Share

Bab 4

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2024-05-30 09:32:49

“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama.

Lutfi menyoroti Asgara.

“Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi.

“Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz.

Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan.

Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan.

“Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi.

“Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara.

Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara.

“Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi.

“Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara.

“Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik-baik untuk anak saya? Hah!” cecar Lutfi.

Asgara terdiam kembali.

“Saya tidak akan menyentuh Livi sampai ketemu dengan keluarga besar saya, Om,” timpal Asgara.

Lutfi memandang istrinya seolah meminta pendapat, tapi Sandra hanya mengangkat kedua bahunya.

“Baik, ustadz, malam ini saya akan nikahkan anak saya dengan orang ini, dengan syarat seperti yang tadi dia sebutkan.”

Akhirnya Lutfi menyetujui setelah bermusyawarah cukup lama.

Kemudian, ustadz mengundang RT setempat dan beberapa saksi untuk menepati janjinya yang akan memberikan mereka hukuman atau sanksi atas perbuatannya. Meskipun apa yang mereka lihat itu sebenarnya tidak sesuai dengan fakta. Ya, semua itu fitnah kejam yang dilontarkan oleh Ismi. Namun, dibalik itu semua, fitnah terjadi karena keteledoran yang telah dilakukan oleh Livi juga.

Liviana dan Asgara bersiap untuk melaksanakan akad nikah, mereka menikah disaksikan oleh para santri dan santriwati. Juga beberapa warga setempat.

“Saya nikahkan dan kawinkan ananda Asgara Putra Permana bin Aldi Permana, dengan ananda Liviana Agraningrat binti Lutfi Agraningrat, dengan mas kawin uang tunai lima puluh ribu rupiah, dibayar tunai.”

Kemudian, hanya satu kali tarikan napas, Asgara berhasil mengucapkan ikrar janji suci itu di hadapan ustadz dan yang lainnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Liviana Agraningrat binti Lutfi Agraningrat dengan mas kawin sebesar lima puluh ribu rupiah dibayar tunai,” ucap Asgara dengan lantang.

“Sah, sah, sah.” Kemudian mereka berdoa.

Mereka kini sudah menjadi suami istri. Tugas ustadz benar-benar diselesaikan. Ia memberikan solusi seperti ini, supaya santri lain tidak melakukan hal yang sama dengan Livi.

“Anggap ini suatu pelajaran yang sangat berharga, bahwa aturan harus tetap dipakai, jangan dilanggar,” ucap ustadz ketika memberikan wejangan pada santrinya.

Para santri dan warga mengangguk paham atas apa yang disampaikan ustadz barusan.

Ada air mata yang menetes satu persatu dari kelopak mata Livi. Namun, ia harus tetap kuat karena ini sebuah kesalahan yang dilakukan olehnya meskipun tidak disengaja.

Ismi pun menghampiri Livi dan membisikkan sesuatu.

“Selamat menempuh hidup yang baru, Livi, kamu tidak akan dipakai jadi pengabdi di sini,” ejek Ismi.

“Terima kasih, Ismi, aku doakan yang baik-baik untuk kamu,” timpal Livi yang enggan menanggapi Ismi.

Semuanya mengantarkan Livi ke gerbang tempat orang tuanya parkir kendaraan. Kemudian Liviana melirik ke arah Asgara dan memberikan kode untuk berpamitan pada ustadz.

“Pernikahan kalian tanggung jawab saya, tolong jaga Livi dengan baik meskipun tidak ada rasa cinta di hatimu, Asgara. Saya tidak kenal dan tidak tahu siapa kamu, tapi saya yakin bahwa kamu bisa menjadi suami yang baik untuknya,” pesan ustadz di telinga Asgara.

“Sa-saya akan menjadi suami yang baik untuk Livi,” timpal Asgara terbata-bata.

Ustadz tersenyum meski sangat kehilangan Livi yang sebenarnya sangat pandai.

