Hari pernikahanku dengan Om Nicho akhirnya tiba. Dia menepati janjinya untuk menggelar pesta pernikahan yang cukup mewah disalah satu Hotel bintang lima yang terletak di Jakarta. Meski acaranya hanya sampai jam 3 sore, namun banyak tamu yang datang memeriahkan acara pernikahan kami.
Walaupun pernikahan ini tanpa dilandasi rasa cinta. Tapi bahagia rasanya memakai gaun pengantin impian dan duduk dipelaminan, walau bukan dengan pria yang kuharapkan.
Selesai acara, Om Nicho langsung membawaku pulang ke rumahnya. Ya, mulai hari ini aku juga akan tinggal di rumahnya karena status kami yang sudah resmi menjadi suami istri baik dimata agama maupun negara.
Aku kira satu bulan sudah cukup untukku mempersiapkan diri menjadi seorang istri. Ternyata rasanya masih berat untuk menerima kenyataan ini. Melihat cincin kawin kami yang melingkar di jari manisku, aku merasakan sebuah tanggungjawab baru yang cukup besar bertumpu di pundakku.
"Om, apa Elio masih tinggal sama Om?" Setelah setengah perjalanan, akhirnya aku membuka suara. Entah bagaimana kabar keponakannya, aku tidak pernah berhubungan lagi dengan Elio, dia juga sudah memblokir semua akses komunikasi kami di medsos. Dan aku juga tidak berusaha untuk menjalin komunikasi lagi walaupun saat ini ada darah dagingnya yang tumbuh diperutku.
Ku lirik Om Nicho yang sedang fokus menyetir. Seperti biasa, dia tak banyak berekspresi.
"Dia sudah berangkat ke Aussie minggu lalu. Maaf karena saya tidak memberitahu kamu."
Aku membuang wajah keluar jendela. Jadi, Elio sudah pergi? Dia benar-benar pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata maafpun kepadaku dan anaknya yang tidak dia terima kehadirannya ini.
"Apa Elio tahu kalau kita menikah, Om?"
Om Nicho menghembuskan napas samar. "Ya, sebelum saya membawa keluarga saya untuk datang ke rumah kamu, saya sudah bicarakan ke Elio lebih dulu. Memberitahukan kalau saya yang akan menikahi kamu, dan menjadi Papa dari anaknya."
Bibirku sedikit bergetar mendengar semua rangkaian kalimat yang keluar dari bibir tipis Om Nicho. 'Menjadi Papa dari anaknya.' Kalimat itu cukup membuat hatiku tersentuh.
"Gimana tanggapan Elio, Om?"
"Dia setuju. Tapi, sudah pasti ada rasa tidak terima. Bagaimana pun dia pasti ingin bertanggungjawab dan menikahi kamu, tapi situasinya tidak memungkinkan. Saya tidak membela Elio yang memang jelas-jelas salah dan lari dari tanggungjawabnya, tapi saya berpesan, jika nanti anak itu sudah besar, kenalkan dia kepada Elio meski bukan sebagai papanya, tapi tolong jangan kamu jauhkan dia dari Elio. Bagaimanapun ada darah Elio yang mengalir ditubuh anak kamu. Kita enggak bisa mengelak soal itu. Sebenci apapun kamu ke Elio sekarang, saya mohon jangan turunkan kebencian kamu itu ke anak kamu juga. Bisa jadi, dengan cara seperti itu Elio bisa menyesali keputusan yang dia buat saat ini."
Jujur saja, aku sudah berniat untuk membuang Elio dari hidupku dan anakku juga. Aku sungguh tidak sudi jika nanti harus mempertemukan Elio kepada anakku. Namun, mengingat Om Nicho dan Elio masih memilki ikatan keluarga, jadi besar kemungkinannya kami akan bertemu kembali.
Well, apa yang Om Nicho katakan benar. Bisa jadi dengan memperkenalkan anak kami ke Elio dapat membuat dia menyesal. Tidak pernah ada yang tahu bagaimana anak di dalam perutku ini tumbuh nanti, tapi sudah dipastikan dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang menggemaskan. Rasa ketakutanku sebagai Mama muda sebagian sudah gugur karena kehadiran Om Nicho sebagai pasangan hidupku, dia juga terlihat sangat menerima anakku. Aku yakin Om Nicho pasti akan menjadi sosok Papa yang penu kasih sayang.
Sebab yang kubutuhkan saat ini bukanlah hanya sekadar 'suami', melainkan 'papa' untuk anakku.
"Ayo, turun."
Terlalu sibuk bergelut dengan pikiran sendiri, aku sampai tidak sadar kalau kami sudah sampai di halaman rumah Om Nicho.
