Liviana seorang santriwati yang mendadak dinikahkan dengan Asgara Putra Permana. Berawal dari niat tulusnya yang menolong seseorang terkapar di tengah kebun, hingga ada kejadian yang tidak diinginkan menimpa Liviana dan Asgara. Demi menyelamatkan pondok pesantren dari fitnah, akhirnya Liviana dan Asgara bersedia menikah secara syariat agama Islam. Namun, setelah pengorbanan yang ia lakukan, kerikil itu datang justru dari mama kandung Livi yang masih saja terobsesi dengan anak laki-laki pertamanya yang meninggal dalam kandungan. Tapi karena hal tersebutlah benih cinta timbul antara Asgara dan Liviana. Bagaimana kisahnya? Baca selengkapnya di Goodnovel.
View More“Tolong … siapa pun tolong saya ….”
Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di hadapan Liviana itu menyorot lemah, tampak sayu dan seperti akan kehilangan kesadaran kapan saja. “Jangan pergi ….” bisik sosok itu lirih. Liviana terdiam, mematung. Ia bingung harus melakukan apa. Banyak dugaan yang melintas di otaknya, mempertanyakan apakah pria itu baik atau jahat dan bagaimana ia bisa ada di sana. Namun, santriwati kelas 12 tersebut mengesampingkan pemikiran-pemikiran itu, mengutamakan rasa kemanusiaan dalam dirinya dan berlari ke bangunan pesantren tempat ia menimba ilmu. “Kamu tunggu dulu di sini,” ucap Liviana sebelum pergi. “Saya panggil bantuan dulu.” Tanpa mengatakan apa pun, pria itu mengangguk sembari menahan sakit. Namun, saat ia menunggu kembalinya Liviana dengan bala bantuan, kesadaran pria itu menghilang. ** “Dia pingsan. Tapi sekarang sudah masa pemulihan dan dalam pengawasan Ustaz.” Liviana tampak cemas dan gelisah saat mendengar kabar tersebut. Gadis itu membantu mengarahkan sekelompok santri yang dipimpin ustaz ke lokasi ia menemukan si pria tidak dikenal tadi, tapi setelah itu, ia tidak tahu bagaimana kabar sosok itu. Ia baru mendapatkan informasi dari para santriwati dan ustazah beberapa hari setelahnya. “Beliau menolak dibawa ke rumah sakit, mungkin karena khawatir tidak bisa membayar juga. Aku dengar dia korban perampokan dan bukan orang daerah sini.” “Namanya Asgara.” “Apakah tidak ada keluarga atau teman yang bisa dia hubungi?” “Dia bilang tidak ada, dan sepertinya dia memang mau fokus untuk pulih dulu sembari tinggal di sini.” Sejujurnya, Liviana merasa cukup lega karena pria itu selamat dan sudah baik-baik saja, sekarang. Usaha penyelamatan Liviana ternyata membuahkan hasil. Namun, masih ada pertanyaan dalam benaknya; apakah pria itu adalah pria baik-baik? Ustaz mungkin mau menampung pria asing itu di sini karena itu adalah merupakan perbuatan baik. Namun, pria itu tanpa identitas dan apa yang dikatakan telah terjadi padanya hanyalah pengakuan pria itu saja, tidak ada bukti yang mendukung. “Astaghfirullah,” gumam Liviana pada dirinya sendiri. “Tidak boleh berpikiran buruk, Livi.” Gadis berpakaian tertutup itu bergegas melakukan tugasnya mencari sayur di kebun seperti waktu itu sebelum hujan turun. Rekan satu angkatannya yang seharusnya bertugas hari ini mengatakan bahwa ia ada keperluan tiba-tiba dan minta tolong pada Liviana. Namun, seharusnya Liviana tidak menyanggupi permohonan rekannya tersebut, karena dengan begitu, ia tidak akan bertemu lagi dengan pria yang ia selamatkan tersebut, tepat di area sekitar Asgara ditemukan beberapa hari yang lalu. “Saya ingat kamu,” ucap sosok itu saat melihat Liviana. “Terima kasih telah menolong saya waktu itu.” Liviana sedikit menunduk, tidak melihat wajah pria tersebut. Dalam hatinya, ia membatin kenapa pria ini ada di sini, hingga akhirnya ia