Livi menyambangi semua yang tadi ikut menyaksikan pernikahan dadakannya itu. Livi tetap menyunggingkan senyuman supaya terlihat baik-baik saja. Tapi, Livi tidak lupa berpesan pada kawan yang lain, terutama adik kelas, untuk mengikuti peraturan yang ada.

Usai berpamitan, kini Livi dan Asgara akan ikut bersama dengan orang tuanya Livi di Jakarta. Di mobil, Asgara sengaja disuruh duduk di depan bersama dengan Lutfi.

“Mukamu banyak memar, emang dirampok di mana?” tanya Lutfi.

“Di tengah jalan, Om,” jawab Asgara singkat.

“Om harap, kamu tepati janji ya, jangan sentuh anak saya sebelum perkenalkan keluargamu pada saya,” pesan Lutfi.

Asgara mengangguk senyum.

Setibanya di rumah Livi, Asgara pun turun dan ikut bersama mereka masuk ke dalam. Ia belum bercerita siapa sebenarnya dirinya.

“Sebenarnya kalian udah bisa satu kamar, karena secara agama sudah sah,” ucap Lutfi. Tapi matanya tiba-tiba melirik ke arah Asgara. “Hm, berhubung kamu belum memberikan informasi tentang identitas kamu, jadi maaf ya, Livi tidak boleh sekamar dengan kamu dulu,” imbuh Lutfi.

“Iya, Om, saya paham dan janji saya juga seperti itu,” jawab Asgara dengan helaan napas lega. Ia begitu bersyukur tidak diperkenankan satu kamar dengan Livi.

Livi sendiri, ia langsung masuk ke kamarnya. Sementara Asgara, diperintahkan untuk tidur di kamar tamu.

Asgara duduk, ia lupa kalau tidak memiliki baju ganti. Pakaian yang dikenakan olehnya sudah sangat lepek karena keringat. Kemudian, Asgara keluar untuk mencari kamar Livi, rencananya ia ingin pinjam kaos papanya jika diperkenankan, tapi malu jika harus ngomong langsung ke Lutfi, jadi melalui Livi.

“Assalamualaikum, Livi,” bisik Asgara di depan kamar yang bertuliskan Livia di pintunya.

Livia yang baru saja membuka ponselnya pun mendengar panggilan itu, ia langsung membuka pintu.

“Waalaikumsalam, ngapain?” ketus Livi.

“Liv, aku boleh minta tolong pinjemin baju ke papa nggak?” tanya Asgara.

Livi terdiam.

“Nyusahin,” ketusnya lagi. Biasanya Livi lembut, tapi untuk kali ini, ia sengaja agak ketus pada Asgara.

Asgara gemas mendengar jawabannya.

“Kamu pikir aku bahagia nikah dengan kamu, hah? Nggak, aku masih punya cewek yang belum aku putusin tahu nggak!” Asgara bicara pelan tapi ditekan.

Livi mulai emosi, kini posisinya berdiri tegak dengan disertai tangan dilipat di atas dada.

“Heh!” Livi hanya bisa bicara singkat, ia paling tidak bisa marah-marah, tapi rasanya kali ini ingin melampiaskan kemarahannya pada Asgara.

“Tolong ya, pinjemin kaos,” pinta Asgara.

Livi terdiam, Asgara pun sama. Hingga akhirnya Sandra melewati kamar Livi karena melihat Asgara berada di depan kamar putrinya.

“Bukannya kalian belum boleh satu kamar ya?” tanya Sandra.

“Iya, Mah, dia mau pinjam kaos Papa,” timpal Livi.

“Oh, sebentar, Mama ada kaos untuk seumuran dia,” timpal Sandra membuat Livi menautkan kedua alisnya. Tapi Livi berusaha untuk tidak berpikir negatif lagi terhadap sang mama, diizinkan tinggal bersama suami dadakannya di rumah orang tua pun, itu sudah membuat Livi sangat lega.

Setelah Sandra bergegas mengambil baju untuk Asgara, Livi pun menyuruhnya untuk segera pergi meninggalkan kamarnya.

**

Ini hari kedua Asgara tinggal bersama keluarga Livi, dan rencananya Lutfi ingin mengajak Asgara untuk menunjukkan jalan ke arah rumahnya yang katanya bertempat di Bandung.

“Bandung itu luas, tapi masa iya nggak ketemu, atau orang tuamu nggak nyariin gitu, misalnya dengan bertanya nama Aldi Permana?” tanya Lutfi dengan menyebutkan nama papanya Asgara yang disebutkan ketika menikah.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 13

    Bram melirik ke arah sang papa. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana yang harus segera terlaksana. Livi, yang sudah dianggap musuh, kini berada di tengah-tengah dilema besar. Bram takut kebusukannya terbongkar pelan-pelan, sebab Aldi terus membahas mengenai hilangnya Asgara yang diduga oleh Aldi adalah ulah Lutfi.Aldi, dengan keteguhan hatinya, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Livi harus menikah dengan Asgara. "Udah lah Pah, setuju aja, daripada masalahnya jadi panjang," bujuk Bram."Livi masih terlalu kecil, Bram," timpal Aldi. "Asgara juga harus memimpin perusahaan," tambahnya."Kan ada aku," jawab Bram."Papa tidak percaya dengan kamu," ujar Aldi membuat Bram semakin malu dan sakit hati.Bram memandangnya tajam, tampak marah. Dia tampaknya masih kesal, meskipun sudah lama sering mendengar kata-kata tersebut. "Aku memang belum sehebat Asgara, tapi aku bisa lebih dari Asgara," celetuk Bram."Buktikan!" Aldi mengakhiri pembicaraan. "Baiklah, saya setuju, sebulan lagi

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 12

    Bab 12"Setelah kami melakukan penyelidikan, ternyata ada indikasi bahwa itu adalah rekayasa. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ada bukti yang menunjukkan bahwa keluarga Asgara terlibat dalam merancang kejadian tersebut."Lutfi terdiam sejenak. Hatinya mulai berdetak lebih kencang. "Keluarga Asgara? Apa maksudmu?""Menurut informasi yang kami dapatkan, Livi seharusnya tidak menjadi korban penculikan. Itu semua bagian dari rencana untuk menekan Asgara agar tidak melanjutkan pernikahannya dengan putri Pak Lutfi."Lutfi merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia tidak bisa membayangkan keluarga Asgara melakukan hal seperti itu. Asgara yang selama ini ia anggap sebagai anak baik-baik, ternyata terlibat dalam sebuah konspirasi yang sangat besar. Lutfi merasa kecewa dan marah."Apa ucapanmu bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan?" tanya Lutfi."Bukankah saya dibayar oleh Pak Lutfi untuk mengungkap ini semua? Lantas apa untungnya saya membohongi Pak Lutfi, justru itu hanya merusak keperca

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 11

    "Sepertinya Livi masih ada pengaruh obat tidur," tutur dokter yang hendak pamit."Hm, ya udah, jadi biarkan dia istirahat dulu, ayo kita semua keluar," ajak Lutfi.Asgara bernapas lega, ia berharap Livi tidak menyebutkan nama kakaknya kembali. Sebab, itu dapat merusak hubungan antara kedua belah pihak, yaitu keluarga Asgara dan keluarga Livi.Lalu Asgara berpamitan untuk pulang ke Bandung menyusul sang kakak yang belum juga ada kabarnya."Sepertinya aku harus pulang ke Bandung. Khawatir papa dan mama tidak menerima penjelasan Mas Bram," ucap Asgara."Apa tidak bisa melalui sambungan telepon?" tanya Lutfi."Aku harus bicara serius pada mereka. Masalahnya aku dan Livi sudah nikah, khawatir Mas Bram sulit mengatakan ini, makanya sampai detik ini belum ada kabar," timpal Asgara."Oke, kamu hati-hati, dan saya berharap besok atau lusa sudah ada persiapan untuk pernikahan kalian secara resmi," kata Lutfi penuh harap.Asgara pun meninggalkan rumah Lutfi secara baik-baik.**Asgara duduk di k

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 10

    Asgara cemas, tapi dia harus menyembunyikan perasaannya. Terlebih dia tahu bahwa yang menculik Livi adalah Bram.Balasan pesan dari Bram pun terus ditunggu oleh Asgara.[Ya. Tapi, tidak semudah itu!] Balasan singkat membuat mata Asgara terbelalak.Lutfi terlihat gelisah, matanya menyala dengan amarah yang tak terkatakan. Sejak melihat rekaman cctv, kegelisahan di hatinya semakin membengkak. Keberadaan anaknya, Livi, yang mendadak menghilang, kini menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Lutfi tak peduli dengan apa pun, bahkan jika harus menghancurkan semua orang yang berani menculik anaknya pun akan dia lakukan.“Siapkan semuanya,” perintah Lutfi, suaranya keras dan penuh tekanan meskipun melalui sambungan telepon. “Kalian akan ikut serta dalam pencarian ini. Cari anak saya, Livi. Temukan dia, dan bawa dia kembali ke hadapan saya, apapun caranya!”Orang suruhannya yang telah terbiasa dengan perintah-perintah keras Lutfi, langsung bergerak. Mereka tahu ini bukanlah pencarian biasa. Jika

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 9

    "Pokoknya kalau bisa, jangan sampai tuh anak kenapa-kenapa, kita bukan orang jahat, niat kita hanya ingin menggagalkan rencana busuk Lutfi untuk menikahkan Asgara dengan anaknya secara resmi," pinta Aldi."Tenang, Pah, aku juga nggak mau bermasalah dengan hukum, yang kita hadapi juga bukan orang sembarangan," jawab Bram.Kemudian, Bram merogoh kantong untuk menghubungi orang suruhannya yang tidak lain adalah orang kepercayaannya Aldi juga."Kasih obat tidur aja dulu, kalau sadar, kasih minum lalu lakukan hal yang sama, jangan sampai lepas, jangan sampai sakit ataupun diperlakukan kasar!" perintah Bram."Baik, Pak." Orang suruhan Bram sangat patuh atas perintah bosnya.***Hari itu, Asgara yang baru saja tiba di kantor duduk sendirian. Angin yang bertiup lembut membawa rasa tidak nyaman yang menyelinap ke dalam hatinya. Sesekali matanya memandang layar ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba menghubungi seseorang yang kini menjadi istrinya—Livi. Namun, tak ada balasan.Asgara menc

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 8

    "Sudah, kita tidak bisa memikirkan terlalu jauh tentang ini, sebaiknya dipercepat bertemu dengan Asgara, nanti tahu semuanya dari mulut anak kita, Mas," pinta Harum.Perkataan Harum barusan mengusik hati Bram, anak pertama dari keluarga Aldi. Selama ini, Bram lah dalang dari hilangnya Asgara, tapi dia mencoba mencari kambing hitam, yaitu dengan membawa nama keluarga Lutfi sebagai penyebabnya. "Kita jadi ke rumah sakit?" tanya Aldi."Nggak usah, Mas, aku istirahat aja di kamar," timpal Harum sambil berdiri. Lalu Aldi pun menuntunnya ke kamar.Bram dan Lena saling beradu pandang. Mereka tersenyum licik karena merasa hampir berhasil menghasut kedua orang tuanya.***Bram duduk di ruang kerja papanya, Aldi, yang kini semakin kurus dengan penampilannya yang kian tak terurus karena stres dengan segala urusan bisnis yang menumpuk. Namun, Bram tahu bahwa bukan hanya masalah bisnis yang menjadi beban pikiran papanya. Ada sesuatu yang lebih besar, yang lebih dipikirkan oleh sang papa. Sesuatu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status