"Sakit, Ka," keluh Sheyra saat inti tubuhnya yang berada di bawah sana sedang berusaha ditembus oleh kekasihnya, Kafka.
Mendengar itu, Kafka seketika menghentikan gerakan mendorongnya dan menatap wajah Sheyra yang kini tampak meringis, menahan sakit. "Maaf ya. Aku janji akan pelan-pelan," bujuk Kafka dengan suara yang begitu lembut, yang telah membuat Sheyra terhipnotis sampai kepalanya pun mengangguk polos.Sejenak, Sheyra bisa menarik napasnya dengan lega saat dorongan itu tak lagi dirasakannya. Dia pun mendongak untuk memindai wajah Kafka yang kini berada di atasnya. Peluh dan keringat pun telah menghias wajah tampannya, yang membuat jemari Sheyra gatal dan bergerak menyeka keringat itu."Kita .. harus banget lakuin ini ya, Ka?" tanya Sheyra yang segera membuat Kafka mengangguk sambil menyimpan jemari kekasihnya yang tengah menyentuh hidung mancungnya. Dia kecup punggung tangannya beberapa kali sebelum menyimpan kedua lengan Sheyra di masing-masing sisi tubuh kekasihnya."Aku nggak mau kehilangan kamu. Dengan kita melakukan ini, maka kita nggak akan bisa dipisahkan lagi.""Sekarang, kamu janji dulu kalau kamu nggak akan ninggalin aku. Apapun keadaannya, aku harap kamu akan tetap menungguku pulang dari Melbourne," pinta Kafka meminta Sheyra untuk berjanji kepadanya.Tak langsung melakukan apa yang diinginkan kekasihnya, Sheyra justru mengamati sepasang netra milik Kafka demi mencari kesungguhan dalam ucapan kekasihnya itu, hingga dia pun mampu menemukan sebuah tatapan yang masih sama, penuh cinta dan kehangatan.Tentu saja, Sheyra sangat menyukai tatapan yang dilayangkan oleh Kafka itu. Bahkan sangat bahagia.Namun saat teringat bila perpisahannya dengan Kafka akan terasa sangat lama, Sheyra pun menggelengkan kepala. "Bagaimana kalau justru kamu duluan yang ninggalin aku? Di sana 'kan banyak perempuan cantik, bule-bule yang tentunya lebih sempurna dari aku." Sheyra tak mampu menyembunyikan keresahan yang akhir-akhir ini mengganggu hatinya.Kelakar renyah pun terdengar dari Kafka dan hal itu sangat berbanding terbalik dengan Sheyra yang justru sudah mengerucutkan bibirnya.Melihat wajah cemberut kekasihnya itu pun membuat Kafka menghentikan tawa dan mulai mendekatkan wajahnya. Dia berbisik. "Itu nggak akan terjadi. Aku janji. Kamu akan tetap jadi satu-satunya di hatiku."Dan Kafka pun kembali menciumi bibir Sheyra sambil memberikan sentuhan di bagian-bagian tertentu agar tubuh kekasihnya itu terangsang.Mendapatkan serangan yang bertubi-tubi itu, tentunya membuat Sheyra menjadi hilang akal. Apalagi saat jemari milik Kafka menyentuh inti tubuhnya dan bermain di sana, semakin membuat Sheyra menggila.Tidak berapa lama kemudian, Sheyra menjerit sakit karena merasakan perih pada inti tubuhnya akibat Kafka yang telah berhasil menembus dinding selaput daranya. Namun, rasa sakit itu perlahan-lahan menghilang, berganti dengan sebuah kenikmatan yang membuatnya lupa jika bumi masih berputar dan dunia tidak selalu berada di pihaknya.Sheyra lupa jika di dunia ini masih ada sebuah sebab dan akibat yang bisa kapan saja menghancurkan hidupnya.*****Beberapa hari kemudian..."Lo beneran mau lanjut S2 di Melbourne, Ka?" tanya Arya, yang telah menjadi sahabatnya semenjak duduk di bangku SMP. Laki-laki itu datang saat Kafka dan Sheyra hampir melakukan kegiatan itu lagi, seperti beberapa hari yang lalu.Beruntung, Arya tidak mengetahui nomor sandi apartemennya, sehingga Kafka dan Sheyra masih memiliki waktu untuk mengenakan pakaiannya."Lanjut lah. Kan gue dapat beasiswa. Sayang banget kalau nggak dipakai," jawab Kafka sambil mencomot pisang Nugget hangat buah karya dari kekasihnya, Sheyra.Arya terlihat melirik Sheyra yang tengah sibuk membersihkan dapur, setelah sebelumnya perempuan itu jadikan berantakan demi bisa membuat pisang Nugget kesukaan Kafka."Lo ... Nggak kasihan sama Sheyra? Tuh cewek, bakal lo tinggal dua tahunan loh, Ka," ucap Arya setengah berbisik agar Sheyra tak mendengar ucapannya.Namun, Arya telah salah besar jika menganggap bahwa Sheyra tidak mampu mendengar ucapannya karena perempuan itu memiliki indera pendengaran yang begitu peka, bahkan dari jarak yang lumayan jauh. Apalagi kini, saat dia berkata demikian dan jarak Sheyra hanya berada beberapa meter di depannya."Gue nggak papa kok. Pacar yang baik 'kan yang bisa dukung pacarnya untuk menjadi lebih baik lagi. Lagian, tindakan Kafka itu positif kok. Dia mau kejar mimpinya," ucap Sheyra yang kini berjalan mendekati sofa, dimana Kafka dan Arya duduk. Dia sempat melepas apron