Badanku langsung terhuyung, aku meringis saat Papa menjambak rambutku tanpa aba-aba dan menyeretku masuk ke dalam rumah seperti binatang. Aku menangis kencang, meminta bantuan ke Om nya Elio yang berusaha melerai keributan ini. Dia juga sama terkerjutnya ketika melihat Papa yang tanpa hati menyiksa putrinya dijalanan umum.
"Pah... sakit... lepasss..."
"Anak nggak berguna! Bisanya bikin malu keluarga!" umpat Papa masih terus menyeretku masuk ke dalam rumah.
Tanganku terulur ke depan, menatap Om nya Elio dengan pandangan mengemis kasihan. Demi Tuhan, kepalaku rasanya mau pecah dijambak sekeras ini. Belum lagi kulit pahaku yang bergesekan dengan aspal saat Papa menyeretku masuk ke dalam. Perih sekali rasanya.
BUGH!!!
Papa menghempaskan tubuhku dengan kasar hingga wajahku bertubrukan dengan lantai. Detik berikutnya, rasa sakit yang berkali-kali lipat menyerang. Tongkat bisbol itu mendarat sempurna dan tepat dipunggungku yang setengah ronta. Suara jeritan Mama terdengar, aku mendongak dan melihat Mama yang menangis tersedu-sedu sambil menutupi mulutnya. Melihat reaksi Mama membuat rasa sakit yang menyerangku bertambah berkali-kali lipat. Tidakkah cukup untuk Papa membuatku tersisak? Apa Papa juga harus menyiksaku di depan Mama juga?
"Sialan! Siapa yang ngajarin kamu jadi jalang, HAH?!" umpatan itu Papa selingi dengan bumbuhan tongkat bisbol di badanku.
"Om, tolong tenang dulu Om." suara milik Om nya Elio terdengar panik dan berusaha menenangkan Papa. Sayangnya, hal itu tidak membuahkan hasil. Papa masih gelap mata memukuliku dengan membabi buta.
"Diam kamu! Nggak usah ikut campur! Ini urusan keluarga saya!" sentak Papa galak.
"Pah, cukup Pah! Kasihan Safa..." itu suara Mama yang terdengar bergetar.
"Udahlah, Ma, Safa pantas dapat hukuman karena dia udah mencoreng nama baik keluarga kita." Dan kalimat tanpa rasa kemanusiaan itu terlontar dari bibir kakak tiriku, Sheila Agnesia Adyatma.
BUGH!
Aku meringis lagi, pukulan Papa semakin kuat dan tulangku terasa retak semua.
Seketika sunyi, suara jeritan Mama dan pukulan Papa tak terasa lagi di badanku. Namun ketika aku membuka mata perlahan, kudapati sosok Om nya Elio yang meringis kesakitan saat merasakan pukulan Papa karena melindungi tubuhku. Ya, Om nya Elio memelukku demi menghentikan rasa sakit yang aku rasa. Bukannya berhenti, Papa malah bertambah semangat membubuhi tokat bisbolnya ke punggung Om nya Elio.
"Sial!" Papa mengumpat kesal. Dia melempar tongkat bisbolnya ke segala arah setelah puas melampiaskan amarah yang menggelora itu.
"Tolongin aku, Om... Aku nggak kuat, sakit sekali." Aku memeluk pinggang Om nya Elio dengan erat. Kurasakan usapan lembut tangannya pada punggungku.
"Jadi dia yang sudah hamilin kamu, Safa?!" tegas Papa bertanya. Aku hendak menggeleng, tapi tangan Om nya Elio menahan kepalaku untuk bergerak.
"Biarkan saya membawa Safa ke kamarnya lebih dulu, setelah itu saya akan bicara dengan Om dan juga tante." ujar Om nya Elio dengan penuturan katanya yang tenang, gestur badannya juga tidak bereaksi berlebihan.
