"Nala, tunggu!" Bastian mempercepat langkah kakinya, beberapa kali ia menyenggol lengan orang lain yang berpapasan dengannya, sampai akhirnya tangan panjangnya dapat menyentuh lengan Nala. "tunggu!"Tubuh kecil Nala yang tak sebanding dengan Bastian tentu saja langsung tertarik ke belakang. Tak senang rasanya, hingga ditampiknya dengan kasar tangan Bastian, meskipun tak sampai terlepas. "Apa?""Mau ke mana, hm?""Tau ah! Bete banget. Ngapain nyusul segala, balik lagi noh ke cewek lonte kek kontol.""Astaga Nala--Ya ampun." Bastian sontak langsung membekap mulut Nala, telapak tangan besarnya hampir menutupi wajah Nala sampai ke mata. "jelek banget mulutnya, jangan ngomong gitu lagi. Nggak sopan." Bastian menoleh ke kanan dan kiri sebelum melepaskan bekapannya dari mulut Nala.Tentu saja Nala memberikan tatapan sinis pada laki-laki yang behasil membuatnya tantrum tersebut. "Makanya, jangan diem aja kalau digatelin.""Iya, Nala. Tadi kan saya nggak diem aja, udah ngusir dia juga, 'kan? K
"Gimana? Jadi nongki, nggak?""Jadi, bentar tapi. Nunggu Dewa." Argi meletakkan tas punggungnya dengan kasar, pandangannya beralih ke arah luar jendela. Agak resah menunggu kedatangan Dewa yang masih belum menunjukkan batang hidungnya. "kenapa nggak langsung cerita aja?" Netra cokelatnya melirik dua wanita di belakang dari balik cermin.Gerakan tangan Nala berhenti, pandangannya beralih pada sepatu yang dikenakannya. "Gimana gue mau cerita, Gi? Ini bukan urusan gue. Takutnya juga pas gue cerita, terus Dewa tau, dia nggak lagi percaya sama gue. Jadi, ya gue berharap Dewa sendiri yang ngasih tau."Dina yang sejak tadi fokus dengan laptop-nya pun langsung menutup benda itu, beralih menatap dua temannya bergantian sebelum menghela nafas berat. Argi dan Nala tak salah, keduanya memiliki pemikirannya masing-masing."Tapi, Nal--harusnya tetep kasih tau, jangan diem aja. Berasa nggak guna banget gue, Dewa sama gue sering main bareng, tapi gue nggak tau apa-apa.""Udah, Gi. Nala nggak sepenuhn
"Jadi, Kak Rafi udah putus sama Vivi?" Dina membelalakkan kedua matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tak menyangkal, Dewa pun menganggukkan kepalanya. "untung aja kemarin nggak jadi gue labrak, tau gitu gue yang malu."Argi meletakkan mangkuk kosong bekas mie miliknya yang sudah habis, berganti meraih segelas jus dan menyedotnya kuat-kuat hingga menimbulkan suara sruputan besar. "Inimah info yang Nala tunggu-tunggu, sayang banget udah basi ya, Nal.""Yak, betul." Nala menganggukkan kepalanya antusias. "giliran gue udah nikah aja baru putus, fuck lah.""Kenapa nggak suka sama Dewa aja?" Dina melirik ke arah Dewa yang sejak tadi terus tersenyum menatap Nala. "padahal dia yang paling kelihatan effort-nya. Ketimbang Kak Rafi yang jangankan lihat lo, Nal. Lirik aja kagak sudi."Mak jleb. Tapi yang dikatakan Dina barusan adalah kebenaran, selama periode menyukai Kak Rafi, laki-laki itu sama sekali tak meliriknya. Hanya menganggapnya sebagai teman adiknya tanpa embel-e
Tubuh Nala masih terdiam di tempatnya, meskipun pandangannya tak beralih dari laki-laki yang tampak terburu-buru menuju mobilnya. Bahkan, Bastian langsung masuk ke dalam mobil begitu saja tanpa ada niatan menoleh ke arahnya kembali.Mau ke mana? Pertanyaan itu terus berputar dalam otak Nala. Seiring mobil hitam itu kian menjauh darinya, semakin pula ia menerka-nerka apa yang membuat Bastian begitu terburu-buru seperti dikejar anjing."Apa ada yang urgent, 'ya?" gumamnya sebelum membalikkan tubuhnya kala mobil itu tak lagi terjangkau oleh pandangan matanya.Seketika saja sepi menerpa jiwa raga Nala. Mendadak dunia terasa senyap, ia bagaikan hidup seorang diri di dunia yang luas ini. Kenapa orang-orang selalu pergi tanpa berpamitan padanya? Diawali dengan Papa, Mama, lalu sekarang suaminya. Apa kehadirannya tidak penting?Suara detak jarum jam seakan mengiringi setiap langkah Nala dalam menaiki satu per satu anak tangga. Begitu langkah kakinya sampai di depan kamar, Nala berhenti untuk
