Suara kicauan burung menembus hingga ke kamar. Cahaya matahari menyusup masuk hingga menyinari wajah cantik Elena yang masih tertidur. Perlahan, Elena membuka matanya. Hangat sinar matahari membuatnya menikmati suasana pagi yang tenang selama beberapa detik. Ia lalu mengedarkan pandangannya, kesadarannya kembali. Ini bukan kamarnya.
Elena terhenyak, ia segera duduk. Matanya melebar dan membolak – balikkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia berpakaian lengkap, keningnya berkerut. Tepat saat itu pula, seseorang keluar dari kamar mandi.“Kau sudah bangun, Elena?”“Drake,” jawab Elena. Elena menahan rasa terkejutnya. Ia segera memalingkan wajahnya saat menyadari Drake yang hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Memperlihatkan dada dan tubuh atletisnya yang membuat Elena merasa harus segera mengalihkan pandangan. Drake berjalan mendekati Elena.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Drake. Drake mengambil tempat di pinggir ranjang seraya mengamati wajah Elena yang enggan menatapnya.“Ya, syukurlah, aku bisa tidur dengan nyenyak meski tak di kamarku sendiri.”“Apa kau masih tak bisa tidur di tempat selain rumahmu.”“Sayangnya, ya.”Drake tak mengatakan apa pun setelahnya.“Draka, semalam kita tak melakukan apa pun, kan?” Elena kini menatap wajah Drake dengan sorot mata menelisik. Drake tersenyum miring sebelum menjawab.“Kau lupa?” Elena membelalakkan matanya seketika, bibirnya yang awalnya mengatup kini membuka.“Drake, jangan bercanda. Aku saja berpakaian. Kau tak melakukan hal yang ...”“Yang apa? Kenapa kalimatmu terpotong?” Drake lalu memmbungkuk, mencondongkan tubuhnya ke arah Elena, wanita itu langsung mundur, menjauhkan wajahnya dari Drake.“Apa yang kau lakukan?”Elena memekik, Drake tertawa begitu mundur.“Aku hanya mengambil ponsel, Elena.”Drake mundur dengan senyum miringnya. Membuat Elena menatap tajam ke arahnya.“Jangan bercanda, Drake. Ini tidak lucu.”“Aku tak bercanda, tak ada kejadian apa pun tadi malam.” Seketika Elena merasa lega, meski dalam hati ia yakin mereka memang tak melakukan apa pun. Elena masih diam di tempatnya.“Kenapa? Kau kecewa tidak ada yang terjadi tadi malam?”“Siapa yang kecewa? Dasar pengarang.” Elene segera turun dari ranjang, lalu menyambar dressnya yang sudah cukup kering. Ia bergegas masuk ke kamar mandi. Drake menyeringai saat melihat tingkah Elena. Setelah siap, memakai pakaian mereka sendiri yang sudah kering, Drake dan Elena turun ke lantai satu. Elena sejak tadi sibuk dengan ponselnya.“Drake, kita harus pulang sekarang, aku ada rapat penting.”“Ya, kita segera pulang setelah sarapan.”“Tidak, aku harus kem ....”“Kita kembali setelah sarapan.”Nada tegas Drake tidak cukup membuat Elena patuh, hanya saat perutnya yang keroncongan berbunyi keraslah, Elena mengerang pelan. Perutnya tak bisa diajak kerja sama.“Dengarkan? Kau lapar, jadi, tetap harus sarapan.” Elena mengikuti Drake yang mengambil tempat duduk di restoran kecil samping penginapan. Seperti yang Drake duga, dilihat dari lahapnya Elena saat makan, wanita itu memang kelaparan.“Pelan – pelan, Elena. Kau bisa tersedak.” Drake mengingatkan, Elena mulai menelan makanannya lebih lambat. Baru saja Elena selesai menghabiskan sarapannya, Kate, sahabat sekaligus sekretarisnya menelepon.“Halo, Kate.”“Kau di mana? Sebentar lagi ada rapat penting.” Elena melirik Drake yang sejak tadi menatapnya.“Aku ... sedang di luar kota. Aku tak akan terlambat, Kate.”Elena mengakhiri panggilan Kate dan segera memasukkannya ke dalam tas.“Drake, aku harus segera kembali.”“Ya, kita kembali sekarang.”***“Jika, hanya perumpamaan, ternyata aku gagal. Entah itu tak bisa merayumu atau akhirnya memiliki perasaan padamu. Apa yang terjadi dengan perusahaanku?” Drake menatap Elena sekilas sebelum menepikan mobilnya. Elena menahan napas saat menunggu Drake menjawab.“Kau kuanggap gagal merayuku atau meyakinkan media dan semua orang kalau perpisahan kita baik – baik, sahamnya untukku semua.” Hal terburuk adalah saat ia tak memiliki perusahaannya lagi. Drake menunggu respons putus asa Elena. Tapi, pria itu salah. Elena hanya tersenyum sekilas. Ia tahu ini bagian paling dibencinya ketika menandatangani surat perjanjian kemarin. Tapi, ia yakin akan memenangkan pertaruhan ini.“Sepertinya tawaran ini percuma, Drake.”“Kenapa percuma? Kau tidak yakin dengan perasaanmu sendiri?”“Jangan terlalu percaya diri, Drake. Perasaanku padamu tetap sama seperti sembilan belas tahun lalu. Kau itu sahabatku. Kakak yang berbeda dua tahun dariku. Tak mungkin aku jatuh hati padamu.” Senyum Elena mengembang, membuat wajah cantiknya bertambah hangat. Sayang, sekali, pernyataan Elena membuat Drake geram. Drake hanya diam. Ia menyalakan mesin mobilnya lagi. Jarak dengan kantor Elena sudah dekat. Tapi, pria itu menghentikan mobilnya di butik dekat kantor Elena.