"Har, kuliah yang benar. Kamu harus lebih sukses dari aku." Lelaki tampan yang wajahnya mirip Harry itu berpesan."Ck, kan udah ada kamu Dav yang ngurusin perusahaan, aku bisa santai dong.""Dasar bocah bandel, kalau mendiang Daddy masih ada bakal dijewer kamu.""Hahaha, aku bukan bocah lagi Dav, udah 20 ini bentar lagi jadi uncle, ya kan kakak ipar?" Wanita cantik yang berdiri di samping lelaki itu tersenyum."Udah sana berangkat, kamu ada exams kan hari ini? nanti sepulang dari kampus langsung ke kantor, ada yang mau aku diskusikan sama kamu.""Oke dear Bro, aku berangkat. Bye!"Harry melajukan ferrarinya dengan santai ke kampus, entah mengapa hari ini ia merasa malas ngampus, kalau bukan ada ujian dia gak bakalan datang.Dan ia baru saja menyelesaikan ujian hari itu ketika mendapatkan kabar buruk tentang David. Ia segera melesatkan mobilnya ke lokasi, namun ia hanya mendapatkan tubuh yang bermandikan darah. Harry jatuh terduduk seketika, namun ia menguatkan diri.Lelaki itu menggen
Anna tampak berpikir keras, siapa yang di maksud Harry? tapi ia tetap tidak juga menemukan jawabannya."Mas, aku nggak ngerti maksudnya siapa? aku rasa aku nggak punya musuh."Harry tetap tenang menatap Anna. "Coba kamu ingat, seseorang yang terobsesi dengan kamu, lalu merasa kecewa karena kamu menolaknya.""Menolak?" Anna tertegun, "apa mungkin dia yang tempo hari mau dijodohkan oleh nenek?" tanyanya seraya menatap Harry -- meminta jawaban.Harry tersenyum. "Ya, dia telah terobsesi dengan kamu saat nenek kamu menawarkan menjodohkanmu dengannya, namun tiba-tiba kamu kabur darinya.""Maksudnya Ardi?" tanya Anna. Harry mengangguk."Lalu Mas bilang dia dendam sama Mas Har, apa kalian saling mengenal?""Secara pribadi kami tidak mengenal satu sama lain, tapi tahukah kamu, siapa Ardi?" tanya Harry. Anna menggeleng--Dia memang tidak tahu apa-apa, dan tidak mau tahu siapa lelaki yang akan dijodohkannya itu."Dia adalah Ardi Agara, pemilik Agra Group. Kamu tahu, Barnesia Group adalah rival te
Untuk sesaat Anna terpaku melihat kekacauan di ruang itu, beberapa gaun di manekin jatuh. Dan yang paling mengenaskan gaun utama yang akan ditampilkan dirusak, sobek di beberapa bagian. "Safa," panggil Anna, ia berusaha tenang meskipun suaranya bergetar, "bagaimana ini bisa terjadi? apa nggak ada yang nunggu di ruangan?" tanyanya kepada sang asisiten yang tertunduk lemas. "Ada, Mbak. Sesuai yang Mbak Anna arahkan. Tapi kata mereka tiba-tiba lampu padam, beberapa dari mereka keluar ruangan untuk mengecek, pas lampu nyala sudah berantakan." Suara safa terbata-bata menahan rasa sesak di dada. Anna paham di dalam hatinya, ini adalah perbuatan orang-orang Elsa, sekarang ia mengerti, jadi untuk ini mereka ngotot ingin bekerjasama. 'Tidak, aku harus cari cara untuk membereskan kekacauan ini.' Anna membathin di dalam hatinya. Anna meneliti gaun yang koyak dan sobek itu, ada sobekan bekas torehan pisau di bagian bawah dekat lutut, bagian atas masih mulus, mungkin karena gelap, si pelaku
Elsa berusaha tenang, ia mengatur napasnya dengan susah payah dan masih merasakan sakit di lehernya karena cekikan keras pria gila itu. "Katakan!" bentak Ardi mengejutkan Elsa. "B-baik," jawab Elsa terbata-bata. Ia berusaha mendekati Ardi dan membisikkan sesuatu di telinganya. Sejurus lelaki itu tersenyum, Elsa menghela napas lega, dia berpikir Ardi akan melepaskannya. Ia segera merapihkan bajunya dan hendak beranjak, namun tangan lelaki itu dengan kasar kembali menarik rambutnya. Spontan wanita itu teriak kesakitan, namun justru membuat Ardi semakin bergairah. "Aku setuju rencanamu, tapi jangan coba-coba menipuku." Lelaki itu berbisik di telinga Elsa dengan suara berat, namun terdengar mengerikan di telinga Elsa. "A-aku tidak akan menipumu, kamu akan segera mendapatkan gadis gembel it-uuu...." Elsa berkata penuh kebencian kepada Anna, namun tiba-tiba ia merasa sesak ketika tangan kasar Ardi kembali mencekiknya dengan kuat. "Apa kamu bilang? jangan coba-coba menghina milikku! d