"Bawa dia, hati-hati." Mama membantuku untuk berdiri. Aku dibawa ke dalam kamar dengan langkah tertatih-tatih.
"Tante, boleh saya bicara dengan Safa berdua?" tanya Om nya Elio begitu sampai di kamarku. Dia meminta Mama untuk meninggalkan kami berdua di kamar ini.
Mama memandangnya sejenak, lalu teralih ke arahku. Dengan ragu Mama mengangguk dan melangkah pergi.
Dengan hati-hati Om nya Elio mendudukkan ku ke tepi ranjang. Kemudian dia memberiku segelas air putih yang memang selalu tersedia diatas nakas. Kuteguk air itu hingga tersisa setengah, cukup membuatku jadi lebih tenang dari sebelumnya.
"Saya sudah mendengar semua pembicaraan kamu dengan Elio di rumah saya, maaf kalau saya bertindak lancang, tapi suara kalian terlalu keras hingga saya bisa mendengarnya." katanya sambil berjalan kembali mendekati ranjangku.
Aku membuang muka, "Om sudah tau kan gimana kelakuan bejat keponakan Om itu?!" ketusku seraya menatap miris luka baret yang menghiasi paha mulusku yang kini semakin terasa perih.
Om itu membuang napas panjang, lalu mengangguk. "Saya sangat menyesali perbuatan kalian. Apa lagi keluarga kamu sudah tahu hal ini, memang jalan keluar satu-satunya kalian harus dinikahi."
Segera aku membalas tatapannya dengan tajam, "Tapi Elio nggak mau tanggungjawab, dia minta aku buat melakukan aborsi!"
"Sudah terlambat." Dia menggelengkan kepalanya, "Dan itu bukan jalan keluar yang benar. Sudah berzinah, lalu kalian mau jadi pembunuh?"
Aku bangkit, berjalan dengan sedikit tertatih mendekati dia dengan sorot penuh benci. "Aku nggak sejahat itu! Aku mau mempertahankan bayi ini, tapi aku nggak mau anak aku lahir tanpa ayah."
"Saya mengerti, Safa." balasnya. Entah bagaimana dia bisa mengetahui namaku dan terus memanggilku tanpa sungkan. Seakan kami sudah cukup akrab. "Tapi saya juga memahami keadaan Elio, dia punya alasan kenapa tidak menikahi kamu sekarang." sambungnya. Aku tidak melihat rasa emosional dalam dirinya, dia sangat tenang seakan ini bukan maslah besar.
"Apa alasannya?" tanyaku menantang.
Lagi-lagi dia menghela napas. Tangannya bergerak memegang bahuku lalu menuntunku untuk kembali duduk di tepi ranjang, dan dia ikut duduk disebelahku.
"Elio ingin tinggal bersama Ibunya di Aussie, sudah lama Elio menunggu waktu ini tiba. Sejak kecil Elio tinggal bersama saya karena Ayahnya sudah meninggal dan ibunya menikah lagi di Aussie. Ibunya Elio pernah berpesan kalau Elio sudah lulus, Elio boleh kuliah dan tinggal bersamanya."
Raut menegangku perlahan mengendur saat mendengar cerita keluarga Elio yang tidak pernah ku ketahui.
"Jadi, Elio nggak bakal kembali lagi ke Indonesia?"
"Kemungkinan besar tidak." jawabnya dengan ekspresi sesal.
Kontan kedua tanganku melingkari perutku. Jika Elio pergi dan tidak kembali lagi, siapa yang akan menjadi Ayah untuk bayiku? Apa aku harus menggugurkannya saja seperti perintah Elio?
"Aku mau aborsi, Om. Antar aku ke dokter aborsi sekarang!" Mataku menggelap, aku kembali bertingkah di luar kendaliku sendiri.
"Sadar, Safa!" Dia menahan bahuku agar tidak kemana-mana. Namun aku tetap memberontak dan kembali menangis meraung.
