Share

3. Lamaran Dadakan

Penulis: Laradin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-07 10:42:06

"Joshua stop!" Ivy berteriak berusaha merelai. Namun ia berakhir tersungkur terkena pukulan Joshua. Nevan yang melihat sempat ingin menolong, tapi tubuhnya tidak sanggup untuk bangkit. Semua tulangnya terasa patah. Pukulan Joshua benar-benar tidak main-main.

Lorong lantai 20 benar-benar sepi. Ivy sudah bercucuran air mata, kalut melihat wajah Nevan yang sudah berdarah-darah. Ia menelepon resepsionis dan meminta agar resepsionis itu mengirim beberapa satpam setelah memberitahu jika Joshua sedang berkelahi dengan Nevan.

"Jo! Stop. Joshua cukup!" Ivy kembali berteriak. Pria itu benar-benar seperti kesetanan. Sementara Nevan, entah mengapa dia tidak melawan sama sekali.

Beberapa saat kemudian, tiga satpam dan orang kepercayaan keluarga Joshua datang terpogoh-pohoh. Nevan dan Joshua akhirnya bisa dipisahkan.

"Kenapa kalian bertengkar, hah?!" Orang kepercayaan Joshua bertanya tegas.

Joshua terengah-engah, mata tajamnya masih menatap bengis Nevan yang terkulai di lantai. Amarahnya semakin membara, mana kala Ivy memilih menolong Nevan alih-alih dirinya. "Manusia berengsek!" geramnya.

"Kita bicarakan dengan kepala dingin. Kalian ikut saya." Orang kepercayaan Joshua berjalan mendahui setelah menyuruh tiga satpam itu membawa Joshua dan Nevan.

Ivy hanya bisa tercenung, menatap kepergian mereka sebab kehadirannya memang tidak diperlukan. Akhirnya tumitnya berputar menuju lift, ia menekan tombol lantai dasar seperti yang dilakukannya tadi. Namun kali ini ia benar-benar akan pulang.

****

Tempat tujuannya hanya di ruangan yang di dominasi warna putih ini. Bau obat dan berisiknya tetesan infus sang papa sudah menjadi teman akrab Ivy. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran nya sejenak. Di liriknya sang papa yang tengah tertidur pulas dan tenang.

Wajah babak belur Nevan sekelebat memenuhi ruang kepalanya. Ia menggeleng cepat, seharusnya ia tidak peduli dengan lelaki itu. Ini bukan urusannya.

Ivy berdiri, melangkah menuju kamar mandi. Di dalam ruangan itu, begitu pintu tertutup, dia menyandarkan punggungnya ke tembok, merasakan dinginnya tembok menembus baju. Kamar mandi kecil itu menjadi tempat perlindungan sementara dari kegelisahan yang menyelimuti pikirannya.

Saat air shower mulai mengalir, gemericik air membawa Ivy pada ingatan buruk yang mendadak menyesakkan dadanya. Joshua, pria berengsek yang kabarnya tadi berkelahi dengan Nevan telah berhasil merusak kehidupan yang sudah ia tata dengan rapi. Ivy dipecat dari pekerjaannya karena enggan menerima Joshua kembali setelah dirinya mengungkap kebejatan yang berkali-kali mantan kekasih nya itu lakukan.

Ivy masih bisa memaafkan kan jika Joshua hanya bermain-main dengan perempuan lain, tapi kali ini pria itu menghamili seorang mahasiswi dan kehamilannya sudah menginjak 22 minggu. Perempuan itu menangis dihadapan Ivy meminta pertolongan untuk pertanggungjawaban Joshua. Ivy yang tadinya merasa marah pun berganti dengan rasa kasihan. Lantas mengakhiri hubungan dengan Joshua adalah jalan satu-satunya.

"Joshua yang salah kenapa gue yang dipecat? Mentang-mentang anak pemilik perusahaan mecat orang seenaknya! Gue masuk perusahaan itu dengan usaha gue sendiri," berangnya.