Aku beranjak turun, menatap sesaat rumah Om Nicho yang sudah pernah kusandangi satu kali. Tak pernah menyangka kunjunganku saat itu membawaku ke titik saat ini. Mempertemukanku dengan seorang pria yang sekarang menjadi suami dan ayah untuk anakku.
Tungkaiku berjalan beriringan dengan Om Nicho yang menyeret koper besar milikku. Kami melewati ruang tengah dan naik ke lantai dua.
"Kamu bebas memilih kamar dimana pun yang kamu mau," ujar Om Nicho.
Satu alisku terangkat, "Kita pisah kamar, Om?"
Om Nicho mengangguk, "I just follow what you want."
Aku berpikir sejenak. Bukankah rasanya tidak tahu diri jika memilih kamar sendiri? Om Nicho sudah banyak membantuku, walaupun saat ini kami tidak saling mencintai, namun aku ingin belajar jadi seorang istri yang baik untuk Om Nicho. Anggap saja sebagai bentuk balas budi. Aku tidak munafik, aku bahkan sudah mempersiapkan diri untuk bersedia memenuhi kebutuhan biologis Om Nicho juga.
"Kalau aku maunya satu kamar sama Om. Apa boleh?"
Mendengar ucapanku, Om Nicho nampak sedikit kaget. "Hmm, kalau kamu maunya seperti itu. Saya tidak masalah untuk berbagi kamar."
Tanpa sadar aku mengukir senyum tipis. Kembali tungkaiku melangkah mengikuti Om Nicho yang masuk ke salah satu kamar di lantai dua. Nampaknya itu kamar utama di rumah ini.
"Ini kamar kita. Kamu bisa pakai lemari yang ini, ya." katanya sambil meletakan koperku di depan lemari pakaian. "Apa yang kamu butuhkan, Safa? Mungkin meja rias atau apapun itu, katakan saja."
Aku terbungkam sesaat dengan pandangan menjelajahi kamar yang bernuansa putih. Kamarnya sangat rapi dan bersih meski tidak banyak furniture yang menghiasi. Tapi bukan hal itu yang membuatku terdiam, melainkan foto-foto yang tertempel di dinding.
Ya, itu adalah foto pernikahan Om Nicho dengan istri pertamanya. Lebih dari lima foto kebersamaan mereka menghiasi dinding kamar. Mereka nampak begitu saling mencintai.
"Safa, bagaimana?" tanya Om Nicho membuatku tersadar.
Aku berdehem sejenak, berusaha tenang. "Kalau Om memperbolehkan."
"Jadi, meja rias?"
Aku mengangguk.
"Okey. Nanti saya minta bi Diah untuk beli meja rias, ya."
"Bi Diah?" ulangku bingung.
Sambil menjawab, Om Nicho membuka jas yang membalut badan kekarnya. "Bi Diah itu pembantu di rumah ini. Hari ini beliau sedang libur, besok saya kenalkan, ya." katanya lalu lanjut melepaskan dasi.
Mendadak aku jadi salah tingkah. Kenapa dia harus melucuti pakaian satu per satu di depanku segala, sih? Apa kami juga akan melakukan ritual malam pengantin? Tapi sekarang kan masih sore!
"Kamu tidak mandi?" tanya Om Nicho. Dadaku semakin bergemuruh hebat tatkala jari tangannya membuka kancing kemejanya satu per satu.
"Hmm... okey, aku mandi." dengan cepat aku berlari masuk ke dalam kamar mandi. Entah kenapa melihat apa yang dilakukan Om Nicho membuat suhu udara di kamar ini menjadi panas.
