Alana terdiam. Kata-kata Dave barusan seolah meresap jauh ke dalam relung hatinya yang paling dalam. Senyum tipis perlahan muncul di wajahnya, sementara matanya mulai berkaca. Selama ini, ia selalu mengira hanya dirinya yang terjebak dalam kenangan masa lalu, namun ternyata Dave merasakan hal yang sama. “Selama ini ....” suara Alana bergetar, “aku tidak pernah bisa melupakanmu. Namamu tersimpan rapi di sudut hatiku, Dave. Aku pikir dengan meninggalkanmu, aku bisa membuka lembaran baru bersama pria lain. Nyatanya, itu tidak pernah bisa kulakukan. Aku … aku juga masih mencintaimu.” Mata Dave membesar, tak menyangka bahwa perasaannya ternyata berbalas. Hatinya berdesir hangat, seolah beban yang lama dipendam akhirnya terangkat. Dengan lembut, ia meraih tangan Alana dan menempelkan kecupan hangat di punggungnya. Angin malam berhembus lembut, seakan menjadi saksi bisu atas perasaan yang akhirnya terungkap. Di rooftop hotel itu, di bawah taburan bintang dan sinar rembulan, dua hati yan
Alana menoleh cepat saat mendengar seseorang menyapanya.“Dengan Bu Alana?” suara seorang pria terdengar sopan namun tegas.Ia mengerutkan kening, bingung karena merasa tidak mengenali sosok di hadapannya. “Iya, saya Alana,” jawabnya hati-hati.“Saya diminta Pak Dave untuk menjemput,” ujar pria itu singkat.Alana semakin heran. Kenapa Dave tidak menjemputnya sendiri? Bukankah biasanya Dave selalu ada jika ia mengajak bertemu? Ada sesuatu yang terasa janggal. Namun melihat sikap pria itu begitu profesional, ia menahan diri untuk tidak banyak bertanya.“Mari,” pria itu mempersilakan.Alana akhirnya ikut masuk ke dalam mobil. Suasana di dalam cukup hening, hanya suara mesin yang terdengar. Ia sempat menatap jalanan di luar, mencoba menebak arah tujuan. Namun karena Dave tidak pernah memberitahu detail rencananya, ia memilih diam, menyerahkan diri pada waktu.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah hotel mewah. Alana tertegun sejenak. Ingatannya melayang pada pembicaraannya dengan Dave ke
“Ini undangan untukmu.” Dave mengulurkan sebuah kartu undangan ke arah Akram.Akram menatap sekilas benda yang diberikan itu. Dengan gerakan malas, ia menyambutnya. Warna maroon yang dipadu dengan sentuhan emas tampak elegan dan mahal. Di bagian depan tertera inisial D dan A. Hatinya langsung menangkap makna di balik itu adalah Dave dan Alana.“Aku harap kamu bisa datang,” ucap Dave dengan senyum penuh keyakinan.Tatapan Akram menusuk. Bibirnya tertarik membentuk senyum sinis. “Sepertinya kamu ingin menunjukkan bahwa Alana benar-benar milikmu.”Senyum Dave semakin melebar, kali ini lebih provokatif. “Kamu benar. Aku memang ingin semua orang tahu bahwa Alana milikku, agar tidak ada seorang pun yang mencoba mengambilnya dariku.” Kata-katanya sarat dengan penekanan, jelas sekali ditujukan pada Akram.Akram hanya menanggapi dengan senyum samar, meski dalam hati ia tahu betul arah sindiran itu.“Dave.”Suara lembut itu memecah ketegangan. Kedua pria itu menoleh bersamaan. Alana datang, lan
Suara manajer terdengar begitu tegas. Membuat tubuh Alana seketika menegang, napasnya tercekat, dan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Rasa takut merayapi dirinya, tetapi ia tahu, ia tidak bisa menyerah begitu saja. Jika tidak ada izin cuti, bagaimana pernikahannya bisa terlaksana?“Pa—”“Aku tidak memberikanmu izin. Kembali ke meja kerjamu.” Ucapan Alana dipotong begitu saja. Alana terdiam, lidahnya kelu. Baginya, mencoba berbicara lagi hanya akan membuat suasana semakin buruk. Dengan langkah gontai, ia kembali ke meja kerjanya. Setiap hentakan hak sepatunya seolah menambah berat beban di dadanya. Ia duduk, memandangi layar komputer yang buram di matanya. Pikiran berputar-putar, mencari jalan keluar. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan izin? Semua yang sudah ia persiapkan akan berantakan jika manajernya tetap bersikeras menolak.Di tengah kebingungannya, satu nama tiba-tiba muncul di kepalanya yaitu Akram. Mungkin ini nekat, bahkan berlebihan, tetapi hanya dia yang bi
Pertemuan keluarga berjalan dengan lancar. Semuanya sepakat jika pesta pernikahan akan diadakan dalam seminggu lagi. Setelah acara selesai, Mahesa pulang bersama dengan sopirnya, sedangkan Dave dan Alana pulang ke apartemen mereka berdua. Sepanjang perjalanan, suasana begitu hangat. Senyum merekah di wajah keduanya. Namun, tiba-tiba senyum itu sirna dari wajah Alana. “Dave, apa bisa menyiapkan pernikahan dalam seminggu?” Alana menatap Dave yang sedang menyetir. Dave menatap Alana sejenak. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Bisa, tenang saja. Aku punya banyak koneksi untuk mempersiapkan pesta dalam seminggu.” Dave tinggal menyuruh orang untuk mengurus. Uang tidaklah menjadi urusan besar. Berapapun ia bayar agar pesta dapat terlaksana minggu depan. Jangankan seminggu lagi. besok pesta diadakan pun ia bisa melakukannya. Alana melihat wajah Dave yang begitu tenang. Sejenak ia lupa jika Dave adalah Presdir yang bisa melakukan apa pun. Mobil terus melaju, tetapi mobil tidak mengarah
Alana hanya terdiam, matanya membesar. Dave tidak menjelaskan berapa banyak orang yang datang ke rumah. Kini halaman dipenuhi dengan banyak orang. Orang-orang tersebut membawa kotak bingkisan di tangan mereka. “Itu karyawan kantor Pak Dave yang diminta untuk membawa barang. Bukan keluarga.” Suara Jenny terdengar ketika suasana sedikit panik.Alana mengalihkan pandangannya pada kakaknya. Kakaknya bekerja di perusahan Dave. Jadi yang diucapkan kakaknya, pastinya tidak asal. Kakaknya pasti tahu mana karyawan dan mana keluarga. Dave berjalan beriringan dengan kakeknya. Di belakangnya ada beberapa orang yang membawa hadiah untuk di tangan. Tepat di depan rumah, sudah disambut oleh keluarga Alana. Senyum mereka begitu semringah menerima tamu. “Selamat pagi, Pak Alvin.” Dave mengulurkan tangan pada Alvin. “Pagi, Dave.” Alvin menerima uluran tangan. “Perkenalkan, ini kakek saya.” Dave mengalihkkan pandangan pada kakeknya. “Selamat pagi, Pak. Saya Alvin-ayah Alana.” Alvin mengulurkan t