Share

Sudahkah memuliakan wanita?

Zey tengah sibuk membersihkan piring kotor bekas makan malam majikannya, ia masih memikirkan perkataan yang terlontar di bibir Hazel siang tadi.

Calon istri? Wah, yang benar saja. Hazel pasti kehilangan akal, bagaimana bisa dia mengklaim Zey sebagai calon istri. Rasanya kepala Zey ingin meledak memikirkan ini.

"Dia pikir dia siapa seenaknya nganggep gue calon istri. Gendeng, siapa juga yang mau sama dia, orang jelalatan begitu." Zey mendumal pelan karena dia tahu ada kamera CCTV yang terus memantau kegiatannya, belum lagi CCTV mulut lemes para maid yang siap melapor 24 jam ke Hazel.

Zey seperti terkurung di kandang emas tapi isinya macan semua. Apes!

"Hwaaa kaget!" Tepukan di bahu membuat Zey terperanjat dan hampir memecahkan piring kalau saja tak lekas ditangkap.

"Fyuhhh, alhamdulillah ya Allah kalau pecah berabe urusannya." Zey mengusap dada beberapa kali kemudian mengembalikan piring ke tempat seharusnya.

"Tuan sudah menyiapkan kamar khusus untuk Nona, mohon segera mengikuti saya," ujar pria tegap yang sangat dikenal Zey.

"Heh lo, tunggu," tahannya, "Lo yang kemarin nawarin kerjaan ini ke gue, 'kan? Lo sengaja ngejebak gue, hah? Itu apalagi, Tuan kesayangan kalian seenaknya klaim gue sebagai calon istri. Gue laporin polisi atas tindak penipuan ya!" Zey mencerocos panjang sedangkan pria itu hanya bisa diam menunggu kapan Zey berhenti.

"Sudah Nona? Mari saya antar." Pria itu merentangkan sebelah tangannya dengan posisi tubuh menyamping, menyuruh Zey lekas beranjak dari tempatnya berdiri.

"Tunggu dulu! Lo belum jelasin semuanya!" Zey berang, ingin rasanya membogem muka polos bodyguard Hazel, tapi ingat melukai sesama juga kena dosa. Zey masih bisa menahan diri, kalau nanti ... entahlah.

"Maaf Nona, saya hanya diperintahkan membawa surat kontrak dan Nona sudah menandatanganinya tanpa membaca sampai habis, itu kesalahan Nona sendiri, saya sudah menjalankan tugas dengan baik." Pria itu menunduk sopan seraya berjalan lebih dulu agar Zey mengikutinya. Kalau diladeni pasti makin panjang.

'Masa iya ada perjanjian gue jadi istrinya? Padahal tadi malam gue udah baca, gak mungkinlah,' pikir Zey sembari melangkah cepat mengikuti langkah lebar bodyguard berbaju hitam di depannya.

Bunyi gagang pintu diputar membuyarkan lamunan Zey. Pria tegap itu membuka pintu lebar-lebar agar Zey melihat isi kamar barunya yang luar biasa mewah.

"Maa syaa Allah, ini gue jadi babu apa ratu, mewah amat," gumam Zey melangkah pelan sambil melihat kanan dan kiri, mengagumi tiap benda yang harganya mencapai puluhan juta. Hazel benar-benar tak segan lagi.

Ucap syukur dan pujian terus terlontar di bibir mungilnya. Zey menatap sebentar bodyguard yang masih setia memegang gagang pintu, mengawasi Zey kalau-kalau gadis itu kabur dari kamar dan petaka akan menimpanya saat ini juga, pasti Hazel akan menghajarnya habis-habisan. Jadi, dia harus memastikan Zey menyukai kamar barunya dan tak punya niat kabur meski mustahil.

Lagian siapa sih yang akan kabur ketika disuguhi kemewahan dunia. Itulah yang dipikirkan si bodyguard.

"Ini serius kamar gue?" Zey menekan kasur menggunakan telunjuk, empuk. Bibirnya melengkung ke atas saat bodyguard tadi mengangguk.

"Lo gak bohong, 'kan?" tanyanya memastikan.

"Ini benar kamarmu, Nona. Baru tadi pagi kamar ini diisi barang pelengkap dan koper serta tasmu ada di sebelah situ," katanya menunjuk samping lemari.

Zey mengangguk paham, "Oke. Gue mandi dulu, setelah itu bantu gue ketemu Hazel."

Bodyguard bernama Sero itu membelik kaget. "Nona, mohon jangan menyebut nama Tuan kami spontan seperti itu, beri rasa hormatmu sedikit," pesannya serius.

"Kenapa?" Kepala Zey memiring dengan senyum meremehkan, "Setinggi apa derajatnya sampai-sampai gue harus manggil dia dengan embel-embel Tuan?" 

Sero mengusap wajah malas, "Tolonglah Nona. Tuan sangat tak suka ketika namanya disebut."

