Mag-log inIvy melangkah cepat, derap sepatunya memantul keras di lantai koridor. Wajahnya memerah, matanya berkilat-kilat penuh amarah. Ia baru saja menerima kabar bahwa lamaran kerjanya ditolak lagi—untuk kesekian puluh kalinya. Semua penolakan itu berujung pada satu nama: Finn Joshua Noman Tyaga.
Pintu kantor Joshua terbuka lebar. Tanpa mengetuk, Ivy menerobos masuk, membuat beberapa karyawan yang berada di sekitar ruang kerja itu terperangah. Joshua yang sedang duduk di meja kerjanya, tampak tenang, nyaris tidak terkejut melihat Ivy datang dengan amarah yang meluap. "Joshua!" Ivy berseru keras, suaranya menggema di ruangan yang luas. "Setelah kamu selingkuhin aku dan punya anak dari orang lain kamu tutup semua akses aku buat gak bisa kerja di manapun?" Joshua menatap Ivy dengan tatapan meremehkan. Dia tersenyum. Senyum yang dulu Ivy elu-elu kan, sekarang ia bahkan tidak sudi hanya untuk melihatnya. "Bukannya aku udah peringatin kamu? Kamu gak bisa lepas dari aku sayang." Ia berdiri dari duduknya, melangkah mendekati Ivy. "Gak waras!" Ivy membalas cepat. "Belum puas kamu hancurin karir aku, hah? Kamu itu egois, Jo. Kamu cuma mikirin hidup kamu aja tanpa memikirkan kesulitan orang lain." "Untuk apa?" Joshua melipat kedua tangannya di dada. "Seharusnya kamu juga gitu, gak usah sok peduli sama cewek murahan yang mau ngerebut aku dari kamu. Kita bisa sama-sama lagi dan posisi kamu akan balik sebagai manager keuangan di sini. Atau kalau kamu mau, aku akan naikin posisi kamu." Ivy memijat pelipisnya, menghela napas. "Jo, kamu beneran gak merasa bersalah sama sekali?" Pria itu tidak ragu menggeleng dan hal tersebut membuat Ivy tidak habis pikir. "Aku tahu semua manusia berpotensi merubah dirinya jadi lebih baik. Tapi kalau kamu aja gak merasa kamu salah dengan apa yang kamu udah lakuin gimana aku bisa nerima kamu lagi?" "Gak ada yang perlu aku rubah dan gak ada kesalahan yang perlu aku akui. Yang perlu dirubah itu pikiran runyam kamu. Apa susahnya kamu maafin aku dan kamu bisa kerja lagi di sini. Dengan begitu kamu gak akan kebingungan lagi soal uang. Aku tau sebentar lagi adik kamu wisuda dan papa kamu masih harus cuci darah tiap bulan dan itu membutuhkan uang banyak kan? Fakta itu yang perlu kamu akui, Vy. " "Kamu tau kesulitan aku tapi kenapa kamu malah menambahkannya?" tanya Ivy dengan suara tercekat. Joshua meraih pergelangan tangan Ivy. "Maka dari itu, kamu kembali sama aku. Kita mulai dari awal." "Anak kamu yang ada di kandungan Virana gimana?" Suara Ivy merendah. Keputus-asaan nampak di wajah lelahnya. "Itu hal yang gampang. Aku akan singkirkan dia." Mendegar jawaban Joshua, Ivy buru-buru menepis tangannya. "Bener-bener udah gila. Kamu udah gila, Jo!" "Aku gila karena kamu." Suara Joshua meninggi. "Ini penawaran terakhir aku, kalau kamu masih egois mau ninggalin aku, berarti kamu udah siap melihat mimpi adik kamu sirna dan melihat ayah kamu menderita dengan penyakitnya sepajang hidupnya. Karena aku jamin kamu gak akan mendapatkan kan pekerjaan di manapun." Ivy terdiam sejenak, napasnya tersengal. Dia tidak mau semua yang dikatakan Joshua menjadi nyata. Namun apakah ia harus menyiksa dirinya sendiri dengan menerima kembali Joshua? Dalam keheningan ruangan itu tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Muncul sosok pria yang yang berhasil mengusik pikiran Ivy seharian ini, Nevan merangsek masuk membawa beberapa dokumen di tanganya. Keduanya sempat berkontak mata dan Ivy orang yang pertama kali mengakhiri nya. "Ada dua investor yang membatalkan kerja samanya untuk pembangunan hotel di Bali. Mereka mendengar dari berita yang beredar jika izin untuk pembangunan belum di urus dan disepakati. Mereka berpikir jika hal tersebut akan memengaruhi reputasi perusahaan," jelas