Pak Abi membolak-balik laporanku. Sesekali matanya memicing untuk memastikan bacaan yang ada. Sudah hampir empat bulan aku menemuinya secara rutin di setiap Kamis pagi. Namun, setiap bertemu dan berhadapan dengannya seperti ini aku selalu merasa deg-degan. Ekspresi wajahnya yang tenang malah membuatnya mirip dengan psikopat berdarah dingin. Sorotan matanya yang tajam selalu sukses mengintimidasiku. Belum lagi kalau mulutnya sudah terbuka. Aura cabai langsung bisa membuatku mematung tanpa berani membantah. Bukan dia bau mulut, tapi kalimatnya sering membuatku sakit hati. Ralat. Bukan sering, tapi selalu.
“Kamu mengerjakannya sambil minum obat tidur, ya?” ucap Abi ketus dengan tatapan yang tak teralih dari lembaran kertas di hadapannya.
“Enggak, Pak.”
“Tipo semua, untuk untk, penelitian penelilian. Gimana saya mau baca isinya kalau tulisannya nggak enak dibaca? Perbaiki itu dulu, saya nggak suka berantakan!” ujarnya.
Sebagai mahasiswa yang hidupnya tergantung dengan dosen, aku tidak akan membantahnya. Membantah Pak Abi sama dengan menggali lubang, lalu menimbun tanah ke atas kepalaku sendiri. Hanya satu huruf saja dia permasalahkan, sepertinya hidup Pak Abi memang kekurangan masalah.
“B-baik Pak.” Aku mengambil kembali draft yang tadi dibaca Pak Abi dan sudah diletakkannya di atas meja. Dia tidak akan membaca halaman selanjutnya kalau sudah menemukan kesalahan di lembar awal. Seperti sekarang, Bab 4 yang sudah sampai tiga puluh halaman hanya berhenti di halaman kedua.
“Aksa ….” Pak Abi memanggil anak ini yang sejak tadi duduk di sampingku. Ternyata namanya Aksa. “Sini makan dulu. Kamu belum sarapan,” bujuk Pak Abi sambil berusaha meraih tangan Aksa.
“Enggak!” bentak Aksa sambil berteriak. Aku yang di sampingnya langsung terkejut ketika mendengar teriakannya yang melengking.
Aku perhatikan Pak Abi yang langsung terdiam. Tatapan kebingungan di sorot matanya sangat terlihat jelas. Aku belum pernah melihat Pak Abi yang katanya lulusan S2 Universitas Melbourne yang cerdas ini menunjukkan wajah bodoh seperti sekarang. Andai aku tidak tahu diri, ingin kurekam dan kusebarkan ke seluruh penjuru jurusan. Agar para mahasiswi yang memujanya tahu kalau idolanya memiliki banyak keanehan.
“Anak baik berbicaranya juga harus baik. Yakin nggak mau? Kalau enggak, nanti Kakak yang ambil makanannya, lho.” Aku inisiatif untuk menenangkan Aksa. Dia menatapku lagi. Tatapannya itu membuatku bingung. Dia seperti mengikatku untuk mengikutinya atau malah dia yang mau mengikutiku?
“Tapi, makannya sama Tante.” Aksa memelukku. Dia memelukku sangat erat, lebih erat dari yang sebelumnya. Aku tidak risih dengan perlakukannya, hanya saja aku bingung harus menanggapinya seperti apa.
Pak Abi yang sedari tadi tampak tenang kini menatapku dengan intens. Pancaran matanya mengutarakan penuh tanya kepadaku. Tatapan itu juga yang kuberikan padanya. Aku juga memiliki banyak pertanyaan yang tak sampai kukeluarkan. Aku harap dia memulai pembicaraan dulu, maka aku akan menjelaskan kebingungannya. Namun, itu sama sekali tak terjadi sampai akhirnya aku keluar dari ruangannya.
***
Urusanku di kampus sudah selesai. Namun, aku tidak mau pulang ke rumah. Aku nggak mau mendengarkan omelan Ibu yang membahas pernikahan lagi. Untuk itu aku memilih duduk di perpustakaan.
Pernah melihat gula yang dicampur air hangat? Itulah aku sekarang. Aku mau larut dengan skripsiku agar bisa segera mendaparkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi. Halaman pertama yang memampang judul Strategi Komunikasi Dalam Mensosialisasikan Program Website Layanan Aspirasi Dan Pengaduan Online Rakyat (Lapor) Di Kota Jakarta memaksaku untuk segera fokus.
Di antara teman jurusanku, akulah yang paling pertama mengajukan penelitian skripsi. Namun, hingga waktu terus bergulir, aku masih belum merampungkannya. Kalau kata Sherin—sahabatku, “Bangun hubungan yang baik sama dosen. Lo lihat Febi, kan? Dia sebentar lagi sidang akhir karena deket banget sama Bu Anjani. Malah sering diajak makan bareng dan diundang ke rumah. Lo juga gitu, deketin Pak Abi. Deketinnya pake hati karena yang dari hati akan sampai ke hati.” Sherin akan langsung tertawa terbahak setelah menasihatiku seperti itu. Dia sering menggodaku untuk mengajak Pak Abi pacaran supaya nggak nyebelin lagi. Kata Sherin, cowok dingin kalau sudah bucin pasti parah banget. Tapi, itu sepertinya nggak berlaku bagi dosen kesayanganku yang bernama Abimayu itu. Sayang yang kumaksud bukan sayang dalam arti cinta, melainkan aku mencoba menyayangi apa yang kupunya. Pak Abi dosen pembimbing pertamaku, jadi aku harus menyayanginya. Mana tahu dia juga menyayangiku dan membiarkanku lulus secepatnya.