"Lepasin! Lebih baik dia aku gugurin aja dari pada lahir tanpa ayah! Lepasin aku Om!"
"Safa!" Dia memanggilku dengan suara yang keras dan membuatku terdiam.
"Kalau tidak bisa menjadi ibu yang baik, setidaknya jangan membunuh anak kamu sendiri!" lanjutnya dengan tegas dan menatapku dalam.
Aku menunduk sesal, ku hela napas panjang sebelum kembali mendongak dan menatap Om nya Elio.
"Lalu aku harus gimana, Om... aku nggak bisa ngehidupin dia sendirian." kataku diiringi tangis menyedihkan.
Dia membawaku kepelukan hangatnya. Tangannya yang besar mengusap punggungku dengan lembut dan hati-hati.
"Biar saya yang akan bertanggungjawab." katanya dengan penuh yakin.
Aku menarik diri, menatapnya tak percaya. Apa dia sedang melantur?
"Nama saya Nicholas Bachtiar,"Aku terdiam sambil terus mendengarkan percakapan Om nya Elio yang bernama Nicholas Bachtiar itu. Sesekali aku tersentak samar saat mengetahui fakta-fakta tentang dirinya yang mengejutkanku. Penampilannya sih memang sudah dewasa, tapi ternyata umurnya lebih tua dari penampilannya. Dia berusia 30 tahun dan berprofesi sebagai Dokter Spesialis Anak.Yang paling penting, dia dijamin masih lajang! Ya, tidak mungkin pria beristri menawarkan diri untuk menikahiku.Ya, diumurnya yang sudah dipertengahan kepala tiga, aku cukup kaget sebab dia masih mempertahankan status singlenya. Entah setebal apa telinganya karena pasti sudah sering mendengar pertanyaan menyebalkan seperti, 'kapan menikah?'Selain itu, Nicholas juga menyombongkan diri karena memiliki latar belakang keluarga yang terpandang. Dia adalah cucu dari seorang mantan Politikus, dan nyatanya hal itu membuat Papa tampak lebih tenang dari sebelumnya. Sepertinya Nicholas sengaja memamerkan kekayaannya agar
Hari pernikahanku dengan Om Nicho akhirnya tiba. Dia menepati janjinya untuk menggelar pesta pernikahan yang cukup mewah disalah satu Hotel bintang lima yang terletak di Jakarta. Meski acaranya hanya sampai jam 3 sore, namun banyak tamu yang datang memeriahkan acara pernikahan kami.Walaupun pernikahan ini tanpa dilandasi rasa cinta. Tapi bahagia rasanya memakai gaun pengantin impian dan duduk dipelaminan, walau bukan dengan pria yang kuharapkan.Selesai acara, Om Nicho langsung membawaku pulang ke rumahnya. Ya, mulai hari ini aku juga akan tinggal di rumahnya karena status kami yang sudah resmi menjadi suami istri baik dimata agama maupun negara.Aku kira satu bulan sudah cukup untukku mempersiapkan diri menjadi seorang istri. Ternyata rasanya masih berat untuk menerima kenyataan ini. Melihat cincin kawin kami yang melingkar di jari manisku, aku merasakan sebuah tanggungjawab baru yang cukup besar bertumpu di pundakku."Om, apa Elio masih tinggal sama Om?" Setelah setengah perjalanan
"Gugurin anak itu!"Jantungku mencolos mendengar penuturan tersirat pemaksaan itu. Dalam hitungan detik bola mataku berlinang, beradu tajam dengan manik legam milik Elio yang berkabut murka."El..." aku menahan isak. Tidak sanggup ingin mengurai kata lewat bibirku yang perlahan bergetar. Ucapan Elio barusan cukup membuatku paham kalau kehamilanku jelas tidak diharapkan. Well, jelas tidak diharapkan karena kami baru saja lulus sekolah.Kurasakan cengkraman jemari Elio di kedua pundak lesuhku, "Kita baru lulus SMA, Saf. Kamu tahu kan kalau aku sudah keterima kuliah di Aussie? Itu impian aku, masa depan aku."PLAK!!!Perkataan itu berhasil menyentil amarahku. Dengan secepat kilat dan spontan tanganku terangkat, mendarat mulus di pipi kanan Elio dan meninggalkan jejak kemerahan di sana.Wajah Elio yang semula terhempas perlahan kembali menoleh ke arahku, rahangnya mengetat, obsidiannya menajam dan penuh kabut amarah yang kental. Dia marah."Apa aku dan bayi kita bukan bagian dari masa dep
