“Aku masih mau kuliah, nggak mau nikah!”
“Apa kurangnya Harun? Dia punya semuanya.” Ibu menyela.
Bukan tentang memiliki semuanya, tapi mengenai masa depanku. Menikah itu berarti aku harus mengabdi kepada suami. Surgaku tergantung kepadanya. Jika dia ridho, aku akan bahagia. Begitu, kan, konsepnya? Aku tahu Mas Harun dan keluarganya. Dia tidak akan membiarkan perempuan berkeliaran di luar rumah. Membayangkan aku menjadi patung di rumah itu membuatku sesak. Enggak. Ini nggak bisa dibiarkan!
“Aku masih mau kuliah, Bu. Titik!”
“Justru karena masih mau kuliah, kamu harus menikah dengannya. Dia bisa bayar uang semestermu yang mahal itu. Kehidupan kita udah beda!” Ibu mengatakan dengan tegas. Dia langsung berdiri dan meninggalkanku di sini. Di ruang tamu yang membuatku mematung tanpa kata. Kehidupan kami sudah beda. 180 derajat berbeda sejak satu tahun yang lalu meninggalnya Ayah.
Aku tidak mungkin berhenti kuliah di semester tujuh. Skripsiku juga sudah setengah jalan. Bulan depan memang tahun ajaran baru dan aku harus membayar uang kuliah seharga 7,5 juta rupiah. Dulu, uang segitu selalu Ayah siapkan sebelum tenggat. Namun, sekarang sudah beda. Pemasukan keluargaku hanya bersumber dari toko kelontong yang tidak seberapa. Belum lagi kakakku yang baru membuat masalah karena terlilit utang pinjaman online.
Apakah solusi untuk semuanya adalah menikah?
Menikah dengan Mas Harun adalah mimpi buruk. Aku akan menjadi Ibu Rumah Tangga yang baik dan diperintahkan beranak pinak setiap tahun. Aku paham agama, kok. Aku tahu menikah itu ibadah dan anak adalah rezeki. Ayah juga membekaliku banyak ilmu agama. Namun, bukan pernikahan seperti itu yang kuimpikan. Aku memiliki bayangan yang lebih indah, di mana saat pagi aku berangkat ke kantor diantar suami sembari mengantar anak sekolah. Ketika pulang sudah ada makanan yang disediakan pembantu. Memasak, mencuci, membereskan rumah, bukanlah kewajiban seorang istri. Jadi, nggak salah kalau aku tidak menganggapnya sebagai prioritas, kan?
“Hidupmu bakal enak sama keluarga Harun, Na. Keluarganya terpandang, di mana-mana dipuji. Semua keluarganya orang alim. Kamu nggak perlu pusing lagi tentang uang. Tinggal duduk manis sambil nyusuin anak juga sudah aman. Mau minta apa aja juga pasti diturutin.” Mbak Tasya yang baru dari dapur ikut menceramahiku. Dia membawa sekaleng minuman soda dan sepiring nasi. Jam sepuluh malam adalah waktunya untuk bangkit dari kasur dan memulai kehidupan di bumi. Matanya sayu karena pola hidup yang menentang waktu normal. Hot pants dan tank top adalah outfit andalan yang dikenakannya ke sana ke mari. Belahan dadanya yang montok sengaja dipamerkan, apalagi kalau sedang menyapu di teras. Dia memang sengaja membangun image sebagai wanita penggoda. Ibu-ibu RT sebelah saja ada yang melabrak karena suaminya sengaja lewat depan rumah untuk mencari Mbak Tasya.
“Kalau gitu Mbak Tasya aja yang nikah sama dia.”
“Dia sukanya kamu. Harun tahu bentukan cewek yang mudah diatur,” kata Mbak Tasya sambil menyunggingkan senyum mengejek merendahkan. Aku mengembuskan napas berat. Ingin sekali aku membalas ejekannya, tapi otakku sudah terasa sangat penuh dan hampir meledak.
“Meski kita nggak punya hubungan darah, tapi aku juga berharap kamu dapat jodoh yang terbaik.”
Bullshit!
Astagfirullah, aku mengumpat.
Tidak ada satu kata pun yang kupercaya darinya. Mbak Tasya itu manusia bermuka sepuluh. Dia pandai berkamuflase melebihi kemampuan alami bunglon. Anehnya, kenapa dia tidak menggunakan kelebihannya itu untuk kabur dari tagihan utang yang menjeratnya?