Meminta Pak Abi pacaran denganku? Otak Sherin memang sekali-kali perlu dicuci pakai detergen yang sekali kucek hilang. Boro-boro mengajak pacaran, sekadar menanyakan jadwal untuk bimbingan tambahan saja aku sudah gemetar.
Sekarang yang terpenting bukanlah bagaimana meluluhkan Pak Abi, tapi bagaimana caranya agar aku bisa membayar uang semester. Tabunganku hanya tersisa tiga juta, itu pun harus diputar ulang agar bisnis online-ku terus berlanjut. Sejak Ayah meninggal, aku memang dipaksa untuk mandiri secara finansial. Aku terjun ke bisnis online menjual baju dan tas kekinian di sosial media bersama Sherin. Namun, sahabatku itu tidak butuh uang, jadi dia nggak serius. Berbeda denganku, aku sangat butuh uang, mau tidak mau harus menyeriusinya.
Ah, uang memang membingungkan. Katanya semuanya nggak bisa dibeli pakai uang, nyatanya semuanya juga berasal dari uang. Uang oh uang, bagaimana caranya aku bisa mendapatkanmu tanpa harus meminta ke Ibu? Aku tidak mau menikah dengan Mas Harun.
Mas Harun ini sebenarnya tampan, sangat tampan malahan. Dia keturunan Arab dengan hidung mancung yang seperti paruh burung. Garis wajahnya tegas dan jambang di sekitar dagunya menjadi ciri khas. Namun, entah kenapa aku sama sekali tidak tertarik dengannya. Bagiku keluarga Mas Harun adalah salah satu keluarga yang terlalu berpegang teguh pada prinsip agama. Ada batasan yang jelas antara kekuasaan pria dan wanita. Itu tidak salah, malah sangat bagus untuk memuliakan wanita. Hanya saja keluarga Mas Harun tidak sejalan dengan yang kumau. Dibilang feminisme tidak juga. Aku bukan orang yang memperjuangkan kesetaraan pria dan wanita. Toh, memang nggak akan pernah setara. Pria dan wanita memiliki perannya masing-masing. Namun, untuk pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial untuk berkembang, mereka harus punya jalan yang sama. Benar, kan?
Sialnya, saat aku pulang ke rumah seusai Maghrib, ada pria yang mengenakan sarung dan koko putih sudah duduk manis di teras.
“Kita di teras aja, nggak baik pria masuk ke rumah gadis hanya berdua,” ucapnya. Sebenarnya di dalam rumah ada Mbak Tasya yang lagi tidur.
“Apa kabar?” Mas Harun mulai menanyakan pertanyaan basa-basi.
“Baik.”
“Gimana kuliahnya?”
“Baik.”
“Skripsinya bagaimana?”
“Alhamdulillah, baik juga.” Aku berharap ada malaikat lewat dan mengaminkan doaku agar skripsiku juga segera mendapat kabar baik.
“Saya sudah bilang ke ibumu, minggu depan saya dan keluarga akan ke sini untuk melamar.”
Aku langsung menoleh ke arahnya sambil melongo. “S-secepat itu?”
Mas Harun langsung mengalihkan pandangannya dariku. Kalau ada yang bilang dia suami idaman surga, kurasa memang benar. Dia terlihat sangat tahu batasan antara pria dan wanita. Dia tidak mau menatapku sama sekali. Sekarang saja ada temannya yang sedang menunggu di depan gerbang sekaligus memastikan kami tidak macam-macam.
“Menikah itu ibadah dan nggak seharusnya ibadah itu ditunda-tunda.”
“Saya bukan mau menunda, tapi saya nggak mau.”
“Kenapa?”
“Saya masih belum ingin menikah.” Aku sudah memberikan penolakan yang tegas dan kuharap dia mengerti. Kalaupun dia sudah kebelet nikah, dia bisa mencari wanita lain. Seperti yang Ibu bilang, Mas Harun bisa dengan mudah mendapatkan wanita terbaik mana pun.
“Saya akan menunggumu sampai siap,” ucapnya kemudian sebelum akhirnya berpamitan pulang.
Kenapa dia sangat bersikukuh untuk menikah denganku? Apa sebenarnya yang dia mau? Perlu kuperjelas, aku bukan anak lulusan pondok pesantren yang hapal tiga puluh juz Al-Qur’an seperti sebagian besar keluarga Mas Harun. Aku juga bukan anak Kyai yang bibit, bobot, dan bebetnya terjamin. Meski aku sadar wajahku cukup menarik, tapi aku tidak secantik itu. Hanya bulu mata lentik dan warna kulit bersih saja yang membuatku lebih menonjol dari yang lain. Bunda keturunan China, aku mewarisi itu darinya. Bunda yang kumaksud adalah ibu kandungku. Bola mataku mengikuti Ayah yang agak belo. Kalau kata Sherin, nilai tambah lain yang kupunya adalah lesung pipi kecil di dekat bibir kanan.
Aku masih terdiam di teras rumah selepas Mas Harun pergi. Kepalaku bersandar di kursi teras yang terbuat dari kayu. Aku memejamkan mata sejenak karena merasa sangat lelah dengan kerumitan yang kualami. Skripsi, menikah, dan uang?
Suara deringan ponsel membuatku tersadar untuk segera menghadapi kenyataan dan segera membereskan satu per satu permasalahan. Aku mengambil ponselku di dalam tas dan terpampang nama yang sama sekali tidak ingin kutemui dalam waktu dekat. Sebentar saja, biarkan aku tenang bernapas. Tolong!
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br