Elio menyambut kedatanganku dengan wajah tak suka. Ia bahkan terlihat terpaksa saat menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya."Bawa mobil sendiri?" tanyanya sambil meletakan segelas air putih dihadapanku.Aku mengangguk pelan, "Iya."Elio manggut-manggut sembari mendudukkan diri di sofa sebrang. "Ada apa datang ke sini?" tanyanya to the point.Bola mataku mengedar, menatapi penjuru ruang tengah rumah Elio yang sunyi dan tak terlihat hawa kehidupan. Selama satu tahun berpacaran, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumahnya. Elio juga jarang bercerita tentang keluarganya. Dalam artian, satu tahun ternyata tidak cukup untukku mengenal kehidupan pemuda itu lebih dalam."Ada apa, Saf?" tanya Elio terdengar jengah tapi menuntut.Pandanganku menutup, tanpa sadar aku memainkan jemari tanganku, merasa cemas. Jujur, aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk membicarakannya."Mamaku udah tau, El. Mama udah tau kalau aku hamil." ujarku sedikit bergetar. Kulihat Elio mengusap wajahnya ka
Hari pernikahanku dengan Om Nicho akhirnya tiba. Dia menepati janjinya untuk menggelar pesta pernikahan yang cukup mewah disalah satu Hotel bintang lima yang terletak di Jakarta. Meski acaranya hanya sampai jam 3 sore, namun banyak tamu yang datang memeriahkan acara pernikahan kami.Walaupun pernikahan ini tanpa dilandasi rasa cinta. Tapi bahagia rasanya memakai gaun pengantin impian dan duduk dipelaminan, walau bukan dengan pria yang kuharapkan.Selesai acara, Om Nicho langsung membawaku pulang ke rumahnya. Ya, mulai hari ini aku juga akan tinggal di rumahnya karena status kami yang sudah resmi menjadi suami istri baik dimata agama maupun negara.Aku kira satu bulan sudah cukup untukku mempersiapkan diri menjadi seorang istri. Ternyata rasanya masih berat untuk menerima kenyataan ini. Melihat cincin kawin kami yang melingkar di jari manisku, aku merasakan sebuah tanggungjawab baru yang cukup besar bertumpu di pundakku."Om, apa Elio masih tinggal sama Om?" Setelah setengah perjalanan
"Nama saya Nicholas Bachtiar,"Aku terdiam sambil terus mendengarkan percakapan Om nya Elio yang bernama Nicholas Bachtiar itu. Sesekali aku tersentak samar saat mengetahui fakta-fakta tentang dirinya yang mengejutkanku. Penampilannya sih memang sudah dewasa, tapi ternyata umurnya lebih tua dari penampilannya. Dia berusia 30 tahun dan berprofesi sebagai Dokter Spesialis Anak.Yang paling penting, dia dijamin masih lajang! Ya, tidak mungkin pria beristri menawarkan diri untuk menikahiku.Ya, diumurnya yang sudah dipertengahan kepala tiga, aku cukup kaget sebab dia masih mempertahankan status singlenya. Entah setebal apa telinganya karena pasti sudah sering mendengar pertanyaan menyebalkan seperti, 'kapan menikah?'Selain itu, Nicholas juga menyombongkan diri karena memiliki latar belakang keluarga yang terpandang. Dia adalah cucu dari seorang mantan Politikus, dan nyatanya hal itu membuat Papa tampak lebih tenang dari sebelumnya. Sepertinya Nicholas sengaja memamerkan kekayaannya agar
