"Joshua stop!" Ivy berteriak berusaha merelai. Namun ia berakhir tersungkur terkena pukulan Joshua. Nevan yang melihat sempat ingin menolong, tapi tubuhnya tidak sanggup untuk bangkit. Semua tulangnya terasa patah. Pukulan Joshua benar-benar tidak main-main.
Lorong lantai 20 benar-benar sepi. Ivy sudah bercucuran air mata, kalut melihat wajah Nevan yang sudah berdarah-darah. Ia menelepon resepsionis dan meminta agar resepsionis itu mengirim beberapa satpam setelah memberitahu jika Joshua sedang berkelahi dengan Nevan. "Jo! Stop. Joshua cukup!" Ivy kembali berteriak. Pria itu benar-benar seperti kesetanan. Sementara Nevan, entah mengapa dia tidak melawan sama sekali. Beberapa saat kemudian, tiga satpam dan orang kepercayaan keluarga Joshua datang terpogoh-pohoh. Nevan dan Joshua akhirnya bisa dipisahkan. "Kenapa kalian bertengkar, hah?!" Orang kepercayaan Joshua bertanya tegas. Joshua terengah-engah, mata tajamnya masih menatap bengis Nevan yang terkulai di lantai. Amarahnya semakin membara, mana kala Ivy memilih menolong Nevan alih-alih dirinya. "Manusia berengsek!" geramnya. "Kita bicarakan dengan kepala dingin. Kalian ikut saya." Orang kepercayaan Joshua berjalan mendahui setelah menyuruh tiga satpam itu membawa Joshua dan Nevan. Ivy hanya bisa tercenung, menatap kepergian mereka sebab kehadirannya memang tidak diperlukan. Akhirnya tumitnya berputar menuju lift, ia menekan tombol lantai dasar seperti yang dilakukannya tadi. Namun kali ini ia benar-benar akan pulang. **** Tempat tujuannya hanya di ruangan yang di dominasi warna putih ini. Bau obat dan berisiknya tetesan infus sang papa sudah menjadi teman akrab Ivy. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran nya sejenak. Di liriknya sang papa yang tengah tertidur pulas dan tenang. Wajah babak belur Nevan sekelebat memenuhi ruang kepalanya. Ia menggeleng cepat, seharusnya ia tidak peduli dengan lelaki itu. Ini bukan urusannya. Ivy berdiri, melangkah menuju kamar mandi. Di dalam ruangan itu, begitu pintu tertutup, dia menyandarkan punggungnya ke tembok, merasakan dinginnya tembok menembus baju. Kamar mandi kecil itu menjadi tempat perlindungan sementara dari kegelisahan yang menyelimuti pikirannya. Saat air shower mulai mengalir, gemericik air membawa Ivy pada ingatan buruk yang mendadak menyesakkan dadanya. Joshua, pria berengsek yang kabarnya tadi berkelahi dengan Nevan telah berhasil merusak kehidupan yang sudah ia tata dengan rapi. Ivy dipecat dari pekerjaannya karena enggan menerima Joshua kembali setelah dirinya mengungkap kebejatan yang berkali-kali mantan kekasih nya itu lakukan. Ivy masih bisa memaafkan kan jika Joshua hanya bermain-main dengan perempuan lain, tapi kali ini pria itu menghamili seorang mahasiswi dan kehamilannya sudah menginjak 22 minggu. Perempuan itu menangis dihadapan Ivy meminta pertolongan untuk pertanggungjawaban Joshua. Ivy yang tadinya merasa marah pun berganti dengan rasa kasihan. Lantas mengakhiri hubungan dengan Joshua adalah jalan satu-satunya. "Joshua yang salah kenapa gue yang dipecat? Mentang-mentang anak pemilik perusahaan mecat orang seenaknya! Gue masuk perusahaan itu