Dengan mata tertutup, Ivy mencoba mengusir bayangan-bayangan itu, tapi ingatan tersebut terlalu kuat. Dia melihat dirinya yang lebih muda, bersembunyi di sudut ruangan, menahan napas, berharap semua itu hanyalah mimpi buruk. Tapi suara keras dan bayangan gelap di balik pintu menghantam kenyataannya dengan kejam. "Berengsek! Joshua Berengsek!" Ivy berteriak tertahan.

Air hangat yang mengalir di tubuhnya sekarang tidak mampu menghapus dingin yang menggigit hatinya saat itu. Ivy menggigil, meskipun suhu air sudah diatur setinggi mungkin. Ingatan itu, meskipun hanya sekejap, meninggalkan bekas yang mendalam, membuatnya kembali merasa terperangkap dalam rasa takut yang sama. "Kuliah Tarunika gimana? Pengobatan papa gimana?

Dengan tarikan napas panjang, Ivy berusaha kembali ke dalam kesadadannya. Papa dan adiknya membutuhkannya. Ivy tidak bisa membiarkan Joshua melihat kehancurannya, ia harus membuktikan bahwa tanpa pria itu Ivy bisa hidup lebih baik dan sukses. Setelah beberapa menit, Ivy mematikan air, mengusap wajahnya, dan bersiap untuk kembali ke ruang inap papanya, membawa tekad baru untuk menghadapi ketakutannya.

Ivy keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan pakaian santai. Namun jantungnya lagi-lagi dibuat bekerja lebih berat hari ini. Pria yang tadi dipukuli Joshua sudah duduk manis mengobrol dengan papanya. Nampak sangat akrab seperti sudah saling mengenal.

"Ngapain Pak Nevan ada di sini?" tanya Ivy.

Dua pria berbeda usia itu menoleh bersamaan. Nevan tersenyum diantara luka robek bibirnya.

"Ketemu kamu ngapain lagi? Sekalian jengukin papa," ujarnya yang langsung mendapatkan anggukan dari Galih.

"Oh, kamu bicara mau pindah itu maksudnya ke rumah Nak Nevan, Nak? Kenapa kamu gak cerita kalau dalam waktu dekat ini kalian akan menikah?"

"Hah?" Ivy melongo, matanya bergulir menatap Nevan meminta penjelasan.

"Loh, saya kan sudah bilang sama kamu mau ketemu papa kamu untuk meminta restu," jelas Nevan santai. Di wajahnya tidak sedikitpun memperlihatkan segurat keraguan, bahkan setelah ia dihajar habis-habisan oleh Joshua tadi.

"Pak Nevan bilang minggu depan?" cicit Ivy. Ia tidak memiliki dalih untuk menolak jika tahu-tahu pria ini sudah duduk mengobrol panjang lebar dengan papanya. Jika tahu begini, Ivy tadi tidak berlama-lama di kamar mandi. Ia bisa lebih dulu menyeret Nevan ke luar sebelum papanya menjadi korban keahliannya dalam memperdaya seseorang.

Pikir saja, jika Nevan tidak memiliki kemampuan itu, ia tidak bisa bertahan lama bekerja dengan Joshua.

"Saya pikir itu terlalu lama. Jadi saya datang sekarang," Nevan balas berbisik.

"Papa seneng kalau nak Nevan bisa jagain kamu dan gantiin posisi Joshua di hati kamu. Papa gak tau kalau Joshua udah lama putus sama kamu, Nak. Papa cuma bisa dukung kamu dan doa kan kalian supaya selalu hidup bahagia," ucap Galih seraya menepuk pelan punggung Nevan.

"Terima kasih, Pa," Nevan menimpali.

"Sebenernya papa sedikit kecewa alasan kalian menikah. Tapi mau dikata apa, nasi sudah menjadi bubur. Papa harap Nak Nevan bisa menjaga Ivy dengan baik. Papa juga ngerti sebab papa pernah muda. Tapi dengan kejujuran Nak Nevan kemari saja, sudah membuat papa sedikit tenang. Papa pikir mungkin pernikahan kalian akan jauh lebih baik jika segera diselenggarakan."

