Share

Mendadak Jadi Istri Dosen
Mendadak Jadi Istri Dosen
Penulis: Alina Lin

BAB 1 - Permintaan Menikah

“Aku masih mau kuliah, nggak mau nikah!”

“Apa kurangnya Harun? Dia punya semuanya.” Ibu menyela.

Bukan tentang memiliki semuanya, tapi mengenai masa depanku. Menikah itu berarti aku harus mengabdi kepada suami. Surgaku tergantung kepadanya. Jika dia ridho, aku akan bahagia. Begitu, kan, konsepnya? Aku tahu Mas Harun dan keluarganya. Dia tidak akan membiarkan perempuan berkeliaran di luar rumah. Membayangkan aku menjadi patung di rumah itu membuatku sesak. Enggak. Ini nggak bisa dibiarkan!

            “Aku masih mau kuliah, Bu. Titik!”

            “Justru karena masih mau kuliah, kamu harus menikah dengannya. Dia bisa bayar uang semestermu yang mahal itu. Kehidupan kita udah beda!” Ibu mengatakan dengan tegas. Dia langsung berdiri dan meninggalkanku di sini. Di ruang tamu yang membuatku mematung tanpa kata. Kehidupan kami sudah beda. 180 derajat berbeda sejak satu tahun yang lalu meninggalnya Ayah.

            Aku tidak mungkin berhenti kuliah di semester tujuh. Skripsiku juga sudah setengah jalan. Bulan depan memang tahun ajaran baru dan aku harus membayar uang kuliah seharga 7,5 juta rupiah. Dulu, uang segitu selalu Ayah siapkan sebelum tenggat. Namun, sekarang sudah beda. Pemasukan keluargaku hanya bersumber dari toko kelontong yang tidak seberapa. Belum lagi kakakku yang baru membuat masalah karena terlilit utang pinjaman online.

            Apakah solusi untuk semuanya adalah menikah?

            Menikah dengan Mas Harun adalah mimpi buruk. Aku akan menjadi Ibu Rumah Tangga yang baik dan diperintahkan beranak pinak setiap tahun. Aku paham agama, kok. Aku tahu menikah itu ibadah dan anak adalah rezeki. Ayah juga membekaliku banyak ilmu agama. Namun, bukan pernikahan seperti itu yang kuimpikan. Aku memiliki bayangan yang lebih indah, di mana saat pagi aku berangkat ke kantor diantar suami sembari mengantar anak sekolah. Ketika pulang sudah ada makanan yang disediakan pembantu. Memasak, mencuci, membereskan rumah, bukanlah kewajiban seorang istri. Jadi, nggak salah kalau aku tidak menganggapnya sebagai prioritas, kan?

            “Hidupmu bakal enak sama keluarga Harun, Na. Keluarganya terpandang, di mana-mana dipuji. Semua keluarganya orang alim. Kamu nggak perlu pusing lagi tentang uang. Tinggal duduk manis sambil nyusuin anak juga sudah aman. Mau minta apa aja juga pasti diturutin.” Mbak Tasya yang baru dari dapur ikut menceramahiku. Dia membawa sekaleng minuman soda dan sepiring nasi. Jam sepuluh malam adalah waktunya untuk bangkit dari kasur dan memulai kehidupan di bumi. Matanya sayu karena pola hidup yang menentang waktu normal. Hot pants dan tank top adalah outfit andalan yang dikenakannya ke sana ke mari. Belahan dadanya yang montok sengaja dipamerkan, apalagi kalau sedang menyapu di teras. Dia memang sengaja membangun image sebagai wanita penggoda. Ibu-ibu RT sebelah saja ada yang melabrak karena suaminya sengaja lewat depan rumah untuk mencari Mbak Tasya.

            “Kalau gitu Mbak Tasya aja yang nikah sama dia.”

            “Dia sukanya kamu. Harun tahu bentukan cewek yang mudah diatur,” kata Mbak Tasya sambil menyunggingkan senyum mengejek merendahkan. Aku mengembuskan napas berat. Ingin sekali aku membalas ejekannya, tapi otakku sudah terasa sangat penuh dan hampir meledak.

            “Meski kita nggak punya hubungan darah, tapi aku juga berharap kamu dapat jodoh yang terbaik.”

            Bullshit!

            Astagfirullah, aku mengumpat.

Tidak ada satu kata pun yang kupercaya darinya. Mbak Tasya itu manusia bermuka sepuluh. Dia pandai berkamuflase melebihi kemampuan alami bunglon. Anehnya, kenapa dia tidak menggunakan kelebihannya itu untuk kabur dari tagihan utang yang menjeratnya?