Nevan sembari diam-diam ia mengamati Ivy melalui ekor matanya. Joshua berdecak. Memeriksa lebih dulu dokumen yang Nevan bawa. "Bukannya udah di urus sama Rio?" "Dia masih bernegoisasi dengan menteri. Terakhir dia bilang masih menunggu kabar dan persetujuan dari masyarakat setempat." "Nanti saya bicara sama Rio. Pukul 10 temani saya menemui Pak Ferdi untuk mengurus ini." Nevan mengangguk. Kemudian undur diri. Ia sempat melirik Ivy namun perempuan itu seperti nya sengaja berusaha tidak peduli. Setelah Nevan pergi, atensi Joshua kembali pada sosok perempuan yang ia cintai itu. "Bagaimana kamu sudah memutuskan?" tanya Joshua. "Dari awal aku udah memutuskan, Jo. Kalau kamu pikir aku akan mengemis belas kasihan sama kamu, kamu salah. Biarpun jika takdir tidak mengizinkan adik aku mengejar mimpinya lagi, atau aku kesulitan buat membiayai papa berobat, tapi aku yakin, mereka juga akan sedih kalau aku hidup dengan orang yang tidak pernah menghargai ketulusan aku. " Perlahan-lahan amarah Ivy berubah menjadi tekad. "Kamu terlalu naif, Vy." Pria itu tersenyum sarkas. "Kamu butuh uang buat keluarga beban kamu itu." Mengangguk pelan, seolah puas dengan keputusan dirinya sendiri Ivy membalas, "Kalau kamu mikir aku kaya gitu aku terima. Aku cuma mau bilang, hiduplah dengan baik, Jo. Hargain orang-orang yang udah mencintai kamu dengan tulus. Aku pamit." Ivy berbalik tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan ruangan Joshua dengan kepala tegak. Di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang mengukungnya diam-diam. Ia tahu setelah ini hidupnya pasti tidak akan mudah. Tapi ia tidak boleh mengalah sebelum berperang. Bukankah Tuhan maha adil? Ia menekan tombol di samping lift, tidak butuh waktu lama pintu lift terbuka menampakan sosok pria yang ia hindari tadi. Ia hendak menutup lift itu kembali namun tangan Nevan lebih cepat menarik tangannya, menyeret dirinya masuk. "Urusan kita belum selesai, Ivy," kata Nevan datar. "Kita gak ada urusan lagi!" balas Ivy galak. "Saya kan sudah meminta maaf tadi pagi. Pak Nevan mau apalagi?" "Meminta maaf saja tidak cukup. Kamu benar-benar lupa semalam kamu apain saya?" Ivy melotot, harga diri terasa dilucuti. "Sembarangan Bapak ini kalau ngomong!" Image berwibawa yang selalu Nevan perlihatkan selama ini padanya sebagai sekretaris Joshua merosot dalam hitungan detik. Pria ini tidak jauh berbeda dengan Joshua. Bisanya hanya menyalahkan dan menyudutkan. "Saya tidak bicara sembarangan, saya berbicara apa adanya," ucap Nevan masih menjaga ketenangannya. "Minggu depan saya akan meminta izin untuk menikahi kamu kepada papa kamu," imbuh Nevan. "Pak Nevan gila?! Kita bahkan belum pernah berinteraksi secara intens." Maksud Ivy, mengobrol saja mereka hampir tidak pernah. Dan apakah Nevan tidak takut jika Joshua mengetahui ini? "Mau seintens apa lagi? Saya sudah mengetahui luar dalam tentang kamu." Nevan melirik dada Ivy yang praktis membuat perempuan itu tutupi dengan kedua tangannya. "Kayaknya pak Nevan udah bener-bener gila." Ivy mencemooh. Mengumpati Nevan dengan suara berbisik. "Iya, gila karena kamu." Hening, tidak ada yang berbicara setelahnya. Ivy yang terlalu canggung dan entah mengapa kini detak jantungnya lebih bekerja lebih cepat. Juga Nevan yang tiba-tiba tidak tahu harus berbicara apa. "Saya—" Keduanya bersuara berbarengan. Lagi, pandangan mereka saling bersikobok untuk kemudian saling melemparkannya. "Kamu dulu," kata Nevan. "Saya... Saya," ucap Ivy gagu. "Memang benar saya melakukan itu, Pak? Maksud saya, saya yang ngapa-ngapain Bapak?" Melihat raut wajah Ivy yang takut-takut, Nevan dibuat gemas melihatnya. Mengapa ia baru menyadari jika perempuan di sampingnya ini begitu menggemaskan? Diam-diam pria itu menyunggingkan