yang dipasang di depan tubuhnya kemudian meletakkannya di pinggiran sofa.Melihat Kafka yang menepuk tempat kosong di sampingnya, Sheyra pun duduk di sebelah laki-laki yang dicintainya itu. "Makasih ya, Sayang," ujar Kafka sambil melabuhkan kecupan pada pelipis Sheyra.Tindakan Kafka itu langsung membuat Arya memalingkan muka dan berkata. "Sial! Kalian tuh nggak tau tempat banget. Apa nggak kasihan sama gue yang masih nggak tau mesti nyium siapa?" gerutunya yang mengundang tawa dari Kafka dan Sheyra."Makanya cari pacar. Lagian, kenapa lo betah banget jadi jomblo sih? Heran gue," ledek Kafka yang hanya ditanggapi Arya dengan sebuah senyuman penuh arti.Melihat raut wajah Arya saat ini, Kafka pun seketika bergidik ngeri dan berkata. "Apaan sih lo! Senyum-senyum gitu. Ngeri gue." Sambil mendorong kening Arya pelan."Udah, Ka. Kasihan Arya kalau diledek terus. Siapa tahu, dia nikahnya bakal lebih dulu daripada kita. Bisa aja kan?" Sheyra berusaha menengahi perdebatan antara Kafka dan Arya itu."Iya, iya." Kafka akhirnya menurut. Dia pun bergerak menarik pinggang Sheyra agar lebih dekat lagi dengannya."Nanti dilanjut lagi ya?" bisik Kafka di telinga Sheyra yang segera mendapatkan gelengan kepala disertai bibir Sheyra yang mencebik."Nggak bisa. Nanti sore aku harus pulang karena Papa minta aku datang ke rumah untuk makan malam," jawab Sheyra dan pembahasan dua insan yang sedang jatuh cinta itu pun membuat Arya hanya bisa mengernyitkan keningnya bingung."Pada bahas apaan sih? Bisa nggak, kalau lagi bertiga tuh, gue diajak ngobrol. Mentang-mentang pacaran, jadi lupa sama yang jomblo," dumal Arya yang membuat Kafka dan Sheyra tertawa.Cih. Jadi benar jika orang yang sedang jatuh cinta itu bisa menjadi gila? Buktinya, kedua insan itu tertawa di saat Arya tak mengucapkan kalimat yang lucu sedikit pun. Karena kesal dan merasa diabaikan, Arya pun berkata. "Dah lah! Gue mau cabut. Males banget mesti liat orang pacaran tiap hari," kesalnya yang sudah bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pergi."Sehat-sehat putra kecil ayah!" pekik Kafka saat Arya hampir mencapai pintu keluar apartemen tersebut. Mendengar itu, Arya pun berbalik dan mengumpat kasar."Bangshad!"Karena ucapannya itu, Arya masih bisa mendengar Kafka yang tertawa kencang. Namun setelah dia keluar dan menutup bilah pintu apartemen Kafka, tawa laki-laki itu tak lagi terdengar.Bergerak, Arya menuju lift agar segera tiba di lantai dasar. Dia hela napasnya dengan kasar saat benda kotak itu membawanya turun. Jemarinya pun bergerak menyisir rambutnya dengan frustasi. Dia kesal, dia cemburu, sekaligus dia kecewa pada Sheyra walau dia menyadari jika perempuan itu bukanlah siapa-siapa baginya.Saat benda kotak itu berhasil mengantarnya tiba di lobi, Arya pun tergesa-gesa menuju mobilnya untuk menenangkan gemuruh yang kini mengisi relung kalbunya.Setelah melihat keadaan Sheyra dan Kafka yang berada di dalam apartemen hanya berdua, ditambah sebuah bercak merah di leher Sheyra, belum lagi Kafka yang membukakan pintu cukup lama dan keluar dengan penampilan yang berantakan, sudah bisa menjelaskan tentang semuanya yang telah terjadi di antara keduanya."Kafka brengsek!" umpat Arya kemudian memukul gagang setir dengan kasar."Harusnya, gue nggak perlu peduli. Mereka 'kan pacaran. Mereka saling cinta. Sheyra juga bukan siapa-siapanya gue. Tapi, gue tetep nggak rela kalau Sheyra dirusak. Kafka sialan!"Cukup lama bagi Arya untuk bisa menenangkan dirinya di dalam mobil karena dia tidak mungkin mengemudikan mobilnya dalam keadaan kacau. Setelah dirasa perasaanya sedikit membaik, Arya pun mulai melajukan kendaraannya dengan tak tahu arah harus kemana.Arya akui, dia memang menyukai Sheyra semenjak Kafka mengenalkannya sebagai kekasih. Gadis itu, seperti memiliki aura tersendiri sampai mampu membuat Arya tak tertarik lagi dengan perempuan mana pun. Karena hal itulah, Arya masih betah menyendiri.Entahlah. Arya juga tidak tahu apa yang dirinya harapkan dari hubungan Sheyra dan Kafka. Putus? Rasanya tidak mungkin, mengingat bagaimana keduanya saling mencintai. Apalagi, kini keduanya sudah berani bertindak dengan begitu jauh. Mungkin, keduanya memang sudah tak bisa dipisahkan lagi oleh badai mana pun."Gue harap, Kafka nggak lupa pakai pengaman," gumam Arya seketika benci dengan isi kepalanya sendiri yang sudah berani berpikiran terlalu jauh padahal apa yang dia tuduhkan itu belum tentu terbukti karena masih menjadi dugaan.bersambung..."Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A