Drake.
Ia berjalan penuh antusiasme bersama Kate. Elena lalu memberi isyarat pada stafnya untuk membuka pintu. Dengan senyuman lebar, ia memasuki ballroom. Pandangannya beredar menyapu para tamu. Ia berkeliling bersama Kate, menyambut satu persatu tamu undangan. “Terima kasih telah menghadiri undangan kami.” “Justru kami yang berterima kasih, karena Anda mengundang kami dalam peluncuran produk baru.” Kate mundur ke belakang panggung. Setelah berbincang sejenak dengan staf beberapa saat, ia segera naik ke panggung. “Selamat malam hadirin sekalian. Pertama, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan Anda menghadiri acara grand launching produk parfum baru kami. Kedua, sesaat lagi akan ada sambutan dari CEO kebanggaan kami, Elena Cartwright. Kami harap Anda sekalian memberi perhatian karena nama produk baru kami akan kita ungkap saat itu. Acara selanjutnya adalah demo dan silakan Anda semua mencoba tester dari kami. Varian dari produk utama hari ini. Saya selaku pemandu acara hari ini mengh
“Aku hanya mampir. Boleh, kan?” Alexa menjawab dengan nada santai. Wanita itu memakai gaun mahal, yang Elena tahu dari desainer terkenal, Alexander McQueen. “Kau tidak bisa mampir sembarangan di event ini. Dari siapa kau mendapat undangan masuk?” Elena menghadap ke arah Alexa. Wanita itu hanya menatap Drake dan mengabaikan Elena sepenuhnya. “Kenapa kau kemari?” tanya Drake seraya menyesap champagnenya. “Tentu saja untuk menemuimu.” Elena melirik ke arah Kate yang juga terkejut. Hanya dengan isyarat mata, Kate segera pergi. “Untuk apa menemuiku lagi? Tak ada gunanya, Alexa.” Drake meletakkan gelas champagnenya. Lalu, menatap ke arah Elena yang diam di tempatnya. “Aku tahu kau pasti masih mencintaiku, Drake. Kau hanya dibutakan sesaat dan tertarik pada Elena. Tapi, akulah yang selalu ada di hatimu.” “Kau tahu dari mana? Apa kau semacam paranormal?” Dengan nada geli Elena turut berkomentar. Drake menahan tawanya. Usaha Alexa benar – benar memaksa. “Kau salah, Alexa. Elena, a
Elena pasrah mengetahui dirinya jatuh dari ketinggian 2 meter lebih. Semua terjadi begitu cepat. Novel yang baru saja berhasil ia raih justru terlepas dari tangannya. Bruukk. Elena mendarat juga akhirnya. “Usaha yang buruk, Elena. Tangganya sudah rapuh.” “Drake!” pekik Elena kaget. Pantas saja ia tak merasa sakit saat mendarat. Bukannya di lantai, ia justru mendarat di tangan Drake. Pria itu tak segera menurunkan Elena. Ia terus berjalan ke arah kursi di dekat pintu masuk, lalu menurunkan Elena di sana. “Sejak kapan kau ada di sini?” “Sejak tadi. Saat terbangun, aku melihatmu saat berkeliling.” “Jadi, kau tidur di sini sejak tadi?” “Ya, aku sedang membaca koran lalu tertidur di situ.” Drake menunjuk ke arah karpet. Pria itu tertidur di atas karpet begitu saja. Elena mengamati wajah Drake yang tak tampak lelah, mungkin karena sempat tertidur sebentar. Wajahnya terlihat lebih segar. “Bukuku.” Elena baru ingat jika novelnya tertinggal di tempatnya terjatuh tadi. Ia bangkit da