dengan usaha gue sendiri," berangnya. Dengan mata tertutup, Ivy mencoba mengusir bayangan-bayangan itu, tapi ingatan tersebut terlalu kuat. Dia melihat dirinya yang lebih muda, bersembunyi di sudut ruangan, menahan napas, berharap semua itu hanyalah mimpi buruk. Tapi suara keras dan bayangan gelap di balik pintu menghantam kenyataannya dengan kejam. "Berengsek! Joshua Berengsek!" Ivy berteriak tertahan. Air hangat yang mengalir di tubuhnya sekarang tidak mampu menghapus dingin yang menggigit hatinya saat itu. Ivy menggigil, meskipun suhu air sudah diatur setinggi mungkin. Ingatan itu, meskipun hanya sekejap, meninggalkan bekas yang mendalam, membuatnya kembali merasa terperangkap dalam rasa takut yang sama. "Kuliah Tarunika gimana? Pengobatan papa gimana? Dengan tarikan napas panjang, Ivy berusaha kembali ke dalam kesadadannya. Papa dan adiknya membutuhkannya. Ivy tidak bisa membiarkan Joshua melihat kehancurannya, ia harus membuktikan bahwa tanpa pria itu Ivy bisa hidup lebih baik dan sukses. Setelah beberapa menit, Ivy mematikan air, mengusap wajahnya, dan bersiap untuk kembali ke ruang inap papanya, membawa tekad baru untuk menghadapi ketakutannya. Ivy keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan pakaian santai. Namun jantungnya lagi-lagi dibuat bekerja lebih berat hari ini. Pria yang tadi dipukuli Joshua sudah duduk manis mengobrol dengan papanya. Nampak sangat akrab seperti sudah saling mengenal. "Ngapain Pak Nevan ada di sini?" tanya Ivy. Dua pria berbeda usia itu menoleh bersamaan. Nevan tersenyum diantara luka robek bibirnya. "Ketemu kamu ngapain lagi? Sekalian jengukin papa," ujarnya yang langsung mendapatkan anggukan dari Galih. "Oh, kamu bicara mau pindah itu maksudnya ke rumah Nak Nevan, Nak? Kenapa kamu gak cerita kalau dalam waktu dekat ini kalian akan menikah?" "Hah?" Ivy melongo, matanya bergulir menatap Nevan meminta penjelasan. "Loh, saya kan sudah bilang sama kamu mau ketemu papa kamu untuk meminta restu," jelas Nevan santai. Di wajahnya tidak sedikitpun memperlihatkan segurat keraguan, bahkan setelah ia dihajar habis-habisan oleh Joshua tadi. "Pak Nevan bilang minggu depan?" cicit Ivy. Ia tidak memiliki dalih untuk menolak jika tahu-tahu pria ini sudah duduk mengobrol panjang lebar dengan papanya. Jika tahu begini, Ivy tadi tidak berlama-lama di kamar mandi. Ia bisa lebih dulu menyeret Nevan ke luar sebelum papanya menjadi korban keahliannya dalam memperdaya seseorang. Pikir saja, jika Nevan tidak memiliki kemampuan itu, ia tidak bisa bertahan lama bekerja dengan Joshua. "Saya pikir itu terlalu lama. Jadi saya datang sekarang," Nevan balas berbisik. "Papa seneng kalau nak Nevan bisa jagain kamu dan gantiin posisi Joshua di hati kamu. Papa gak tau kalau Joshua udah lama putus sama kamu, Nak. Papa cuma bisa dukung kamu dan doa kan kalian supaya selalu hidup bahagia," ucap Galih seraya menepuk pelan punggung Nevan. "Terima kasih, Pa," Nevan menimpali. "Sebenernya papa sedikit kecewa alasan kalian menikah. Tapi mau dikata apa, nasi sudah menjadi bubur. Papa harap Nak Nevan bisa menjaga Ivy dengan baik. Papa juga ngerti sebab papa pernah muda. Tapi