Badanku langsung terhuyung, aku meringis saat Papa menjambak rambutku tanpa aba-aba dan menyeretku masuk ke dalam rumah seperti binatang. Aku menangis kencang, meminta bantuan ke Om nya Elio yang berusaha melerai keributan ini. Dia juga sama terkerjutnya ketika melihat Papa yang tanpa hati menyiksa putrinya dijalanan umum."Pah... sakit... lepasss...""Anak nggak berguna! Bisanya bikin malu keluarga!" umpat Papa masih terus menyeretku masuk ke dalam rumah.Tanganku terulur ke depan, menatap Om nya Elio dengan pandangan mengemis kasihan. Demi Tuhan, kepalaku rasanya mau pecah dijambak sekeras ini. Belum lagi kulit pahaku yang bergesekan dengan aspal saat Papa menyeretku masuk ke dalam. Perih sekali rasanya.BUGH!!!Papa menghempaskan tubuhku dengan kasar hingga wajahku bertubrukan dengan lantai. Detik berikutnya, rasa sakit yang berkali-kali lipat menyerang. Tongkat bisbol itu mendarat sempurna dan tepat dipunggungku yang setengah ronta. Suara jeritan Mama terdengar, aku mendongak dan
Elio menyambut kedatanganku dengan wajah tak suka. Ia bahkan terlihat terpaksa saat menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya."Bawa mobil sendiri?" tanyanya sambil meletakan segelas air putih dihadapanku.Aku mengangguk pelan, "Iya."Elio manggut-manggut sembari mendudukkan diri di sofa sebrang. "Ada apa datang ke sini?" tanyanya to the point.Bola mataku mengedar, menatapi penjuru ruang tengah rumah Elio yang sunyi dan tak terlihat hawa kehidupan. Selama satu tahun berpacaran, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumahnya. Elio juga jarang bercerita tentang keluarganya. Dalam artian, satu tahun ternyata tidak cukup untukku mengenal kehidupan pemuda itu lebih dalam."Ada apa, Saf?" tanya Elio terdengar jengah tapi menuntut.Pandanganku menutup, tanpa sadar aku memainkan jemari tanganku, merasa cemas. Jujur, aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk membicarakannya."Mamaku udah tau, El. Mama udah tau kalau aku hamil." ujarku sedikit bergetar. Kulihat Elio mengusap wajahnya ka
"Gugurin anak itu!"Jantungku mencolos mendengar penuturan tersirat pemaksaan itu. Dalam hitungan detik bola mataku berlinang, beradu tajam dengan manik legam milik Elio yang berkabut murka."El..." aku menahan isak. Tidak sanggup ingin mengurai kata lewat bibirku yang perlahan bergetar. Ucapan Elio barusan cukup membuatku paham kalau kehamilanku jelas tidak diharapkan. Well, jelas tidak diharapkan karena kami baru saja lulus sekolah.Kurasakan cengkraman jemari Elio di kedua pundak lesuhku, "Kita baru lulus SMA, Saf. Kamu tahu kan kalau aku sudah keterima kuliah di Aussie? Itu impian aku, masa depan aku."PLAK!!!Perkataan itu berhasil menyentil amarahku. Dengan secepat kilat dan spontan tanganku terangkat, mendarat mulus di pipi kanan Elio dan meninggalkan jejak kemerahan di sana.Wajah Elio yang semula terhempas perlahan kembali menoleh ke arahku, rahangnya mengetat, obsidiannya menajam dan penuh kabut amarah yang kental. Dia marah."Apa aku dan bayi kita bukan bagian dari masa dep