Share

5. Kamu Istriku

“Aku tidak mau masuk ke dalam sana. Sebaiknya aku turun.”

Selepas perbincangan tiket bulan madu yang tidak disukai Antonio, Jesika memilih keluar dari kamar. Pasalnya, pria itu tidak membantah lagi perintah Nenek Megan, tetapi justru mengamuk di dalam kamar.

Sayang, keberadaannya yang seorang diri itu dilihat oleh seseorang.

“Jesika? Kenapa di sini sendirian? Mana Antonio?”

Jesika langsung melompat kecil. Badannya spontan berbalik, bertemu dengan sosok yang baru saja memanggil namanya. “Ne-nenek …” celetuknya gagap. Jesika hampir mendesis ketika bibirnya mendadak kaku saat bicara dengan Megan.  “A-Antonio, di kamar, Nek.”

“Apa Antonio memarahimu?”Nenek Megan kembali bertanya.

“Tidak,” jawab Jesika dengan cepat sampai nadanya sedikit melengking, membuatnya dengan cepat mengatupkan bibir lalu menunduk malu.

Megan tersenyum, lalu menepuk kedua pundak Jesika. “Tidurlah, kamu pasti capek. Susul suamimu. Kalau dia macam-macam, kamu bisa katakan pada Nenek.”

Jesika tersenyum kecil, lalu mengangguk. Hanya itu yang bisa dia lakukan.

Andai boleh meminta dan memilih, Jesika ingin sebuah tempat untuk istirahat malam ini selain berada satu ruangan dengan pria itu. Kamar yang sempit pun tidak masalah. Ah, kalau perlu izinkan saja dia pergi dari rumah ini sekalian.

Akhirnya, meski enggan … Jesika kembali menekuri tangga untuk naik ke lantai dua. Sejenak, dia menajamkan telinganya, mencoba mencari tahu, apakah Antonio masih dalam mode mengamuk seperti sebelumnya?

Lalu, saat sudah tidak terdengar lagi suara barang-barang jatuh, gadis itu baru memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

Tok! Tok! Tok!

Sama sekali tidak ada sahutan dari dalam sana. Tiba-tiba, sekelebat pikiran buruk menghampirinya, membuat degup jantungnya semakin cepat. 

Tidak lama, dia kembali dibuat kaget saat tiba-tiba terdenar suara kunci pintu dibuka. Pintu yang semula terbuka hanya celah itu kini didorong Jesika perlahan. Betapa kagetnya gadis itu ketika melihat situasi kamar yang tadi ditinggalkan dalam keadaan rapi, kini seperti kapal pecah.

‘Dia benar-benar mengamuk!’ komentar Jesika dalam hati saat melihat banyak barang berserakkan di lantai.

Lalu sama-samar, Jesika mendengar suara gemericik dari dalam kamar mandi. Dia menebak, setelah puas mengeluarkan amarahnya, Antonio memutuskan untuk mendinginkan diri.

Gadis itu mengedikkan bahu, mencoba tak acuh pada pemikirannya sendiri. “Apa boleh aku bereskan semua ini?” gumam Jesika. “Aku benci tempat berantakan.”

Jesika menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Hanya bayangan samar-samar terlihat dari dinding kaca. Siluet badan tegap Antonio terlihat begitu menggoda dari tempatnya berdiri. Sebelum otaknya berpikir terlalu jauh, Jesika dengan cepat membereskan kakacauan ini.

Namun, saat kegiatan bersih-bersihnya belum selesai … suara bariton terdengar, menginterupsi kegiatannya.

“Ambilkan aku handuk!”

Jesika terdiam sesaat. Dia memastikan kalau telinganya memang mendengar suara.

“Kamu masih di situ, kan? Cepat ambilkan aku handuk!” Lagi, Antonio berteriak.

Sadar tidak ada orang lain di dalam kamar, Jesika langsung terkesiap. Dengan keadaan panik, dia bergegas mencari handuk yang diminta pria itu.