"Baiklah. Tolong keluar dan beri tahu pada Tuan kalian itu. Gue, Zey Qamelia Aaliyah meminta dengan sangat hormat untuk bertemu selepas Isya." Zey membungkukkan tubuh sedikit mengejek.

Alis Sero naik sebelah, "Maaf, selepas Isya itu kapan?"

Giliran Zey yang kaget, "Gak pernah salat, ya? Pantes. Jam setengah lapan."

Sero malu sendiri mendengar penuturan gadis di depannya. Dia berlalu pergi setelah mengangguk paham. Sero menuju kamar Tuan rumah guna memberi tahu pesan Zey.

Sero mengetuk pintu, setelah terdengar sahutan barulah ia masuk.

"Tuan, maaf. Nona Zey meminta pertemuan jam setengah delapan malam ini juga. Bukannya Tuan ada janji dengan klien dari Jerman, apa saya kabari Nona Zey kalau Tuan sedang sibuk?" Sero menjelaskan panjang lebar.

Hazel mengangguk saja, "Batalkan meeting itu, undur jadi besok pagi." Sero mengangguk paham, "Bagaimana reaksinya? Suka?"

"Nona menyukai kamarnya, Tuan."

Senyum Hazel terbit begitu saja, "Baguslah."

***

Zey membuka kopernya, tak berniat memasukkan baju ke lemari, toh dia merasa sedang disogok dengan kemewahan agar mengiyakan perkataan Hazel yang kadang nyeleneh keluar jalur.

Zey tahu diri, dia tak akan memakai seluruh fasilitas kamar sebelum tahu motif di balik sikap lembut Hazel. Gadis itu yakin ada udang di balik batu, Hazel sedang merencanakan sesuatu yang akan memengaruhi hidup Zey. Pasti.

Dia memakai kamar mandi dan cermin, selebihnya dibiarkan begitu saja. Ingat, Zey bukanlah gadis murahan yang akan mengangguk manut bak kerbau dicucuk hidungnya hanya karena harta.

"Gue yakin ada yang gak beres." Zey mengusap dagu, memicingkan mata sambil menatap cermin.

"Apa istimewanya gue? Kenapa harus gue yang dijadiin calon, padahal masih banyak Tante-tante girang di klub malam itu."

Tak mau berpikir panjang. Zey segera membentang sejadah menghadap kiblat kemudian memakai mukenahnya dan bersiap salat.

Memikirkan dunia boleh, tetapi akhirat jangan dilupakan sebab hidup di dunia ini hanyalah sementara, akhirat kekal selamanya. Zey tak mau saat sekarat dalam keadaan berdosa, dia ingin selalu mendekatkan diri padah Allah, Tuhan yang satu.

"Assalamualaikum warahmatullah." Zey memalingkan wajah ke kanan dan kiri sambil mengucap salam, mengusap muka dengan tangan kanan dilanjut duduk bersila dan membaca zikir.

Usai zikir dan doa, tak sengaja mata Zey menatap Al Qur'an usang di meja rias. Dia mengambil kitab suci tersebut lalu membuka juz sebelas.

"Bismillahirrahmanirrahim ...."

Zey larut dalam bacaan Qur'an, melantunkan tiap ayat dengan baik dan benar walau terkadang berhenti kehabisan napas. Kurang lebih lima lembar barulah Zey menutup kitab yang diturunkan pada nabi Muhammad tersebut lalu menciumnya khidmat.

"Zey." Suara ketukan pintu serta orang memanggil nama Zey membuat gadis itu menoleh cepat ke jam.

"Astagfirullah udah jam delapan, kok gak sadar, sih?" Buru-buru Zey menaruh Al-Qur'an ke meja kemudian berlari kecil membuka pintu.

"Ha—Hazel?" Zey sedikit tak enak hati karena sudah berjanji eh malah diingkari sendiri. "Maaf," sesalnya pelan.

"Gak apa. Aku boleh masuk?" Hazel tersenyum ramah, berbeda betul dengan wajahnya yang tadi, jahil dan pemarah. 

Secepat kilat Zey menggeleng, memegang sisi pintu menghalang Hazel agar tak masuk.

"Jangan masuk ke kamar gadis yang bukan mahramnya, gak baik," peringat Zey dan Hazel kembali mengangguk pasrah.

"Ayo berbicara." Hazel ingin menarik tangan Zey tetapi gadis itu lebih dulu menyimpan tangannya di balik tubuh.

"Maaf, wudhu saya ntar batal kalo dipegang Tuan," ujarnya cepat sebagai penjelasan.

"Kenapa banyak sekali aturanmu?" Terdengar jelas kalau Hazel sedang jengah saat ini.

"Karena agama saya sangat memuliakan wanita."

Hazel terdiam mendengar penuturan Zey meski tak panjang tapi cukup menohok hatinya.

'Oh, Tuhan. Apakah selama ini aku sudah memuliakan wanita?' Hati Hazel seolah berbisik, mengingat betapa bejat ia selama ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status