Nala merintih kala tanpa sengaja kakinya tersandung oleh kakinya sendiri hingga jatuh tersungkur. Lututnya terasa ngilu karena terbentur dengan kerasnya lantai. Langkah selanjutnya begitu lambat karena rasa perihnya, sampai akhirnya ia sampai di depan ruang rawat mamanya.CeklekkSeorang suster keluar dari dalam kamar mamanya dengan catatan di tangannya. Begitu pandangan mata keduanya bertemu, suster itupun tersenyum padanya. "Selamat malam.""Malam, Sus." Nala menganggukkan kepala seraya menggeser posisi tubuhnya agar suster tersebut bisa berjalan melewatinya. Begitu Suster tersebut telah pergi, Nala pun bergegas masuk ke dalam kamar rawat mamanya.Aroma khas obat-obatan dan alat-alat seakan langsung menyambut kedatangan Nala, mungkin karena ia jarak mengunjungi Mamanya, membuat Nala masih belum biasa dengan suasana ini.Begitu sepi, pasti selama ini mamanya kesepian berbaring seorang diri di sini. Wanita itu masih terlihat nyaman berbaring di ranjang dengan berbagai alat bantu yang
"Eugh." Nala mengerjabkan matanya beberapa kali kala tidurnya terusik dengan tepukan pada pipinya.Dina yang berada di sampingnya lekas meraih beberapa barang miliknya. "Udah sampai, bangun."Masih dalam kondisi belum sepenuhnya sadar kala Dina menarik tangannya di samping Dewa. Rasa lelah yang dirasakannya benar-benar membuat tubuhnya tak bertenaga. Lemah sekali.BrakkkTubuh Nala kembali terhempas saat baru saja masuk ke dalam taksi. Entah bagaimana barangnya, yang pasti Nala yakin kopernya sudah diurus oleh temannya yang lain, setidaknya itulah yang tertanam di otaknya. Tak sampai tiga menit, Nala sudah kembali tertidur pulas di dalam taksi."Kebo banget ini anak."Dewa yang duduk di kursi depan pun terkekeh mendengar keluhan Dina, apalagi saat melihat kepala Nala yang kerap kali tergelincir di pundak Dina meskipun sudah beberapa kali dipindahkan, pasti berat. "Cepek banget kayaknya."Samar-samar Nala merasakan guncangan ditubuhnya, sedikit mengganggu, namun tak sampai membangunkan
Kini, keempatnya tengah menikmati makanan di luar, bertemakan out door yang membuat mereka bisa menghirup secara langsung segarnya udara Bali. Yah, rencana hanya sekedar rencana, yang semula ingin jalan-jalan sekitaran hotel sembari mencari makanan di pinggir jalan harus terhempas oleh rasa malas dan lelah."Jadi, tadi ke laut?" tanya Dewa disela-sela kunyahannya. Nala pun menganggukkan kepalanya membenarkan, sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. "lain kali jangan sendiri, lah. Takut hilang, gue.""Aman, kok. Lagi pula nggak ada juga tuh yang minat culik gue." Benda pipih itu diletakkan di sampingnya, pandangannya beralih pada dua temannya itu. "besok, rencananya mau ke mana? Harusnya cari hotel deket pantai, biar bisa ke sana malem-malem.""Kalau ke pantainya deket, sih. Tapi, ya itu, Nal, ke tempat lainnya susah. Jauh, ini udah paling strategis, nggak jauh-jauh amat dari lokasi yang lain."Dewa yang sejak tadi hanya diam kar
"Enak." Argi mengangguk-angguk menikmati sajian lezat ayam betutu yang dipesannya. Ah, rasanya benar-benar mantap."Lo dikasi makan nasi kucing juga mau-mau aja, Gi." Sahut Dewa. Senyumannya terlihat semakin cerah, tampak tak menunjukkan bekas luka yang diterimanya tempo hari. Mungkin efek dari kegiatannya dengan Argi semalaman."Sini, cerita sama gue. Kita mabuk berdua sampe mampus. Luapin semua kesedihan lo, besok kita happy-happy, hilangin muka kusut lo itu, Dina sama Nala udah effort banget nurutin kemauan lo ke sini.""Iya. Sedihnya dihabisin malam ini sambil mabuk, besok kita seneng-seneng bareng."Di menit selanjutnya, Argi dan Dewa duduk berdua bersandarkan pinggiran ranjang. Dinding kaca yang menjadi penghalang, membuat keduanya mendapatkan view yang tampak indah dimalam hari. Agaknya, empat sekawan ini benar-benar paling suka dengan pemandangan alam.Sesuai perintah Argi--Dewa mulai mengutarakan semua keluh kesah yang melanda hatinya, termasuk kebingungannya saat papanya mem