memutuskan untuk bertanya. “Kalau saya boleh tahu, ada urusan apa di kebun ini, Kak?” Livi bertanya dengan sopan. “Tidak ada. Hanya jalan-jalan.” “Ke tempat kecelakaan? Apakah ada sesuatu yang dicari?” Hening. Livi merasakan dadanya berdebar karena merasa telah menekan pria itu dengan pertanyaan-pertanyaan hanya karena masih ada curiga di hatinya. Meskipun ia tahu tidak seharusnya demikian. Namun, sebelum Livi bisa bertanya lebih lanjut ataupun mendengar jawaban, hujan tiba-tiba turun dengan deras, membuat keduanya berlarian dan berteduh di sebuah gubuk. Tanpa berpikir bahwa seseorang akan mengunci keduanya di dalam sana. “Rasakan itu, Livi!” ucap seorang gadis berhijab dengan senyum licik. Ismi, rekan Liviana yang tadi meminta bantuan Livi untuk menggantikan tugasnya. Rupanya ia sudah merencanakan untuk menjebak Livi sejak awal. “Oke, sekarang tinggal panggil warga dan Ustaz serta Ustazah. Biar Livi tidak jadi diangkat sebagai pengabdi lanjutan di sini.” BersambungBram melirik ke arah sang papa. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana yang harus segera terlaksana. Livi, yang sudah dianggap musuh, kini berada di tengah-tengah dilema besar. Bram takut kebusukannya terbongkar pelan-pelan, sebab Aldi terus membahas mengenai hilangnya Asgara yang diduga oleh Aldi adalah ulah Lutfi.Aldi, dengan keteguhan hatinya, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Livi harus menikah dengan Asgara. "Udah lah Pah, setuju aja, daripada masalahnya jadi panjang," bujuk Bram."Livi masih terlalu kecil, Bram," timpal Aldi. "Asgara juga harus memimpin perusahaan," tambahnya."Kan ada aku," jawab Bram."Papa tidak percaya dengan kamu," ujar Aldi membuat Bram semakin malu dan sakit hati.Bram memandangnya tajam, tampak marah. Dia tampaknya masih kesal, meskipun sudah lama sering mendengar kata-kata tersebut. "Aku memang belum sehebat Asgara, tapi aku bisa lebih dari Asgara," celetuk Bram."Buktikan!" Aldi mengakhiri pembicaraan. "Baiklah, saya setuju, sebulan lagi
Bab 12"Setelah kami melakukan penyelidikan, ternyata ada indikasi bahwa itu adalah rekayasa. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ada bukti yang menunjukkan bahwa keluarga Asgara terlibat dalam merancang kejadian tersebut."Lutfi terdiam sejenak. Hatinya mulai berdetak lebih kencang. "Keluarga Asgara? Apa maksudmu?""Menurut informasi yang kami dapatkan, Livi seharusnya tidak menjadi korban penculikan. Itu semua bagian dari rencana untuk menekan Asgara agar tidak melanjutkan pernikahannya dengan putri Pak Lutfi."Lutfi merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia tidak bisa membayangkan keluarga Asgara melakukan hal seperti itu. Asgara yang selama ini ia anggap sebagai anak baik-baik, ternyata terlibat dalam sebuah konspirasi yang sangat besar. Lutfi merasa kecewa dan marah."Apa ucapanmu bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan?" tanya Lutfi."Bukankah saya dibayar oleh Pak Lutfi untuk mengungkap ini semua? Lantas apa untungnya saya membohongi Pak Lutfi, justru itu hanya merusak keperca
"Sepertinya Livi masih ada pengaruh obat tidur," tutur dokter yang hendak pamit."Hm, ya udah, jadi biarkan dia istirahat dulu, ayo kita semua keluar," ajak Lutfi.Asgara bernapas lega, ia berharap Livi tidak menyebutkan nama kakaknya kembali. Sebab, itu dapat merusak hubungan antara kedua belah pihak, yaitu keluarga Asgara dan keluarga Livi.Lalu Asgara berpamitan untuk pulang ke Bandung menyusul sang kakak yang belum juga ada kabarnya."Sepertinya aku harus pulang ke Bandung. Khawatir papa dan mama tidak menerima penjelasan Mas Bram," ucap Asgara."Apa tidak bisa melalui sambungan telepon?" tanya Lutfi."Aku harus bicara serius pada mereka. Masalahnya aku dan Livi sudah nikah, khawatir Mas Bram sulit mengatakan ini, makanya sampai detik ini belum ada kabar," timpal Asgara."Oke, kamu hati-hati, dan saya berharap besok atau lusa sudah ada persiapan untuk pernikahan kalian secara resmi," kata Lutfi penuh harap.Asgara pun meninggalkan rumah Lutfi secara baik-baik.**Asgara duduk di k