kedua sudut bibirnya. "Memang tampang saya seperti pria-pria hidung belang?" Ivy meringis. "Enggak si, tapi masa saya? Bapak punya bukti gak kalau saya yang ngapa-ngapain Bapak duluan?" Secara tiba-tiba Nevan menarik pinggang ramping Ivy, mendaratkan bibir pinknya ke bibir Ivy, Perempuan itu tentu saja terkejut, namun melihat wajah Nevan dengan jarak sedekat ini membuatnya melupakan cara bagaimana dia melarikan diri dari kehanyutan yang memabukkan ini. Ivy ingin sekali mendorong tubuh pria kurang ajar yang dengan berani mendekapnya sekarang lalu menyumpah serapinya dengan berbagai nama binatang. Sayang, ia malah menerima sentuhan lembut bibir Nevan. "Seperti ini, seperti ini kamu merayu saya," bisik Nevan. Ciumannya semakin mendalam. Satu tangan Nevan yang terbebas menekan tombol lantai 20 mana kala lift itu terbuka di lantai dasar. Pria itu tidak mau momen ini berakhir dengan singkat. Beberapa menit kemudian, momen indah itu harus terhentikan karena terbukanya pintu lift untuk ke dua kalinya. Namun kali ini, momen panas itu benar-benar terhenti, Joshua sudah berdiri dengan rahang mengeras. Matanya tertuju pada Ivy dan Nevan yang belum melepaskan ciumannya. Buru-buru Ivy melepaskan diri dari Nevan. Terkejut dengan keberadaan Joshua. Dengan emosi yang melonjak, tanpa pikir panjang Joshua menyeret tubuh Nevan keluar dari lift. Mendorong nya hingga punggung Nevan terbentur tembok. "Joshua stop!" teriak Ivy saat Nevan merelakan wajahnya berkali-kali mendapatkan bogeman dari Joshua.Unmesh berdiri dari duduknya, di kursi lain Joshua ikut terkejut. “Ada apaan si? lo di telepon polisi?”Unmesh langsung menatap Joshua sinis. “Mata lo empat biji. Ini Manda bawa berita bagus,” ucapnya.“Oh, yaudah duduk. Ngapain pakai berdiri segala?”Jika dipikir-pikir benar juga. Tapi Unmesh hanya reflek mendengar suara antusias Manda. Ia jadi tidak sabar mendengar kabar baik yang dimaksud Manda. Sebab ini menyangkut karir masa depannya.Unmesh duduk kembali. “Gimana, Man?”“Kayanya mereka beberan berantem gede, deh. Soalnya tadi pagi mereka berangkat pakai mobil yang beda. Terus barusan Nevan pulang sendiri, padahal Ivy masih di kantor. Dan lo tahu, mereka bahkan gak bertegur sapa. Nevan malah kaya mau nawarin pulang bareng sama gue. Tapi gak jadi karena ada Ivy yang baru aja turun.”“Terus?” Unmesh makin penasaran.Dari kursi seberang Joshua cengo, obrolan mereka tidak terdengar. Bibirnya bergerak-gerak meminta Unmesh membesarkan volume ponselnya. Padahal dalam cerita mereka diala
“Lo pantau gimana keadaan hubungan Nevan sama Ivy. Jangan lupa lapor gue.”Manda mengangguk mendengar arahan dari Unmesh melalui sambungan teleponnya. Sekarang ia sudah berada di depan kantornya. Berdiri di depan jendela lobi siapa tahu Nevan akan segera datang. Sebab biasanya bosnya itu datang yang segini.“Iya, gue bakal pantau terus. Tapi gue yakin mereka bakal berantem. Nanti gue bantuin panas-panasin deh,” usul Manda. Kalau soal mengobrak-ngabrik hubungan orang Manda sepertinya memiliki bakat. Yang seharusnya dia pendam saja.“Kenapa emang? Ada sesuatu terjadi antara lo sama Nevan pas perjalanan dinas kemarin? Atau?”Manda berdecak. Matanya sedikit menyipit mana kala cahaya matahari menyerang wajahnya. Ia lalu berpindah ke tempat yang lebih teduh. “Ya kali. Lo tahu Nevan bukan tipe cowok yang gampang ke goda. Pokoknya ada lah, lo gak usah kepo dulu. Kalau berhasil nanti gue ceritain.”“Oke lah. Jangan lupa pantau terus.”“Iya.” Awalnya Manda masih ingin melanjutkan obroalannya de