“Kenapa berhenti di sini?”“Apa kau mau Kate tahu kau bermalam denganku? Bajumu sama dengan yang kau pakai kemarin, Elena.”Elena tertegun, ia hampir saja berbuat kesalahan. Beruntung Drake peduli dengan hal seperti ini. Ya, karena memang itu salah satu keahlian Drake.“Ada untungnya juga memiliki mantan suami yang pandai menutupi affair-nya.”Elena tersenyum mengejek saat mendahului Drake untuk masuk ke butik tersebut. Elena dan Drake tak perlu waktu lama untuk memilih pakaian kerja. Begitu Elena selesai mengganti baju, Drake juga baru selesai membayar tagihan di kasir.“Sudah beres, ayo, kita segera ke kantormu.”“Seharusnya kau membayar bajumu sendiri.”“Tak masalah, anggap saja ini hadiah reuni kita, Elena.”“Hadiah reuni? Memangnya kita sahabat? Ingat, Drake, kita itu mantan pasangan suami istri.”“Juga sahabat masa kecil. Itu juga fakta.” Mobil Drake berhenti di area parkir kantor Elena. Dengan cepat, Elena keluar dari mobil. Drake pun mengikuti Elena.“Senang bertemu denganmu lagi, Elena. Ingatlah, tawaranku masih berlaku.”“Kurasa itu percuma saja.” Elena dengan percaya diri mengejek Drake. Ia melambaikan tangan sesaat lalu berjalan cepat memasuki kantor. Drake segera meraih ponsel di sakunya, menelepon seseorang.***“Akhirnya kita bisa melewati masa kritis ini. Selamat Elena, kita berhasil!” seru Kate dengan wajah cerah. Elena menyambut ekspresi bahagia Kate dengan senyum hangat. Hanya perlu waktu semalam dan satu panggilan bagi seorang Drake untuk menyelamatkan perusahaannya dari bahaya, hal yang perlu ia perjuangkan berbulan – bulan lamanya. Kini, mau tak mau, ia harus rela memberi kompensasi sesuai perjanjian. Menjadi kekasih Drake diam – diam dan mengelabuhi media agar tampak sebagai mantan suami istri yang berpisah secara baik – baik.“Semua ingin merayakan hal ini sepulang kerja nanti. Kau pasti ikut, kan?”“Benarkah? Aku ikut, hari ini akan kutraktir kalian semua,” jawab Elena dengan semangat.“Bagus, aku akan melakukan reservasi lebih dulu.”Kate meninggalkan ruangan Elena seraya bersenandung dengan santai. Tak lama setelah kepergian sekretarisnya itu, ponsel Elena menyala. Satu panggilan masuk dari Drake.“Halo, Drake.”“Pulang kerja nanti akan kujemput. Mulai hari ini kau tinggal di rumahku.”“Ini terlalu mendadak.”“Kau tak lupa dengan isi perjanjian kita, kan?”Wanita berhidung mancung itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. Ia ingin mengulur waktu pindah, tapi, Drake pasti akan memiliki cara lain untuk menolak alasannya.“Aku tak lupa, hanya saja, pulang kerja nanti kami ingin merayakan ini dengan makan malam.”“Tak masalah. Kalau begitu aku akan menjemputmu di sana.”“Aku bisa ke tempatmu sendiri.”“Kau tidak tahu tempatnya, Elena.”“Aku tahu. Rumah kita, kan?”“Bukan, mansionku sendiri. Kau belum tahu tempatnya.”“Baiklah.”“Kirimkan tempatnya, Elena.”“Ya.”***Seraya makan malam, Elena dan staf di lantainya bersenda gurau dan minum wine. Elena menghabiskan cukup banyak wine hingga mulai sedikit mabuk. Semua telah selesai menikmati makan malam dan sedang menunggu makanan penutup disajikan ketika seorang pria mendekati meja. Aura maskulin begitu kentara, semua mata menatap pria itu dengan mata membelalak.“Mr. Grayson.”Semua menggumamkan nama itu. Elena yang baru saja tertawa usai mendengar kelakar dari Kate langsung menatap ke balik punggungnya. Bibirnya sedikit menganga kala mendongak dan melihat pria yang kini berdiri tepat di belakangnya duduk.“Selamat malam, semua. Aku hanya ingin menjemput Elena pulang. Sepertinya ia sudah cukup mabuk.”Senyum canggung terulas dari para staf yang menatap Drake dan Elena bergantian.“Apa Anda ingin bergabung dengan kami?”Salah seorang staf menawarkan dengan sopan. Elena langsung mengambil alih.“Tidak, kami akan pergi sebentar lagi. Nikmati makanan penutup dengan tenang.”Elena sudah berdiri dan menyambar tasnya saat suara berat Drake kembali terdengar.“Apa boleh aku bergabung dengan kalian? Elena tak pernah absen sampai makanan penutup ia habiskan.” Senyum hangat terlihat dari wajah tegas pria itu. Semua staf termasuk Elena tercengang dengan hal yang sama sekali tak pernah Drake lakukan, bahkan ketika menyandang status sebagai suami Elena. Pria itu tak pernah bergabung makan bersama staf Elena dan hanya menyapa sopan seperlunya. Sebelum Elena membuat alasan lagi, semua staf telah mempersilakan Drake duduk dan makanan penutup pun tiba. Elena yang masih berdiri kaku di tempatnya, tersenyum dengan canggung ketika matanya menatap tajam Drake yang kini duduk di sampingnya.Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t