Kurasa hari ini memang ada yang salah dari Mas Abi. Dia lebih menyebalkan dari wanita yang menghadapi masa PMS. Tak hanya di kampus, saat di rumah pun dia kembali membuat kegaduhan. Dia menghampiriku yang berada di kamar Aksa. Andai tidak Aksa di sini, mungkin dia langsung mencecarku banyah hal. Dia memperlakukanku seolah aku ini pendosa berat. Saat ini, aku baru membantu Aksa mempersiapkan diri untuk mengaji di musala kompleks. Biasanya Bik Tun yang akan mengantar dan menungguinya di sana. “Kenapa?” tanyaku ketika Aksa sudah berpamitan pergi. Sedari tadi dia hanya berdiri sambil memperhatikan gerak-gerikku. Kurasa dia memang sedang kesambet. Aneh! “Kamu nggak mau salaman sama Rangga, kenapa mau disentuh Alex?” Jangan bilang dia tahu tentang kejadian tadi, makanya langsung memanggilku ke ruangannya tanpa alasan? “Diusap kepala?” ucapku santai sambil merapikan kamar Aksa sejenak. “Aku juga mau nolak, tapi kadung suka disentuh kayak gitu,” jawabku jujur. “Rasanya kayak disayang.” Aku
Entah berapa lama kami berpelukan dalam diam. Tidak ada yang mengajak berbicara. Seluruh tubuh kami seolah menunjukkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan lidah. Kami sama-sama mendamba pelukan itu. Kuharap bukan hanya aku yang menikmatinya. Saat dia melepaskan pelukan, aku merasa ada yang kosong. Aku merasa dia baru saja mengambil sesuatu. Namun, aku tidak tahu apa itu. Kami saling berpandangan, lagi-lagi hanya diam. Sungguh, jika dia menatapku seperti ini aku bisa salah mengartikan. Aku akan mengira kalau dia benar-benar menganggapku seperti istrinya. Tolong, jangan buat aku bingung dengan semuanya. Pelan tangannya mengusap pipiku. Ada gelenyer aneh yang tidak tahu dari mana membuatku kembali mematung. Aku seperti membeku dan uniknya getaran itu begitu nyata. Jantungku kembali berpacu dengan hebatnya ketika tangannya itu mengusap pipiku. Apa sebenarnya yang mau dia lakukan? Kenapa harus menyiksaku seperti ini? “Masih belum boleh lihat apa yang ada di balik jilbabmu?” ucapny
Aku seperti de javu. Suasana ini tidak asing. Aku pernah dua kali menyaksikannya secara langsung. Berbagai suara yang berpadu membuatku harus bersusah payah mengendalikan diri. Rasanya aku ingin pergi. Namun, tidak bisa. Aku yang lebih kuat di sini dibanding yang lain. Hubunganku dengan Papa tidak sedalam jika dibandingkan dengan banyaknya orang yang hadir. Terlebih kepada pria yang sejak tadi sudah duduk di samping jenazah yang sudah dikafani. Suara lantunan Al-Qur’an begitu nyaring terdengar. Perpaduannya dengan deruan tangis sungguh membuatku trauma. Kenanganku terlempar ke satu tahun lalu. Seingatku, saat itu Ayah hanya berpamitan untuk pergi menemui temannya. Dia bilang tidak lama. Namun, nyatanya dia malah pergi untuk selamanya. Bunda dulu juga bilang begitu. Dia bilang hanya akan ke rumah bidan untuk melahirkan calon adikku. Namun, nyatanya dia pulang dalam keadaan tak bernyawa. Orang dewasa memang sangat pintar berbohong. Aku baru saja dari rumah adik Mama yang hanya berjarak
Pemakaman sudah selesai tepat sejak pukul sembilan tadi. Sekarang, orang-orang masih ramai berdatangan. Kerabat juga masih berkumpul. Mereka mengelilingi Mama dan Aya. Mama sudah benar-benar lemah. Dia hanya bisa duduk bersandar ketika satu per satu orang menyampaikan belasungkawa. Di antara semua orang, aku sedang mencari satu pria yang belum kulihat sejak di pemakaman tadi. Dia belum memasukkan apa pun ke perutnya sejak kemarin sore. Aku sudah memaksa, tapi dia bilang nggak bisa. Katanya dia bisa muntah kalau dipaksa. Apa dia pingsan di suatu tempat? Aku keliling rumah sampai akhirnya menemukan dia di dalam kamar. Kamar ini adalah kamarnya saat dulu ketika masih tinggal bersama orang tuanya. Dia sedang duduk bersandar di kaki ranjang. Tatapannya menatap ke dinding kosong. Dinding itu sama dengan tatapan matanya. Dia benar-benar seperti orang linglung dan acak-acakan. Di tangan kirinya ada rokok yang belum dinyalakan, sedangkan tangan kanannya memainkan pemantik. Kuambil pemantik d