***
“Hari ini jangan pulang malam-malam. Harun mau ke sini. Seenggaknya temui dia dulu. Dia anak baik. Banyak Kyai yang mau menjodohkan anaknya sama dia, tapi dia milihnya kamu. Harusnya kamu bersyukur. Jaman sekarang jarang cowok alim kayak gitu.”
Sarapan pagiku bukanlah nasi goreng, nasi uduk, apalagi sandwich, tapi ceramah Ibu yang kembali mengingatkanku tentang Mas Harun. Aku tidak tahu apa yang membuat Mas Harun tertarik denganku. Di desa ini banyak gadis lain yang lebih menarik dariku. Apa benar yang dibilang Mbak Tasya kalau aku terlihat mudah diatur?
Aku tinggalkan permasalahan rumah di rumah saja karena permasalahanku di kampus jauh lebih pelik. Apalagi kalau bukan dengan Pak Abi. Si dosen muda yang membuat setiap mahasiswa bimbingannya kalang kabut tak karuan. Kakak tingkatku saja ada yang sampai dua tahun untuk menyelesaikan skripsi dengannya. Itu pun setelah diberi surat peringatan oleh Kepala Jurusan.
Katanya kalau dosen muda yang belum menikah memang begitu. Emosinya belum stabil karena belum punya pasangan. Hormonnya juga nggak seimbang. Makanya pelampiasannya adalah dengan menjadi dosen yang membuat mahasiswa stress dan semakin lancar mendoakannya untuk segera mendapat jodoh. Ya, doa itu pula yang kupanjatkan sekarang. Aku berharap Pak Abi segera menemukan tambatan hati dan bisa lebih lunak memperlakukanku.
Koridor penghubung antara front office dan ruang dosen terdengar riuh orang bergosip. Di perjalananku menuju ruangan Pak Abi, aku sedikit mendengar sesuatu dari dua mahasiswa yang duduk di kursi tunggu. “Masa anaknya? Ya Ampun, diam-diam ternyata sudah nikah. Kok kita nggak tahu? Mana anaknya udah gede. Patah hati banget gue.”
Aku mengetuk pintu ruangan Pak Abi yang sedikit terbuka sebanyak tiga kali. Namun, tidak ada jawaban. Baru di ketukan keempat ada seseorang yang membukakan pintu. Seorang anak kecil yang sedang memegang iPad mendongak ke arahku. Matanya berbinar dan lesung pipinya terlihat jelas saat tersenyum. Apa anak ini yang dikira mahasiswa tadi sebagai anak Pak Abi?
Aku berjongkok untuk menyejajarkan padangan dengannya.
“Mama,” ucapnya.
Mama?
Anak ini memanggilku Mama. Kukira dia hanya bercanda, tapi dia kembali mengulangi kata ‘Mama’ berulang kali sampai Pak Abi datang dengan membawa sebotol air mineral.
Aku langsung berdiri untuk menyapanya.
“Selamat pagi, Pak Abi,” ucapku dengan sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat.
“Pagi.”
Anak itu menarik-narik kemeja yang kukenakan. Dia menatapku dengan sorot matanya yang polos dan jernih. Ada pembatas yang seperti kaca rapuh di dalamnya. Dia memeluk pinggangku dengan erat dan menjatuhkan kepalanya di tubuhku.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di sana? Saya mau masuk,” kata Pak Abi yang membuatku sadar. Aku langsung menjauh dari pintu masuk untuk memberinya jalan.
“Masuk!” perintah Pak Abi kemudian.
Aku tersenyum kepada anak ini sambil mengusap kepalanya. “Mau ikut Kakak masuk?”
Dia mengangguk dengan tetap menempel kepadaku. Anak ini sangat manis. Aku ingat dia. Kami pernah bertemu sekali malam itu. Dia sudah banyak berubah. Anak-anak memang cepat bertumbuh. Mengagumkannya, dia masih mengingat wajahku. Aku bisa merasakan itu meski dia tidak mengatakan sepatah kata selain kata ‘Mama’. Namun, yang perlu kutanyakan sekarang, kenapa dia ada di sini? Kenapa dia bisa bersama Pak Abi?
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br