Asgara cemas, tapi dia harus menyembunyikan perasaannya. Terlebih dia tahu bahwa yang menculik Livi adalah Bram.Balasan pesan dari Bram pun terus ditunggu oleh Asgara.[Ya. Tapi, tidak semudah itu!] Balasan singkat membuat mata Asgara terbelalak.Lutfi terlihat gelisah, matanya menyala dengan amarah yang tak terkatakan. Sejak melihat rekaman cctv, kegelisahan di hatinya semakin membengkak. Keberadaan anaknya, Livi, yang mendadak menghilang, kini menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Lutfi tak peduli dengan apa pun, bahkan jika harus menghancurkan semua orang yang berani menculik anaknya pun akan dia lakukan.“Siapkan semuanya,” perintah Lutfi, suaranya keras dan penuh tekanan meskipun melalui sambungan telepon. “Kalian akan ikut serta dalam pencarian ini. Cari anak saya, Livi. Temukan dia, dan bawa dia kembali ke hadapan saya, apapun caranya!”Orang suruhannya yang telah terbiasa dengan perintah-perintah keras Lutfi, langsung bergerak. Mereka tahu ini bukanlah pencarian biasa. Jika
"Pokoknya kalau bisa, jangan sampai tuh anak kenapa-kenapa, kita bukan orang jahat, niat kita hanya ingin menggagalkan rencana busuk Lutfi untuk menikahkan Asgara dengan anaknya secara resmi," pinta Aldi."Tenang, Pah, aku juga nggak mau bermasalah dengan hukum, yang kita hadapi juga bukan orang sembarangan," jawab Bram.Kemudian, Bram merogoh kantong untuk menghubungi orang suruhannya yang tidak lain adalah orang kepercayaannya Aldi juga."Kasih obat tidur aja dulu, kalau sadar, kasih minum lalu lakukan hal yang sama, jangan sampai lepas, jangan sampai sakit ataupun diperlakukan kasar!" perintah Bram."Baik, Pak." Orang suruhan Bram sangat patuh atas perintah bosnya.***Hari itu, Asgara yang baru saja tiba di kantor duduk sendirian. Angin yang bertiup lembut membawa rasa tidak nyaman yang menyelinap ke dalam hatinya. Sesekali matanya memandang layar ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba menghubungi seseorang yang kini menjadi istrinya—Livi. Namun, tak ada balasan.Asgara menc
"Sudah, kita tidak bisa memikirkan terlalu jauh tentang ini, sebaiknya dipercepat bertemu dengan Asgara, nanti tahu semuanya dari mulut anak kita, Mas," pinta Harum.Perkataan Harum barusan mengusik hati Bram, anak pertama dari keluarga Aldi. Selama ini, Bram lah dalang dari hilangnya Asgara, tapi dia mencoba mencari kambing hitam, yaitu dengan membawa nama keluarga Lutfi sebagai penyebabnya. "Kita jadi ke rumah sakit?" tanya Aldi."Nggak usah, Mas, aku istirahat aja di kamar," timpal Harum sambil berdiri. Lalu Aldi pun menuntunnya ke kamar.Bram dan Lena saling beradu pandang. Mereka tersenyum licik karena merasa hampir berhasil menghasut kedua orang tuanya.***Bram duduk di ruang kerja papanya, Aldi, yang kini semakin kurus dengan penampilannya yang kian tak terurus karena stres dengan segala urusan bisnis yang menumpuk. Namun, Bram tahu bahwa bukan hanya masalah bisnis yang menjadi beban pikiran papanya. Ada sesuatu yang lebih besar, yang lebih dipikirkan oleh sang papa. Sesuatu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments