Gisa masih duduk berjauhan dengan suaminya. Fazzura tengah mengemas barang-barang Melisa, untuk dia bawa pulang.
"Kak Zurra, maaf tidak bisa membantu," tulus Gisa. Fazzura tidak menjawab. Dia hanya menatap Gisa sesaat, sambil memberikan sebuah senyum ambigu, kemudian kembali fokus, membereskan barang Melisa di bantu oleh Kayanna.
Gisa masih tidak bisa mendekati Fazzura karena mual yang menderanya, saat parfum Fazzura menyeruak masuk kedalam indera penciumannya.
Oleh karena itu, Gisa masih menolak untuk di dekati suaminya, karena parfum Fazzura masih menempel pada pakaian Catra.
"Kakak ipar masih mual?" tanya Kayanna pada Gisa.
"Ya Anna. Sudah beberapa hari belakangan ini, mual terus. Tapi hanya mencium bau parfum saja. Mungkin juga, Gisa masuk angin," jawab Gisa menyebutkan kemungkinan dari penyebab rasa mualnya.
"Bukan hamil?" tanya Kayanna tiba-tiba, membuat semua orang yang ada di ruangan melebarkan matanya mendengar kata hamil.
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa sumbangkan gems kalian, 🖤🖤🖤
"Mommy tidak apa-apa?" tanya Catra sambil berjongkok di hadapan Gisa, yang tengah duduk di atas bangku sebelah ruang UGD. Gisa menatap mata suaminya. Ada beribu kekhawatiran dalam mata Jamrud nya itu. Gisa mengarahkan kedua tangannya, untuk meraih wajah Catra. Gisa tersenyum, berusaha baik-baik saja. "Mommy sudah jauh lebih baik. Daddy tidak perlu khawatir," ucap Gisa menenangkan. Catra membaringkan kepalanya diatas pangkuan Gisa, dengan kedua tangan melilit pada belakang pinggangnya. "Jangan membuat Daddy khawatir lagi," lirih Catra, sambil memejamkan matanya. Bu Bertha dan Dean sendiri, Catra suruh untuk pulang ke rumahnya. Seorang bodyguard, Catra percayakan untuk mengantar mereka berdua dengan selamat sampai di kediamannya. Catra tidak mau, sang anak lama berada di lingkungan rumah sakit. Karena lingkungan rumah sakit sendiri, tidak baik bagi anak sekecil Dean. Gisa mengusap kepala Catra yang tengah berbaring di atas pangkuannya. "Dad, mal
Brahmana tengah menyambut para pelayat di depan pintu masuk. Tidak ada keluarga lain, baik dari mendiang ayah ataupun ibunya. Dia sebagai tetua merasa bertanggung jawab untuk menjadi perwakilan dari keluarga Fazzura. Brahmana beberapa kali mencuri pandang, ke arah di mana Gisa berada. Dia mengkhawatirkan kondisi Gisa, yang terlihat sedang tidak enak badan. Wajah Gisa bahkan masih terlihat pucat. Catra sendiri masih berada di lantai dua rumah Melisa. Lantai dua itu sendiri merupakan tempat dimana kamar Fazzura berada. Catra masih belum terlihat turun, setelah sebelumnya membopong tubuh Fazzura yang tiba-tiba tidak sadarkan diri tepat dihadapannya. Kayanna berjalan menghampiri Gisa, saat dilihatnya sang kakak ipar tengah melamun dihadapan peti yang berisikan jenazah sang tante. "Abang kemana?" tanya Kayanna sambil celingukan mencari keberadaan sang kakak. Kayanna sendiri, tidak mengetahui kejadian sebelumnya. Gisa diam, tidak merespon pertanyaan dari ad
"Kamu sudah menikah?!" pekik Nio terkejut. Namun, dari raut wajahnya terlukis sebuah kekecewaan. Di sisi lain, Catra tersenyum puas. Dia bangga dengan istrinya yang setiap di dekati pria lain, selalu mengingat statusnya yang sudah mempunyai seorang suami. "Ya. Gisa sudah menikah 4 bulan yang lalu." jawab Gisa. Ardenio tersenyum canggung. "Wow, selamat. Kakak kira, kamu masih sendiri," "Ardenio," Ardenio menjulurkan tangannya pada Kayanna sambil memperkenalkan dirinya. "Kayanna." jawab Kayanna menyambut uluran tangan Ardenio. "Kakak tidak memperkenalkan diri pun, Anna sudah tau," lanjut Kayanna. Catra yang melihat Kayanna bertingkah layaknya seorang ABG, lantas memutar bola matanya jengah. "Wah, apa ini sebuah pujian?" tanya Ardenio ramah. "Faktanya memang begitu, kak. Kita satu alumni, dan kakak ketua osis di sekolah Anna dulu. Siapa juga yang tidak mengenal seorang Ardenio sang kapten basket!" lanjut Kayanna membuat Gi
"ARDENIO!! BERHENTI SEKARANG!!" teriak Catra penuh amarah. Semua orang yang ada di sana mematung melihat kemarahan Catra. Beberapa orang mulai bertanya tentang apa yang membuat seorang Catra marah seperti itu. Ardenio dan Brahmana yang sudah berada jauh di depan Catra, menghentikan langkahnya sambil berbalik menatap Catra dengan kompak. Ardenio mengerenyitkan dahinya bingung. "Kenapa?" tanya Ardenio membuat Catra semakin marah dengan pertanyaan tersebut. Sementara itu, kakek Brahmana hanya menatap tajam sang cucu. "Kenapa? Apa kamu tidak lihat apa yang sedang anak muda ini lakukan?" tanya Brahmana tegas. "Ayo! Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" ucap Brahmana sambil sedikit mendorong punggung Ardenio agar bergegas pergi dan tidak menghiraukan gertakan cucunya. Catra melebarkan matanya. Dia tidak percaya dengan apa yang di lakukan sang kakek padanya. Bagaimana bisa sang kakek membiarkan istrinya dibawa oleh pria lain? 'Apa ini
"Turunkan istri saya!! Dia istri saya!! Nirwasita Gistara Savrinadeya, adalah istri dari seorang, Catar Dewantara Ganendra!" ucap Catra kencang sambil menekankan setiap kalimat yang diucapkannya. "Apa?" pekik Ardenio tidak percaya. Begitu juga dengan orang-orang yang kebetulan ada di sana. "Kenapa? Anda tidak percaya? Apa anda perlu bukti kalau saya suaminya?" tanya Catra sinis, sambil membawa Gisa dari gendongan Ardenio. "M-maaf. Bukan itu maksud saya pak Catra." bantah Ardenio sopan. "Sebelumnya, saya minta maaf untuk kelancangan saya, karena sudah menyentuh istri, Pak Catra. Sungguh, saya tidak ada maksud lain, saya__" "Pergilah! Saya tidak membutuhkan penjelasan, anda!" perintah Catra dengan arogan, dan nada yang terdengar dingin. "Abang!" bentak Brahmana sambil berjalan mendekati Catra dan Ardenio. "Jangan bilang, kalau kamu sudah lupa bagaimana caranya berterima kasih pada orang lain!" tegas Brahmana memperingatkan cucunya.
Catra mengangkat panggilan tersebut, tanpa melihat nama si pemanggil. "Abang ... " "Bisa Abang ke rumah mama sekarang? Zurra takut ... " lirihnya sambil terisak. Catra mengerutkan dahinya. Dia membuka mata, kemudian melihat nama si pemanggil yang tertera dalam telepon genggam miliknya. "Kenapa?" tanya Catra dengan suara seraknya yang khas. "Abang bisa kesini? Zurra takut sendirian," lirihnya meminta Catra untuk datang. "Sendiri? Bukannya Anna dan Abhi ada di sana?" tanya Catra heran. "I-iya ..., tapi ... mmm ... kalau banyak orang kan lebih tenang," jawab Fazzura tergagap dengan pertanyaan Catra. "Abang tidur di rumah sakit. Gista sedang benar-benar membutuhkan Abang saat ini. Lagipula, disana kan banyak orang juga, Zurra. Disini Gista hanya berdua sama Abang," jelas Catra. "Sudahlah. Abang istirahat dulu." ucap Catra mengakhiri panggilannya. Fazzura mengumpat kesal, saat Catra menutup panggilannya begit
Catra pandangi wajah damai sang istri. "Apa yang akan mommy lakukan, kalau mommy tau, sebenarnya Daddy ayah kandung, Dean?" bisik Catra sambil jarinya menyentuh setiap lekuk dari wajah istrinya. "Da-daddy!!" lirih Gisa sambil perlahan membuka matanya. Catra melebarkan matanya, kaget. 'Mommy gak dengar kan, apa yang baru saja daddy ucapkan?' batin Catra bertanya pada dirinya sendiri. "Da-daddy!" panggil Gisa kembali, dengan kedua tangan yang terangkat untuk menyentuh setiap bagian dari wajah suaminya. Seterusnya, mata itu turun untuk menerawang tubuh dari sang suami yang tidak memakai atasan. Catra masih bertelanjang dada. "Mommy tidak sedang bermimpi kan?" tanya Gisa tidak percaya. Tangan yang awalnya menyentuh wajah dari suaminya, kini pindah dan menyentuh setiap lekuk otot-otot padat dari dada Catra. "Ini semua tampak nyata!" ujarnya kembali. "Sssshhh ... Mom!" desah Catra yang mendapat sentuhan dari jari-jari lembut istrinya.
"Daddy ... kenapa lama sih?" gerutu Gisa yang masih menunggu kedatangan suaminya. Hari sudah semakin malam. Keadaan di rumah sakit pun, mulai sepi dengan sedikit aktivitas yang ada. Gisa mengusap lehernya, kemudian menggosokkan kedua tangannya untuk mentransfer hangat pada tubuhnya. "Ih ..., tau gini, mommy tungguin sampai selesai di dalam!" gerutu Gisa kembali. Dia kesal, suaminya tak kunjung datang. Padahal, jarak dari kamar perawatan Gisa menuju lobby, tidak terlalu jauh. Gisa mengalihkan perhatiannya, saat mendengar keributan di sampingnya. Beberapa perawat perempuan yang tengah berjaga malam, saling berbisik, bercerita dengan antusias. "Pantas di belakang ribut, ternyata tuan muda datang." ucap Gisa kesal, karena suaminya selalu menjadi pusat perhatian. Para perawat muda di buat menganga, saat Catra datang dengan rambut yang masih terlihat basah. Dia berjalan memakai celana, dengan panjang hanya sebatas paha atas. Celana pendek itu, berha