Anna kembali memeriksa buket itu dengan teliti, tidak ada petunjuk apa pun yang ditemukan mengenai pengirimnya, akhirnya ia memanggil Safa, asistennya. "Safa, siapa yang nerima buket-buket ini?" tanya Anna. "Aku, Mbak. Ada apa?" Safa sedikit bingung. "Apa ada salinan tanda terima atau bukti pengiriman?" "Ada Mbak, sebentar aku ambilkan." Safa segera bergegas ke luar, tidak lama ia masuk lagi dengan membawa map, lalu menyerahkannya pada Anna. "Terima kasih Saf." Anna memeriksa satu-satu, semua tertera nama pengirim. Hanya satu yang tidak ada namanya, cuma tertulis Mr. X, tapi untungnya ada nama toko dan nomor teleponnya. Anna segera menghubungi toko bunga tersebut, ia menanyakan buket bunga yang mereka kirim lengkap dengan detailnya. Karyawan toko bunga menjelaskan kalau buket itu dipesan via online, pengirim hanya meminta dituliskan pesan seperti itu. Anna membeku sesaat, ia kembali membaca kata-kata dalam pesan itu, sepertinya pesan itu bernada mengancam. Ia berfikir keras, a
Amelia memeluk Anna sambil menangis, Anna segera merangkulnya dan mengusap rambut gadis imut itu penuh kasih meskipun ia bingung, apa yang membuat anak itu kelihatan sedih. Anna menghapus air mata di wajah imut itu --setelah tangisnya mereda-- lalu tersenyum hangat. "Sayang, coba cerita sama Kak Anna, kenapa Amel menangis?" Amelia menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Amel takut, Kak." "Takut kenapa sayang?" tanya Anna lembut sambil tetap tersenuyum. Amelia menghela napas layaknya orang dewasa. "Amel takut Kak Anna dalam bahaya, Amel takut ada orang jahat yang nyakitin Kak Anna, Amel nggak mau kehilangan Kak Anna." Gadis cilik itu kembali terisak. Anna mendekapnya penuh kasih sayang seorang ibu, Amelia anak yang sangat peka. Mungkin kehidupan pahitnya yang tidak memiliki seorang ibu--meskipun Anna tidak tahu yang sebenarnya-- membuat Amelia seperti itu. "Sayang ... Dengerin Kak Anna, kakak nggak apa-apa kok, Kak Anna nggak dalam bahaya, Kak Anna aman-aman saja, jadi Amel ja
Anna tidak meneruskan kalimatnya, ia mencoba tersenyum pada mama dan neneknya."Kenapa, Anna? nggak mau nikah? atau mau nunda lagi?" nenek menatap Anna tajam."B-bukan begitu, Nek. Maksud Anna ....""Maksud Anna, kita berdua kan semula punya rencana mau menikah di London, Nek." Harry memotong ucapan Anna."I-iya, Nek maksud Anna begitu." Anna terbata-bata. Diam-diam ia menghela napas pelan."Oh, tidak. Kalian nikah di sini dulu, setelah itu mau bikin resepsi di London terserah." Nenek langsung protes."Kenapa Nek?" tanya Harry."Karena nenek ingin lihat cucu nenek menikah, kalau mama dan papanya Anna pergi ke London, bisa saja. Tapi nenek? nenek sudah tua, nenek khawatir tidak sanggup melakukan perjalanan jauh. Selain itu, nenek juga ingin pernikahan kalian disaksikan oleh keluarga besar Anna.""Baiklah Nek kalau begitu. Permintaan Nenek adalah perintah buat Harry."Nenek tersenyum puas, sedangkan Anna menundukan wajahnya, ia bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah Harry
Anna tersentak, dari atas balkon kamarnya ia melihat seseorang sedang menempel sesuatu di tepi jalan."Hei apa itu?" Anna setengah berteriak, namun tak mungkin terdengar keluar. Ia bergegas turun dengan tergopoh-gopoh mengejutkan mama yang sedang duduk di ruang tengah."Ada apa, An?" tanya mama heran."Ada sesutu di depan, Ma." Anna berkata tanpa menoleh, setengah berlari ia menuju ke luar.Setiba di luar pagar Anna terperanjat. "Astaga apa ini?"Anna mendapati banyak poster ditempel di sepanjang jalan dekat rumahnya, Ia menoleh kesana ke mari tidak ada siapa-siapa. Lelaki yang tadi dia lihat dari balkon kamarnya pun sudah tidak ada, mereka sudah kabur saat Anna turun.Anna sangat geram, ia meraih selembar poster tersebut, terpampang foto dirinya dengan seorang lelaki yang ditutup topeng. Ada tulisan mencolok Joanna and her mate."Damn!" Wajah Anna merah padam, ia sangat marah.Tidak berapa lama kemudian mama datang, wanita paruh baya itu tersentak. "Ya Tuhan! kerjaan siapa ini?"An