dengan kejujuran Nak Nevan kemari saja, sudah membuat papa sedikit tenang. Papa pikir mungkin pernikahan kalian akan jauh lebih baik jika segera diselenggarakan." Mendengar penuturan sang papa, semua organ dalam perut Ivy mendadak terasa merosot. "Pak Nevan ceritain kejadian semalam sama papa saya? Semuanya?""Da, jam 10 tolong siapin ruang meeting. Sama tolong ingetin Unmesh, check lagi materi yang mau di presentasiin nya. Dia suka lupa."Manda yang baru saja meletakkan segelas teh di meja Nevan mengernyit. "Loh bukannya nanti jam dua? Belum ada konfirmasi dari Mba Sila ke saya," tanya Manda heran. "Pak Santoso jam dua sudah harus ke luar kota. Jadi meeting nya di majuin. Beliau sendiri yang konfirmasi ke saya."Manda mengangguk. "Baik, Pak." Ia mengangguk. "Eh tapi, Pak—"Nevan mengalihkan perhatiannya ke Manda yang nampak ragu, ingin mengatakan sesuatu. "Kenapa?""Pak Nevan baik-baik aja kan?"Pria itu menunjuk dirinya sendiri. "Saya?""Iya.""Saya gak kenapa-kenapa. Memang kenapa?" Yang ditanya lebih keheranan mendapat pertanyaan seperti itu. Manda menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Kata Unmesh Pak Nevan jarang cuti. Jadi saya khawatir takut Pak Nevan sakit.""Oh." Nevan mengangguk paham, melanjutkan, "saya sudah bilang kan, saya ada urusan."Karena sepertinya Nevan tidak membahas
"Jo? Are you oke?" Ivy seharusnya marah saat Joshua tiba-tiba memeluknya tanpa permisi. Tapi mendengar lelaki itu terisak Ivy tidak tega. Setidaknya hanya sebuah pelukan mungkin yang bisa memenangkan Joshua. "Aku kangen banget sama kamu. Kangen banget." Joshua semakin mengeratkan pelukannya. Ia merindukan kekasihnya, ah maksudnya mantan kekasih yang sudah lama tidak ia jumpai. Entah, mungkin alam semesta sudah tidak merestui, ia tidak pernah bertemu dengan Ivy dikesempatan mana pun. Maka saat ia melihat Ivy dari kejauhan. Ia buru-buru menghampiri perempuan itu. Beruntung ini bukan hanya halusinasi dan sekarang ia bisa mendekapnya. "Jo? Kamu gak apa-apa?" Ivy kembali memastikan. Tangisan Joshua terdengar menyakitkan. Joshua melepaskan pelukannya. Wajahnya bersimbah air mata. Ia menatap keruh Ivy. "Aku gak pernah baik-baik aja setelah kamu pergi, Ivy. Aku gak pernah baik-baik aja." Ia menyelipkan rambut Ivy kebelakang telinga. Tidak mengijinkan sehelai rambut pun menutupi wajah yang
"Mau kemana?"Ivy sudah dihadang saat ia baru saja akan bangun dari tempat tidur. Lelaki yang masih mengenakan piyama biru itu membawa nampan berisi dua lapis roti dan susu hangat. "Sarapan dulu. Nanti siangan kita cari makan di luar."Ivy malah mengerutkan dahi. Menengok jam dinding lalu beralih menatap Nevan. "Pak Nevan gak kerja? Ini udah jam delapan. Saya telat!"Lagi, Nevan tidak membiarkan Ivy beranjak dari tempat tidurnya saat Ivy sudah berdiri dan hendak pergi. Nevan mendudukan Ivy dan menyuapkan satu potong roti ke dalam mulut Ivy. "Hari ini saya cuti. Dan kamu izin sakit. Saya sudah urus. Kamu habiskan saja sarapannya. Jangan ngeyel," peringat Nevan. "Tapi kan saya baru beberapa hari kerja. Karyawan lain pasti curiga kalau jsaya ada apa-apa sama Pak Nevan.""Ya memang ada apa-apa?""Pak Nevan!""Kenapa?" ucap Nevan lempeng. Ia sibuk membuka satu persatu kemasan obat untuk Ivy. "Tau, ah!"Nevan mengulum senyum kemudian menyerahkan beberapa butir obat kepada Ivy. "Minum d