"Gugurin anak itu!"Jantungku mencolos mendengar penuturan tersirat pemaksaan itu. Dalam hitungan detik bola mataku berlinang, beradu tajam dengan manik legam milik Elio yang berkabut murka."El..." aku menahan isak. Tidak sanggup ingin mengurai kata lewat bibirku yang perlahan bergetar. Ucapan Elio barusan cukup membuatku paham kalau kehamilanku jelas tidak diharapkan. Well, jelas tidak diharapkan karena kami baru saja lulus sekolah.Kurasakan cengkraman jemari Elio di kedua pundak lesuhku, "Kita baru lulus SMA, Saf. Kamu tahu kan kalau aku sudah keterima kuliah di Aussie? Itu impian aku, masa depan aku."PLAK!!!Perkataan itu berhasil menyentil amarahku. Dengan secepat kilat dan spontan tanganku terangkat, mendarat mulus di pipi kanan Elio dan meninggalkan jejak kemerahan di sana.Wajah Elio yang semula terhempas perlahan kembali menoleh ke arahku, rahangnya mengetat, obsidiannya menajam dan penuh kabut amarah yang kental. Dia marah."Apa aku dan bayi kita bukan bagian dari masa dep
Elio menyambut kedatanganku dengan wajah tak suka. Ia bahkan terlihat terpaksa saat menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya."Bawa mobil sendiri?" tanyanya sambil meletakan segelas air putih dihadapanku.Aku mengangguk pelan, "Iya."Elio manggut-manggut sembari mendudukkan diri di sofa sebrang. "Ada apa datang ke sini?" tanyanya to the point.Bola mataku mengedar, menatapi penjuru ruang tengah rumah Elio yang sunyi dan tak terlihat hawa kehidupan. Selama satu tahun berpacaran, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumahnya. Elio juga jarang bercerita tentang keluarganya. Dalam artian, satu tahun ternyata tidak cukup untukku mengenal kehidupan pemuda itu lebih dalam."Ada apa, Saf?" tanya Elio terdengar jengah tapi menuntut.Pandanganku menutup, tanpa sadar aku memainkan jemari tanganku, merasa cemas. Jujur, aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk membicarakannya."Mamaku udah tau, El. Mama udah tau kalau aku hamil." ujarku sedikit bergetar. Kulihat Elio mengusap wajahnya ka
Badanku langsung terhuyung, aku meringis saat Papa menjambak rambutku tanpa aba-aba dan menyeretku masuk ke dalam rumah seperti binatang. Aku menangis kencang, meminta bantuan ke Om nya Elio yang berusaha melerai keributan ini. Dia juga sama terkerjutnya ketika melihat Papa yang tanpa hati menyiksa putrinya dijalanan umum."Pah... sakit... lepasss...""Anak nggak berguna! Bisanya bikin malu keluarga!" umpat Papa masih terus menyeretku masuk ke dalam rumah.Tanganku terulur ke depan, menatap Om nya Elio dengan pandangan mengemis kasihan. Demi Tuhan, kepalaku rasanya mau pecah dijambak sekeras ini. Belum lagi kulit pahaku yang bergesekan dengan aspal saat Papa menyeretku masuk ke dalam. Perih sekali rasanya.BUGH!!!Papa menghempaskan tubuhku dengan kasar hingga wajahku bertubrukan dengan lantai. Detik berikutnya, rasa sakit yang berkali-kali lipat menyerang. Tongkat bisbol itu mendarat sempurna dan tepat dipunggungku yang setengah ronta. Suara jeritan Mama terdengar, aku mendongak dan
"Nama saya Nicholas Bachtiar,"Aku terdiam sambil terus mendengarkan percakapan Om nya Elio yang bernama Nicholas Bachtiar itu. Sesekali aku tersentak samar saat mengetahui fakta-fakta tentang dirinya yang mengejutkanku. Penampilannya sih memang sudah dewasa, tapi ternyata umurnya lebih tua dari penampilannya. Dia berusia 30 tahun dan berprofesi sebagai Dokter Spesialis Anak.Yang paling penting, dia dijamin masih lajang! Ya, tidak mungkin pria beristri menawarkan diri untuk menikahiku.Ya, diumurnya yang sudah dipertengahan kepala tiga, aku cukup kaget sebab dia masih mempertahankan status singlenya. Entah setebal apa telinganya karena pasti sudah sering mendengar pertanyaan menyebalkan seperti, 'kapan menikah?'Selain itu, Nicholas juga menyombongkan diri karena memiliki latar belakang keluarga yang terpandang. Dia adalah cucu dari seorang mantan Politikus, dan nyatanya hal itu membuat Papa tampak lebih tenang dari sebelumnya. Sepertinya Nicholas sengaja memamerkan kekayaannya agar
