LOGINTak hanya Diana dan May yang begitu gelisah, tetapi semua pekerja di rumah Hamish. Mereka menanti Hamish yang kabarnya akan keluar dari rumah sakit siang ini.Kecemasan mereka bukan tanpa alasan. Semua karena ada seseorang yang sudah menunggu di rumah.Semua orang tak ada yang berani bersuara. Tak ada yang berani menunjukkan batang hidung jika tak dipanggil. Mereka diam, menahan napas. Takut sekali ada pertumpahan darah jilid dua.“Kemarin bapak mertua yang datang dan sekarang bapak kandung. Aduuuh! Kita harus siap siaga. Entah kepala siapa yang akan bocor duluan kali ini.” Diana berbisik pada May. Mengintip ke ruang depan di mana Elias sedang duduk bersilang kaki, menunggu.Tak jauh dari Elias, Sarah—ibunya—melangkah mondar-mandir mengamati interior ruangan tersebut. Wajahnya masam, sudut bibirnya terangkat satu, dengan kepala ditarik sedikit ke belakang. Sedang kedua tangannya melipat di dada. Tampak sekali jika wanita tua berambut super pendek itu tengah meremehkan segala hal yang
“Nanti siang, penyidik akan datang untuk meminta keterangan dari Tuan dan Nyonya.” Jordi datang dan berbisik.“Baiklah,” jawab Hamish tak kalah pelan. Di sisinya, Kalea sedang meringkuk, tertidur pulas. Ia tak ingin membuat sang istri terjaga. Keduanya berbincang dengan volume suara sekecil mungkin.“Apa rencanamu sudah siap untuk dieksekusi?” Pria itu mendesis di sudut bibir. Menatap Jordi.“Semua sudah siap, Tuan,” jawab Jordi.“Tapi, masalahnya, kondisi pria itu masih memerlukan perawatan,” ucapnya pelan. “Ap akita selesaikan di rumah sakit?”“Tidak! Jangan berbuat terlalu vulgar. Jangan terburu-buru. Tunggu dia keluar dari rumah sakit,” ucap Hamish.Jordi membasahi bibirnya. “Apa … Tuan yakin akan melakukan ini?” tanyanya hati-hati.“Kapan aku memutuskan sesuatu dengan tak yakin?” balas Hamish.“T-tapi … apa Nyonya … tak masalah? Bagaimana pun, pria itu adalah ayahnya.” Jordi melirik Kalea yang tertidur dengan mulut setengah terbuka. Tubuhnya naik turun teratur seiring sirkulasi n
Darah mengalir dari kedua lubang hidung juga luka di kepala Dion yang sebelumnya sudah tercipta. Kaki Hamish menerjang keras sisi kepala pria itu, sebelum Kalea sempat memukulkan stik golf di tangannya.Mata Dion membeliak, lalu perlahan tubuhnya oleng sebelum akhirnya terjerembab ke samping. Membentur keras ke lantai marmer ruang kerja rumah tersebut.Kalea mundur selangkah. Stik golf di tangannya terjatuh. Matanya nanar menatap ke Dion. Anehnya, ia tak merasakan apa pun. Hatinya serasa hampa melihat ayahnya tergeletak bersimbah darah.Tak sedih, tak sakit, tetapi juga tak bahagia.“Kemari!” Hamish menarik tubuh Kalea dan memeluk istrinya itu.“Semua baik-baik saja. Akan kupastikan tak akan ada hal seperti ini lagi,” ucap Hamish berusaha menenangkan.Kalea diam saja. Ia bahkan tak membalas pelukan Hamish. Matanya masih menatap kosong. Tak berkedip. Sekosong hatinya saat ini.Hamish menggapai gagang telpon intercom yang sudah bergelantungan tak beraturan di meja kerjanya. Menekan tomb
“Jadi kamu?”Hamish menggeram. Amarah membumbung sampai ubun-ubun. Suara pekikan panik terdengar di telepon sana.“Kamu mau kematianku?” Hamish menyeringai dengan gigi gemeretak.“Kita lihat siapa yang akan mati!” desisnya.“Hamish. I-ini bukan seperti yang kamu pikirkan. I-ini … bukan seperti itu—"Hamish melempar ponsel itu hingga hancur berantakan. Tak sudi mendengar ucapan Gwen lebih lanjut. Sekarang semua terasa terang benderang.Ucapan-ucapan Kalea pun berdenging di telinganya. Perkiraan istrinya itu rupanya benar.“Aku akan membuatmu menyesal pernah mengenalku,” geramnya. Ia pun memiting tangan Dion semakin keras.“Dan kau! Apa kau yang mengincarku pagi tadi?”“Arrrgghhh!” Dion meraung. Hamish memuntir kedua tangannya hingga terdengar bunyi keretak di engsel-engsel sikunya.“Jawab!” bentak Hamish.“Ya!” teriak Dion.BUGGG! Hamish melepas pitingannya, lalu menyikut punggung Dion sampai tersungkur jatuh ke lantai.Hidung Dion berdarah. Dan Hamish belum puas sama sekali. Pria itu
Petir menyambar-nyambar. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Pada akhirnya, Kalea pun mempersilakan Dion untuk tinggal sejenak di rumah. Berteduh menunggu hujan reda.Meski enggan, tetapi Kalea tetap meminta Diana untuk mengobati luka-luka ayahnya itu. Ia sendiri tak ingin berdekatan apalagi bersentuhan dengan Dion.Akan tetapi, naluri sebagai anak tetaplah menyala. Ia tak tega melihat kondisi ayahnya yang terlihat begitu menyedihkan itu. Dion tampak sudah jauh lebih tua kini.“Bapak akan pergi setelah hujannya berhenti,” ucap Dion berusaha tersenyum.Kalea mengangguk kaku. Masih tak berbicara.Rasa ingin tahu di mana Dion tinggal sekarang, juga kehidupan apa yang dijalani sejak Hamish membuntungi jempol ayahnya itu tetap ada. Tetapi ego dan amarah Kalea menutup semua itu.Hatinya belum bisa menerima keberadaan Dion. Belum mampu memberi kata maaf.“Siapkan saja makan untuknya. Dan persilakan pergi jika sudah tak hujan. Tak perlu menunggu izinku,” ucap Kalea pada Diana.Wanita itu me
Kalea menggigil. Tubuhnya gemetar hebat. Ia hafal sekali bau apa yang tadi tercium hidungnya. Bau minyak gosok dicampur bawang. Bau khas ayahnya.Dion sangat senang memakai minyak gosok dicampur bawang itu untuk meredakan pegal dan stress-nya. Dan terkadang, Kalea yang membuat campuran minyak tersebut. Jadi, bagaimana mungkin ia tak mengenali?Kalea hampir terjatuh karena kakinya lemas. Tetapi sekuat tenaga tetap bertahan. Berusaha menguasai diri.Mata Kalea nanar menatap sosok yang ia perkirakan adalah ayahnya itu. Pria itu perlahan berlalu seiring truk sampah yang melaju pelan menuju rumah selanjutnya.Kalea meniup napas berat. Kepalanya mendongak menatap awan gelap musim hujan.Kakinya sudah beringsut. Berbalik, hendak pergi ke rumah. Namun,tiba-tiba terdengar suara gedebuk keras diikuti teriakan orang-orang.Kalea menoleh. Pria itu, pria yang postur serta aroma tubuhnya persis Dion terjatuh dari bak truk. Bergulingan di aspal sambil menggerung-gerung.Orang-orang yang tengah meng