Aku tidak bisa lama di Bogor. Tidak ada yang tahu kalau aku memiliki hubungan dengan Mas Abi. Aku perlu melanjutkan bimbingan dan Aksa perlu melanjutkan aktivitasnya. Mama juga memintaku untuk kembali ke Jakarta. “Yang hidup harus tetap hidup. Mama minta kamu kembali ke Jakarta supaya Aksa nggak kelamaan di sini,” ucapnya. Aku mau menolak, tapi yang diucapkannya memang benar. “Mama baik-baik aja selama kamu dan Abi juga baik-baik. Mama tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi, yang perlu kamu tahu juga, anak itu punya banyak hal yang nggak bisa ditebak. Dia butuh kamu. Dia perlu teman yang bisa memahaminya. Dan dia sudah memilihmu.” Kalimat Mama membuatku banyak berpikir. Aku tahu, belakangan ini kami semakin dekat. Namun, jika dibilang dia membutuhkanku, itu rasanya terlalu berlebihan. Dia tidak memilihku, tapi aku yang memaksa untuk masuk ke dalamnya. Dia punya Rania. Hubungan mereka dekat, bahkan Ranialah yang paling memahaminya. Mengingat ceritanya kala itu tentang Rania membuatku sera
“Periksa ke dokter aja,” ucapku ketika baru kucek suhu tubuhnya hanya turun 0,2 derajat celcius pagi ini. “Aku cuma butuh istirahat.” Aku tahu itu. Dia memang butuh istirahat. Sejak meninggalnya Papa dia seperti memaksa diri untuk menjelma jadi Super-Man. “Supaya tahu pastinya sakit apa, Mas.” Dia menggeleng. “Aku tahu tubuhku. Kamu nggak ke kampus?” Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Nggak ada bimbingan.” “Aksa mana?” “Lagi sarapan di bawah. Mas Abi makan, ya, aku antar Aksa dulu, nanti langsung pulang.” Aku sudah meletakkan semangkuk bubur, teh hangat campur madu, dan air putih di sana. Obat penurun demam juga tinggal dia konsumsi. Kuharap dia sudah dewasa dan tidak perlu kusuapi. Saat aku menuruni tangga, terdengar bel rumah yang berbunyi. Rasanya nggak sopan bertamu di jam sepagi ini kalau nggak beneran penting? Aku sama sekali tidak merasa aneh saat membuka pintu sampai kulihat ada wanita yang mengenakan dress panjang bermotif floral berdiri di sana. Dia datang dengan eks
Aku masuk kamar Aksa, lalu menguncinya. Aku duduk di balik pintu sambil memeluk kedua kakiku yang terlipat. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku yang sukarela menjatuhkan diri kepadanya. Wawa benar, harusnya aku nggak begini. Harusnya aku bisa tegas sejak awal dengan batasan-batasan kami. Aku yang mudah dirayu. Aku yang terlalu naif dan menganggap semua orang yang memperlakukanku baik, maka akan baik selamanya. Konsep hidup di dunia nggak begitu. Banyak manusia yang sengaja pura-pura baik hanya karena ingin mendapatkan sesuatu. Apa yang dia mau sampai harus berpura-pura menganggapku penting untuknya? Padahal, endingnya sudah kutahu akan seperti apa. “Una ….” Suara pintu yang terketuk dipadukan dengan panggilan namaku sama sekali tak membuatku bergeming. Itu suara Mas Abi. Sungguh, aku akan merasa lebih baik andai dia bersikap seperti awal. Bersikap kalau kami ini nggak mungkin bersama. Namun, dia malah berkebalikan. Dia malah membuat kami ini memiliki ikatan yang benar-benar spesial.
Aku tidak butuh persetujuan Mas Abi untuk pergi keluar bersama Kak Alex. Toh, dia juga tidak meminta persetujuanku untuk membawa Rania masuk ke kamar. Sekarang, di sinilah aku berada. Di sebuah kafe dekat kompleks. Di depanku ada Kak Alex yang sejak lima menit lalu masih konsisten mengaduk dan menegak minumannya. Dia masih diam. Begitu juga denganku. Aku ingin menceritakan semuanya, tapi aku sendiri bingung memulainya dari mana. Meski ini membingungkan, aku tetap perlu memulainya. Kebingunganku saat ini nggak akan sebanding dengan kebingungan Kak Alex. Mungkin dia sedang memilah kata di otaknya untuk mencari awal pembahasan yang tepat. Perlahan, tapi kucoba untuk meruntutkannya. Semua bermula dari permintaan Ibu yang mau menjodohkanku dengan Mas Harun. Pertengkaran keluargaku, hingga malam kecelakaan. Sampai pada akhirnya, kata ‘Sah’ itu terucap dan bagaimana aku menjalani hari-hariku. Aku memperhatikan gelagat Kak Alex yang sampai sekarang tidak mau melihat mataku. Dia malah memakan