Mendengar penuturan sang papa, semua organ dalam perut Ivy mendadak terasa merosot. "Pak Nevan ceritain kejadian semalam sama papa saya? Semuanya?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak Dinikahi Mas Nevan   56. Gak sejalan

    Langit sore itu memudar perlahan, seakan ikut kehilangan cahaya setelah satu jiwa berpulang. Awan menggantung berat di atas pemakaman, dan gerimis turun seperti air mata langit—pelan, tapi terus-menerus. Di antara payung-payung hitam yang berderet rapat, suara doa dan isak tangis berpadu menjadi satu, membentuk suasana yang nyaris tak tertahankan.Ivy dan adiknya tidak menangis. Hanya saja ia merasa sebagian langitnya runtuh. Ivy dirangkul Nevan sementara adik Ivy berada di satu payung bersama dengan Qaiz menyaksikan prosesi pemakaman papanya. Pemakaman dihadiri juga teman-teman papanya Ivy. Juga tetangga rumah dan dan teman-teman dekat adiknya Ivy.Di ujung liang lahat, Ivy berdiri kaku, tubuhnya gemetar meski jaket tebal membungkusnya. Tangannya menggenggam seikat bunga lili putih—bunga yang papanya tanam dihalaman rumah—yang kini tampak kusam oleh hujan. Matanya merah, tapi tak lagi mampu mengeluarkan air mata. Semua sudah kering, seperti jiwanya yang kosong.Ketika jasad papa Ivy

  • Mendadak Dinikahi Mas Nevan   55. Selamat jalan

    Ruangan yang dipenuhi cahaya putih dingin terasa lebih menyeramkan dibandingkan dengan kamar mayat. Bau obat-obatan menusuk, bercampur dengan suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan—ritmis, tapi rapuh. Tirai tipis di sekeliling ranjang bergoyang lembut diterpa hembusan AC. Di tengahnya, seorang lelaki tua terbaring lemah, tubuhnya nyaris tertutup oleh selimut rumah sakit, wajahnya pucat dan berpeluh.Selang-selang menempel di lengan, di hidung, di dada—seolah-olah setiap helaan napasnya kini bukan lagi miliknya sendiri, tapi pemberian dari mesin-mesin di sekitarnya. Di sisi kakan dan kiri ranjang, kedua putrinya duduk dengan tangan menggenggam erat tangan papanya. Jemarinya gemetar, bibirnya terus bergetar mengucap doa yang tak terdengar. Kini doanya bukan lagi mengharapkan pria yang sangat mereka sayangi itu sembuh, melainkan agar papanya tenang setelah semua penderitaan yang mengikutinya selama ini.“Bu, waktunya sudah hampir tiba,” ucap seorang perawat dengan suara pelan, m

  • Mendadak Dinikahi Mas Nevan   54. Rumah sakit

    Ruang ICU terasa seperti dunia yang berhenti di antara hidup dan mati. Suhu dingin dari pendingin ruangan menyelimuti kulit, bercampur dengan aroma tajam antiseptik yang menusuk hidung. Lampu putih menggantung tanpa belas kasih, menyoroti wajah-wajah pucat yang tertidur dalam diam yang berat.Suara mesin monitor menjadi satu-satunya irama—seolah menandai detak waktu yang enggan berjalan. Tabung oksigen mendesis pelan, selang-selang menelusuri tubuh-tubuh rapuh di ranjang logam. Tirai-tirai tipis di antara ranjang bergoyang perlahan tiap kali perawat lewat, langkahnya cepat tapi hati-hati, membawa catatan dan harapan dalam diam.Di sudut, ada adik Ivy yang duduk dengan tangan terlipat, mata mereka tak beranjak dari angka-angka di layar monitor. Ivy menunduk, berdoa dalam bisu, sementara Qaiz sekadar memandangi wajah papanya Ivy—yang tak bergerak, namun masih di sini.Segalanya terasa hening, namun sarat dengan gema ketakutan dan harapan yang menegang di udara. Di ruang itu, bahkan napa