Pintu ruangan Ivy diketuk tiga kali. Tapi si penghuni enggan untuk membuka, bahkan barang hanya menyahuti panggilan si pengetuk. Karena Ivy tidak kunjung membuka pintu, Nevan memberanikan diri untuk masuk setelah mengucapkan permisi. Hanya untuk memastikan jika mungkin Ivy sedang tidak ada di ruangannya. Rupanya perempuan itu ada, sibuk menatap intens layar komputer. Mungkin tidak terdengar, pikir Nevan. Lelaki itu lantas masuk dengan dua paperbag yang ia tenteng. Juga duga gelas kopi brand terkenal yang ia apit diantara tangan kiri dan dadanya. "Makan dulu Ivy, kamu belum makan kan?" Nevan mempersiapkan hidangannya untuk Ivy di atas meja. Pun untuk dirinya.Saat hendak menyuapkan makanannya, mata Nevan bertumbuk pada Ivy yang nampak acuh tak acuh dengan kehadirannya. Nevan menyimpan lagi sendoknya. "Ivy kamu gak denger saya?"Nevan baru menyadari ada yang tidak beres. "Ivy?" Sekali lagi ia memanggil. Nevan juga memastikan jika Ivy tidak sedang memakai penyumpal telinga atau sejenis
Pukul setengah satu dini hari Ivy dan Nevan baru berbaring di ranjang kamar Nevan sebab tadi saat Ivy hendak masuk ke dalam kamarnya seekor kecoa terbang hampir mendarat di kepala perempuan itu jika satu detik saja Ivy telat menghindar, walaupun ia berakhir menindih tubuh Nevan. Kini keduanya kalut dengan rasa canggung. Berbaring dengan posisi ujung sama ujung dibatasi sebuah guling ditengah-tengah yang menjadi pembatas wilayah antara keduanya. Sungguh di luar prediksi, mereka akhirnya kembali tidur dalam kamar dan ranjang yang sama setelah kejadian itu. "Besok saya bersihkan biar tidak ada kecoa lagi." Suara Nevan mengudara memecahkan keheningan. Dalam diam Ivy berpikir keras harus merespon apa. Ia masih malu dengan kejadian tadi saat tiba-tiba ia menindih Nevan. Sungguh memalukan. "Kamu sudah tidur?" Nevan menoleh hanya untuk menemukan Ivy yang tengah melamun memandangi langit-langit dengan pandangan gamang. "Saya tidak bisa tidur.""Kamu tidak nyaman tidur di kamar saya?"Ivy
Hampir pukul 10 malam Ivy baru keluar dari ruangannya. Tidak ada yang ia lakukan, hanya bolak balik memeriksa catatan keuangan tahun lalu yang ia minta ke Bu Fifi. Ia hanya sengaja mengulur waktu agar nanti sampainya di rumah Ivy tidak usah repot-repot menghadapai Nevan. Sebelum turun, Ivy melongok di balik tembok memastikan jika Nevan sudah meninggalkan kantor. "Dah balik kayaknya." Berjalan santai sambil meregangkan otot punggungnya yang lumayan pegal menuju lift. Lift turun ke lantai dasar menuju baseman. Perempuan itu celingukan mencari mobil yang ia pinjam dari sahabatnya. "Perasaan di sini," gumamnya. Tak sengaja ia menyenggol mobil lain saat hendak mengambil kunci yang ia jatuhkan. Mobil itu mengeluarkan suara yang mengagetkan nya. "Sumpah jantung gue mau copot!" Si pemilik mobil keluar dengan muka bantalnya. Yang membuat Ivy kembali terkejut untuk kedua kalinya. "Kok lama?" tanyanya dengan mata setengah tertutup. "Pak Nevan ngapain?" "Nunggu kamu." "Hah?"