***

            “Hari ini jangan pulang malam-malam. Harun mau ke sini. Seenggaknya temui dia dulu. Dia anak baik. Banyak Kyai yang mau menjodohkan anaknya sama dia, tapi dia milihnya kamu. Harusnya kamu bersyukur. Jaman sekarang jarang cowok alim kayak gitu.”

            Sarapan pagiku bukanlah nasi goreng, nasi uduk, apalagi sandwich, tapi ceramah Ibu yang kembali mengingatkanku tentang Mas Harun. Aku tidak tahu apa yang membuat Mas Harun tertarik denganku. Di desa ini banyak gadis lain yang lebih menarik dariku. Apa benar yang dibilang Mbak Tasya kalau aku terlihat mudah diatur?

            Aku tinggalkan permasalahan rumah di rumah saja karena permasalahanku di kampus jauh lebih pelik. Apalagi kalau bukan dengan Pak Abi. Si dosen muda yang membuat setiap mahasiswa bimbingannya kalang kabut tak karuan. Kakak tingkatku saja ada yang sampai dua tahun untuk menyelesaikan skripsi dengannya. Itu pun setelah diberi surat peringatan oleh Kepala Jurusan.

Katanya kalau dosen muda yang belum menikah memang begitu. Emosinya belum stabil karena belum punya pasangan. Hormonnya juga nggak seimbang. Makanya pelampiasannya adalah dengan menjadi dosen yang membuat mahasiswa stress dan semakin lancar mendoakannya untuk segera mendapat jodoh. Ya, doa itu pula yang kupanjatkan sekarang. Aku berharap Pak Abi segera menemukan tambatan hati dan bisa lebih lunak memperlakukanku.

Koridor penghubung antara front office dan ruang dosen terdengar riuh orang bergosip. Di perjalananku menuju ruangan Pak Abi, aku sedikit mendengar sesuatu dari dua mahasiswa yang duduk di kursi tunggu. “Masa anaknya? Ya Ampun, diam-diam ternyata sudah nikah. Kok kita nggak tahu? Mana anaknya udah gede. Patah hati banget gue.”

Aku mengetuk pintu ruangan Pak Abi yang sedikit terbuka sebanyak tiga kali. Namun, tidak ada jawaban. Baru di ketukan keempat ada seseorang yang membukakan pintu. Seorang anak kecil yang sedang memegang iPad mendongak ke arahku. Matanya berbinar dan lesung pipinya terlihat jelas saat tersenyum. Apa anak ini yang dikira mahasiswa tadi sebagai anak Pak Abi?

Aku berjongkok untuk menyejajarkan padangan dengannya.

“Mama,” ucapnya.

Mama?

Anak ini memanggilku Mama. Kukira dia hanya bercanda, tapi dia kembali mengulangi kata ‘Mama’ berulang kali sampai Pak Abi datang dengan membawa sebotol air mineral.

Aku langsung berdiri untuk menyapanya.

“Selamat pagi, Pak Abi,” ucapku dengan sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat.

“Pagi.”

Anak itu menarik-narik kemeja yang kukenakan. Dia menatapku dengan sorot matanya yang polos dan jernih. Ada pembatas yang seperti kaca rapuh di dalamnya. Dia memeluk pinggangku dengan erat dan menjatuhkan kepalanya di tubuhku.

“Mau sampai kapan kamu berdiri di sana? Saya mau masuk,” kata Pak Abi yang membuatku sadar. Aku langsung menjauh dari pintu masuk untuk memberinya jalan.

“Masuk!” perintah Pak Abi kemudian.

Aku tersenyum kepada anak ini sambil mengusap kepalanya. “Mau ikut Kakak masuk?”

Dia mengangguk dengan tetap menempel kepadaku. Anak ini sangat manis. Aku ingat dia. Kami pernah bertemu sekali malam itu. Dia sudah banyak berubah. Anak-anak memang cepat bertumbuh. Mengagumkannya, dia masih mengingat wajahku. Aku bisa merasakan itu meski dia tidak mengatakan sepatah kata selain kata ‘Mama’. Namun, yang perlu kutanyakan sekarang, kenapa dia ada di sini? Kenapa dia bisa bersama Pak Abi?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Alina Lin
Halo, salam kenal, Kak ...
goodnovel comment avatar
nengani farida
salam kenal kak author ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status