  • Mendadak Dinikahi Mas Nevan   53. Pecat

    Cahaya matahari sudah menembus kaca lobi kantornya, menandakan jika pagi sudah mulai berganti siang. Dugaannya salah total. Ivy tidak masuk kantor hari ini. Sembari berjalan menuju ruangannya, karena ia tidak mungkin terus menunggu Ivy sampai sore atau pekerjaannya tidak akan selesai satu pun, Nevan membawa kekecewaan yang amat besar. Otaknya terus bertanya-tanya apakah Ivy merasa permasalahannya sebesar itu sampai Ivy tidak masuk kantor? Kemungkinan besar istrinya itu tidak sudi melihatnya.Nevan baru keluar dari lift dan langsung disuguhkan dengan keberadaan Unmesh. Temannya itu sepertinya habis mengambil kopi di pantry.“Baru dateng?” tanyanya menyamai langkah Nevan.“Dari tadi, cuman gue tunggu Ivy dulu,” jawab Nevan jujur.Melihat wajah Nevan masam Unmesh dengan mudah menebak. “Lo ada masalah lagi sama dia?”“Setiap rumah tangga pasti selalu ada aja ujiannya. Dan itu sangat wajar.” Semenjak Unmesh selalu menyudutkan Ivy, Nevan sekarang jadi lebih hati-hati jika berbicara dengan

  • Mendadak Dinikahi Mas Nevan   52. ICU

    Nevan mengusap wajahnya. Ia tercenung di atas ranjang. Ia perlu menetralkan pikirannya sebelum ia menemui Ivy dan mengajak istrinya itu bicara. Setelah dirasa cukup, Nevan keluar dari kamar. Tapi Ivy tidak ada di ruang tv, Nevan bergegas menuju dapur dan tidak ada tanda tanpa keberadaan Ivy. “Kemana Ivy?” gumamnya.Kakinya melangkah ke halaman. Ia memutari rumahnya namun Ivy tidak kunjung ia temukan. Ia kembali masuk memeriksa rak sepatu. Benar saja sendal yang selalu Ivy pakai tidak ada. “Dia pergi kemana?” Ia menghela napas.Sikap Ivy yang seperti ini yang Nevan kurang sukai dari, selalu pergi saat ada masalah. Padahal mereka hanya perlu bicara dan menyampaikan apa yang tidak mereka sukai satu sama lain. Bukan menghindar membiarkan kesalahpahaman diantara mereka semakin memperumit masalah.Pria itu menghubungi Ivy beberapa kali, pesan Ivy yang tidak sempat ia buka akhirnya ia baca satu persatu. Ia merasa bersalah untuk hal ini. Nevan lantas mengirim pesan kepada Ivy berharap Ivy su

  • Mendadak Dinikahi Mas Nevan   51. Adu argumen

    Bangun tidur Nevan sudah tidak ada di rumah. Ini kali pertama pertengkaran mereka melebihi pagi setelah sepakat saling memaafkan satu sama lain. Di meja makan sudah tersedia roti panggang dan sepucuk surat bertuliskan,Aku ke kantor duluannya. Jangan lupa sarapan.Ivy jadi merasa bersalah. Ia lantas mengunyah roti panggang yang sudah dingin itu. “Harusnya gue semalam gak kebawa emosi juga,” kata Ivy.Setelah itu Ivy bergegas siap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia harus meminta maaf kepada Nevan. Seperti kata pepatah jangan terlalu berharap, di kantor Ivy tidak bertemu dengan Nevan. Bolak-balik ia datang ke ruangannya suaminya itu tidak ada. Pesan yang kemarin yang ia kirim bahkan belum pria itu lihat sama sekali. Ivy juga tidak sudi jika harus bertanya kepada Manda. Atau ia akan hipertensi.“Nevan sudah makan siang belum ya?” gumam Ivy. Ia duduk di kantin menyantap makan siang seorang diri.Setelah selesai Ivy berinisiatif membawakan makan siang ke ruangan Nevan walaupun dia belum j

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status