“Lo yakin ini bakal berhasil?”Joshua mengangguk dengan wajah jemawa. Ia menyesap kopinya sembari tersenyum asimetris. “Yaiyalah, gue udah bersikap senatural mungkin. Bahkan gue cuma bisa senyumin Ivy doang di saat gue mau peluk dia seerat-eratnya. Dia pasti gak bakal curiga.”“Halah taik kucing! Bucin tolol!” Cemooh Unmesh. “Ya mungkin Ivy gak ngeh, tapi apa Nevan bakal percaya? Lo juga tahu sendiri gimana karakter Nevan. Dia gak akan sembarangan marah sebelum dia menyelidiki kebenarannya,” tambahnya.Joshua berdecak. “Gue lebih pinter dari lo. Gue bukan mau bikin Nevan percaya, tapi cukup emosi dia sedikit tersulut. Lo gak akan ngerti. Emosi karena memang lagi marah, sama emosi karena cemburu. Orang cemburu itu kadang otaknya gak bisa dikontrol karena menyangkut perasaan.”“Maksudnya?” Unmesh mengernyit.“Gue juga kata apa?” Joshua melirik Unmesh remeh. “Kita cuma cukup bikin dasar masalahnya. Biar mereka sendiri yang bakar. Nevan gue yakin gak akan langsung percaya. Tapi dia akan
Di hari libur seperti ini Ivy merasa kesepian. Terlebih Nevan tidak ada di rumah. Maka daripada ia hanya merebahkan diri di depan televisi ia berencana untuk lari pagi mengelilingi taman. Ia juga merindukan lontong kari favorit Nevan. Pagi ini ia akan datang lebih pagi agar ia tidak kehabisan. Ia juga mau pamer kepada Nevan nanti agar suaminya itu cepat pulang.Seperti biasa taman komplek akan terlihat padat jika di hari libur seperti ini. Ada yang hanya mengajak anak mereka main, mengajak pasangannya lari, ada juga yang hanya duduk menanti mentari meninggi. Ivy sudah dua kali mengelilingi taman, lumayan juga tubuhnya sudah berkeringat. Perutnya juga ikut bergemuruh.Ia duduk sebentar di kursi semen untuk meneguk air mineral sebelum ia menuju warung lontong kari.Ia mengambil foto dirinya yang sedang banjir keringat kepada Nevan. Namun tumben sekali suaminya itu tidak cepat merespon seperti biasanya. Semalam sewaktu menelepon juga Nevan nampak lebih dingin. Ia menjawab dengan seadanya
Pukul empat sore Ivy baru saja pulang dari kantor. Karena tidak ada rencana apapun dan Nevan masih tiga hari lagi di Bali, Ivy memutuskan untuk pulang naik kendaraan umum. Ia berjalan di trotoar setelah turun dari bus. Menikmati embusan angin sore yang lumayan melegakan. Itung-itung ia bernostalgia.Ia melihat kafe yang dulu sering ia singgahi. Lalu ia masuk ke dalam memesan kopi. Setelah kopinya datang, gerimis membasahi jalanan. Jendela di kafe itu juga terlihat berembun. Ivy jadi tidak menyesal karena mampir dulu ke kafe ini dulu. Ivy menikmati kopinya sembari membalas pesan Nevan yang belum ia balas. Ia juga memotret kopi yang tinggal setengah miliknya itu untuk mengabari suaminya jika ia belum sampai rumah.Saat sedang sibuk mengetik, seseorang duduk di menghadapnya. Praktis Ivy mengangkat wajahnya. Meski raut wajahnya nampak biasa saja, Ivy tidak bisa berbohong jika ia sangat terkejut dengan kehadiran pria yang kini sedang tersenyum kepadanya itu.“Bagaimana kabar nya Ivy? Aku d
“Oh, oke.” Ivy kembali melanjutkan makan lontongnya. Meski jauh di lubuk hatinya ia tidak rela. “Berapa hari?”“Satu minggu. Aku takut kamu marah. Ternyata apa yang aku takutin gak terjadi. Aku sedikit lega,” ucap Nevan dibarengi senyum.“Ngapain marah? Kamu kan kerja. Kecuali....”“Gak akan,” potong Nevan. “Aku bakalan jaga jarak sama dia.” Nevan meraih tangan Ivy untuk meyakinkan. “Tunggu sebentar lagi ya, aku masih cari-cari sekretaris buat gantiin Manda.”Nevan bukan tidak merasa jika suasana Ivy mendadak lebih dingin. Tapi mau bagaimana lagi, ini untuk masa depan perusahaannya.“Iya, aku paham kok. Kamu fokus saja sama kerjaan kamu,” ucap Ivy.“Atau kamu ikut saja, yu? aku juga khawatir ninggalin kamu sendirian di rumah,” pinta Nevan.“Aku harus urus adekku, belum ngurusin acara kepergian papa. Kamu tenang saja, nanti ada Qaiz kok yang jagain aku.”“Beneran kamu aman?” tanya Nevan sekali lagi.Ivy mengangguk. “Aman, nanti kan kita bisa telpon. Sekarang sudah canggih, kamu bisa ta