Namun, saat handuk itu baru saja dia dapatkan, mendadak pintu kamar mandi terbuka dan Antonio keluar dari sana hanya dengan celana rumahan pendeknya.

“Argh!” Refleks, Jesika berteriak dan langsung membalik badan. Handuk yang telah dia temukan bahkan dia cengkeram kuat-kuat. “I-ini handuknya.” Dengan mata tertutup, juga tanpa menoleh ke arah Antonio yang berdiri di belakangnya, Jesika mengulurkan benda yang dicari pria itu sedari tadi.

Terdengar decakan bersamaan dengan sambaran handuk di tangan Jesika. Dengan santainya, Antonio memutar langkah, sambil melingkarkan handuk pada pinggangnya lalu menghilang masuk ke dalam ruang ganti.

‘Apa maunya pria itu?’ batin Jesika.

Semua barang-barang sudah tertata kembali walaupun sedikit ada yang berbeda dari semula. Tidak masalah, setidaknya kamar ini kembali rapi.

Suara pintu kamar mandi kembali terdengar dibuka, disusul kemudian suara Antonio yang bertanya, “Bicara apa saja Nenek denganmu?”

“Ha-Apa?” Jesika ternganga, terkesiap.

“Nenek bicara apa saja?” Antonio kembali mengulang pertanyaan dengan nada ditekan.

Sambil memegang telapak tangannya dan berdiri dengan kedua kaki rapat, Jesika menjawab, “Tidak bicara apa-apa.”

Antonio keluar kamar mandi dan kali ini sudah mengenakan kemeja tidur dengan celana pendek santainya.

‘Sialan!’ Jesika memekik dalam hati.

Pemandangan di hadapannya ini benar-benar sempurna. Wajah tampan dengan tubuh proporsional, kancing atas yang terbuka, juga suara bariton pria itu yang terdengar dalam begitu menggelitik kewarasannya. Tak sadar, Jesika sampai menelan ludah.

“Soal kamu bisa berada di bagasi mobilku ….”

 “Oh, tentang itu, aku ….” Jesika buru-buru menyela, tetapi dia kehilangan kemampuan berbicara setelahnya.

Entahlah, dia agak malu jika harus berterus terang.

 “Kamu kabur dari pernikahanmu?” tebak Antonio, membuat raut wajah Jesika sedikit terkejut.

“A-aku….”

Antonio duduk bersandar di sofa sambil menyilang kaki. Tatapnya lurus ke arah Jesika yang kini berdiri semakin menciut.

Kepala wanita itu masih menunduk. Ada rasa takut, juga menegangkan, seperti sedang diinterogasi atas kesalahan yang fatal.

“Ya, aku kabur dari pernikahanku,” jawab Jesika pada akhirnya.

Antonio mendecih lalu tersenyum miring. Tatapannya kini menyalang, berpadu antara sebuah ejekan juga rasa kebencian.

“Apa Wanita memang suka seperti itu? Kabur di hari penting? Sungguh konyol!” Antonio menatap Jesika tajam. Ada raut jijik, tetapi hanya bertahan sepersekian detik sebelum pria itu kembali berujar, “Ah, tapi setidaknya kamu sudah menolongku. Aku aman meskipun harus menikah dengan perempuan yang entah berasal dari mana.”

Pria itu terus berbicara, membuat Jesika kemudian menyimpulkan sesuatu.

‘Jadi benar, calon istrinya juga kabur di hari pernikahan?’

Namun, tentu saja kesimpulan itu tidak berani dia ujar dengan lantang, karena merasa takut terkena amarah pria yang baru saja reda dari amukan sebelumnya.

“Ehm, apa boleh aku tanya sesuatu?” Gugup, Jesika memberanikan diri menatap singkat pada Antonio yang mengangguk menjawab pertanyaannya. “Sampai kapan aku harus menjadi istriu, Tuan Antonio? Apa aku punnya kesempatan untuk pergi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status