Hari pernikahanku dengan Om Nicho akhirnya tiba. Dia menepati janjinya untuk menggelar pesta pernikahan yang cukup mewah disalah satu Hotel bintang lima yang terletak di Jakarta. Meski acaranya hanya sampai jam 3 sore, namun banyak tamu yang datang memeriahkan acara pernikahan kami.Walaupun pernikahan ini tanpa dilandasi rasa cinta. Tapi bahagia rasanya memakai gaun pengantin impian dan duduk dipelaminan, walau bukan dengan pria yang kuharapkan.Selesai acara, Om Nicho langsung membawaku pulang ke rumahnya. Ya, mulai hari ini aku juga akan tinggal di rumahnya karena status kami yang sudah resmi menjadi suami istri baik dimata agama maupun negara.Aku kira satu bulan sudah cukup untukku mempersiapkan diri menjadi seorang istri. Ternyata rasanya masih berat untuk menerima kenyataan ini. Melihat cincin kawin kami yang melingkar di jari manisku, aku merasakan sebuah tanggungjawab baru yang cukup besar bertumpu di pundakku."Om, apa Elio masih tinggal sama Om?" Setelah setengah perjalanan
"Nama saya Nicholas Bachtiar,"Aku terdiam sambil terus mendengarkan percakapan Om nya Elio yang bernama Nicholas Bachtiar itu. Sesekali aku tersentak samar saat mengetahui fakta-fakta tentang dirinya yang mengejutkanku. Penampilannya sih memang sudah dewasa, tapi ternyata umurnya lebih tua dari penampilannya. Dia berusia 30 tahun dan berprofesi sebagai Dokter Spesialis Anak.Yang paling penting, dia dijamin masih lajang! Ya, tidak mungkin pria beristri menawarkan diri untuk menikahiku.Ya, diumurnya yang sudah dipertengahan kepala tiga, aku cukup kaget sebab dia masih mempertahankan status singlenya. Entah setebal apa telinganya karena pasti sudah sering mendengar pertanyaan menyebalkan seperti, 'kapan menikah?'Selain itu, Nicholas juga menyombongkan diri karena memiliki latar belakang keluarga yang terpandang. Dia adalah cucu dari seorang mantan Politikus, dan nyatanya hal itu membuat Papa tampak lebih tenang dari sebelumnya. Sepertinya Nicholas sengaja memamerkan kekayaannya agar
Badanku langsung terhuyung, aku meringis saat Papa menjambak rambutku tanpa aba-aba dan menyeretku masuk ke dalam rumah seperti binatang. Aku menangis kencang, meminta bantuan ke Om nya Elio yang berusaha melerai keributan ini. Dia juga sama terkerjutnya ketika melihat Papa yang tanpa hati menyiksa putrinya dijalanan umum."Pah... sakit... lepasss...""Anak nggak berguna! Bisanya bikin malu keluarga!" umpat Papa masih terus menyeretku masuk ke dalam rumah.Tanganku terulur ke depan, menatap Om nya Elio dengan pandangan mengemis kasihan. Demi Tuhan, kepalaku rasanya mau pecah dijambak sekeras ini. Belum lagi kulit pahaku yang bergesekan dengan aspal saat Papa menyeretku masuk ke dalam. Perih sekali rasanya.BUGH!!!Papa menghempaskan tubuhku dengan kasar hingga wajahku bertubrukan dengan lantai. Detik berikutnya, rasa sakit yang berkali-kali lipat menyerang. Tongkat bisbol itu mendarat sempurna dan tepat dipunggungku yang setengah ronta. Suara jeritan Mama terdengar, aku mendongak dan
Elio menyambut kedatanganku dengan wajah tak suka. Ia bahkan terlihat terpaksa saat menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya."Bawa mobil sendiri?" tanyanya sambil meletakan segelas air putih dihadapanku.Aku mengangguk pelan, "Iya."Elio manggut-manggut sembari mendudukkan diri di sofa sebrang. "Ada apa datang ke sini?" tanyanya to the point.Bola mataku mengedar, menatapi penjuru ruang tengah rumah Elio yang sunyi dan tak terlihat hawa kehidupan. Selama satu tahun berpacaran, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumahnya. Elio juga jarang bercerita tentang keluarganya. Dalam artian, satu tahun ternyata tidak cukup untukku mengenal kehidupan pemuda itu lebih dalam."Ada apa, Saf?" tanya Elio terdengar jengah tapi menuntut.Pandanganku menutup, tanpa sadar aku memainkan jemari tanganku, merasa cemas. Jujur, aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk membicarakannya."Mamaku udah tau, El. Mama udah tau kalau aku hamil." ujarku sedikit bergetar. Kulihat Elio mengusap wajahnya ka
"Gugurin anak itu!"Jantungku mencolos mendengar penuturan tersirat pemaksaan itu. Dalam hitungan detik bola mataku berlinang, beradu tajam dengan manik legam milik Elio yang berkabut murka."El..." aku menahan isak. Tidak sanggup ingin mengurai kata lewat bibirku yang perlahan bergetar. Ucapan Elio barusan cukup membuatku paham kalau kehamilanku jelas tidak diharapkan. Well, jelas tidak diharapkan karena kami baru saja lulus sekolah.Kurasakan cengkraman jemari Elio di kedua pundak lesuhku, "Kita baru lulus SMA, Saf. Kamu tahu kan kalau aku sudah keterima kuliah di Aussie? Itu impian aku, masa depan aku."PLAK!!!Perkataan itu berhasil menyentil amarahku. Dengan secepat kilat dan spontan tanganku terangkat, mendarat mulus di pipi kanan Elio dan meninggalkan jejak kemerahan di sana.Wajah Elio yang semula terhempas perlahan kembali menoleh ke arahku, rahangnya mengetat, obsidiannya menajam dan penuh kabut amarah yang kental. Dia marah."Apa aku dan bayi kita bukan bagian dari masa dep