Kelopak mata terbuka perlahan menyambut sorot matahari yang mengintip dari balik tirai tipis yang terpasang pada jendela kaca. Antonio melengkuh sebelum kemudian membuka mata dengan lebar. Yang ia lihat sekarang langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya menoleh ke samping, lalu dengan cepat turun dengan kepala sedikit terangkat masih dalam posisi berbaring telentang. Antonio melihat selimut menutupi setengah badannya.
“Sshht!” Antonio mendesis ketika hendak mengangkat badannya. Kepalanya masih sedikit pening.
Memperkuat tenaga di tangannya, Antonio mencoba duduk tegak. Wajahnya masih merengut sampai mata menyipit menahan pening dan kantuk yang belum hilang.
“Jam berapa sekarang? kenapa kepalaku pening sekali? Apa yang terjadi semalam?”
Antonio bertanya-tanya sambil terus mengingat-ingat, sampai tiba-tiba sosok cantik keluar dari dalam kamar mandi. Mata Antonio menyipit menapat jeli, sementara yang ditatap masih belum menayadari sepasang netra mengawasi.
Jesika membungkuk tengah mengeringkan rambutnya yang basah. Dia sudah berpakain rapi setelah tadi sempat pusing memilih karena saking banyaknya di dalam lemari. Entah siapa yang menyiapkan semuanya, tapi di dalam lemari benar-benar lengkap. Ukuran juga pas dengan badan Jesika yang setinggi seratus enam puluh lima senti meter dengan barat badan lima puluh kilo gram.
Hanya saja ada yang membuat tidak nyaman ketika hendak mengenakannya. Pakaiannya yang tertata di dalam lemari lebih banyak sebuah dres dan rok. Jika atasannya bisa diterima, tapi Jesika sungguh tidak terbiasa memakai rok. Dia lebih sering mengenakan celana panjang dengan blous atau kemeja longgar, sementara yang dia temukan untuk pakaian malam adalah sebuah piama.
Menit berikutnya, Jesika mengibas rambut yang belum kering sempurna kebelakang bersamaan dengan badannya yang menegak. Detik itu juga Jesika langsung terperanjat sampai kakinya mendadak oleng.
“Tu-tuan …” ucapnya gagap. “Tuan sudah bangun?”
Kepala pria itu sedikit miring seperti hendak mengintimidasi, tapi kemudian justru membuang muka dan melempar selimut ke samping.
“Siapkan aku air mandi. Aku mau berendam,” perintahnya datar.
Jesika mengangguk saja. Dia menggulung lebih dulu rambut panjangnya dengan handuk sebelum masuk kembali ke dalam kamar mandi. Sementara Antonio, tengah menguap di tepi ranjang lalu mengecap-ngecap bibirnya yang terasa sedikit pahit.
“Semalam aku mabuk?” pikirnya sambil kembali mengingat-ingat.
Antonio hanya ingat dirinya terjatuh di depan pintu, selebihnya hanya samar-samar melihat seseorang membantunya naik ke atas ranjang.
“Apa dia yang bawa aku ke kamar?” tanyanya dalam hati. “Ah masa bodo! Aku tidak peduli. Sial! kepalaku masih terasa berat!”
Antonio meraih segelas air putih di atas meja samping ranjang. Dia meneguknya sampai hanya sisa di dasar saja.
“Duh, bagaimana menyalakannya?” decak Jesika begitu masuk ke ruang bak mandi. Ada sekat dinding kaca samar-samar di sini.
Jesika menggaruk keningnya sendiri dengan wajah bingung. Dia tadi hanya mandi di bawah shower saja, jadi tidak terlalu bingung. Namun ketika masuk ke sisi ruang lain, wajahnya langsung melongo seperti orang tolol yang tidak tahu apa.
Jesika terlahir dari keluarga sederhana, masuk ke rumah besar ini saja sudah tercengang, begitu melihat kamar tidur dan beralih pada kamar mandi, rasanya seperti ingin menangisi nasibnya karena lahir dari keluarga miskin.
“Oho! Jesika ayolah! Gimana ini?” decak Jesika lagi sambil menatap beberapa gagang kran dan juga tombol yang terlihat membingungkan.
“Mana tombol yang bisa mengeluarkan air panas?”
Jesika menebak-nebak lalu memutuskan untuk memutar gagang bulat di sisi kiri selang. Bukan air panas yang keluar, melainkan air dingin. Jesika beralih menekan sebuah tombol di sisi kanan tapi sayangnya lupa mengangkat tangan yang tengah memegang bibir bak.
“Aw!” jeritnya saat itu juga.
Air manas mengalir dengan deras, mengepulkan uap keudara sampai membuat dinding kaca berembun.
Jesika meringis menahan sakit seperti terbakar pada punggung telapak tangannya yang secara tidak sengaja terkena air panas. Jesika mulai mengibas-ngibas lalu meniupnya berapa kali. Pintu yang terbuka, tentunya membuat sosok pria yang masih duduk di tepi ranjang sambil melihat layar ponsel menoleh.
Antonio terdiam sejenak, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Dia beranjak untuk memeriksa keadaan di dalam sana.
“Ada apa?” tanyanya setelah kepala menyembul masuk ke dalam kamar mandi.
Jesika bergeser menjauh dari bak mandi lalu menoleh pada sosok pria itu. “Ini, aku … oh, tanganku …”
Antonio yang penasaran melenggak masuk. dia melihat air panas itu sudah hampir penuh di dalam bak mandi. Dia buru-buru mematikan kran air, lalu kembali menarik diri berdiri di hadapan Jesika. Matanya turun, melihat Jesika yang tengah memegangi tangan kirinya.
“Kok bisa?” tanyanya dengan nada menyalak.
Jesika sempat berjinjit kecil karena kaget, tapi dia hanya diam menahan perih di tangannya.
“Begitu saja masa tidak bisa? Ceoboh sekali kamu!”
“Maaf, aku kan tidak tahu,” jawab Jesika sedikit meninggi. Dia memang takut, tapi bukan berarti mau saja ketika dimarahi padahal sama sekali tidak bersalah.
“Lagian kenapa sangat membingungkan. Harusnya ada keterangan di sana, mana panas dan mana yang dingin,” protesnya lagi tanpa menyadari kalau pria di hadapannya sudah menatap jengah.
“Biar aku lihat!” Antonio menarik tangan memerah itu. setelah melihat beberapa detik, Antonio kembali berkata, “Keluar! Biar aku obati.”
Jesika menurut saja meski wajahnya sudah cemberut.
Jesika duduk di kursi kayu tiga kaki, sementara Antonio pergi mengambil kotak obat. Kalau tidak segera diberi salem, kemungkinan luka itu bisa melepuh.
Antonio jongkok tepat di hadapan Jesika. Ketika Antonio mulai mengoleskan sebuah salep, Jesika tidak bisa jika tidak mengamati bagaimana raut wajah pria ini begitu serius. Saat Jesika mendesis menahan perih, Antonio sama sekali tidak peduli dan tetap mengolesi salep tersebut, membuat Jesika kembali tenang diam-diam mengamati lagi.
“Nenek akan mengomel kalau melihat luka itu. sebisa mungkin sembunyikan,” ucapnya sebelum beranjak mengembalikan kotak obat pada tempat semula.
Jesika mengangguk. Dia menatap luka yang penuh dengan salep bening itu. rasanya dingin dan sudah tidak terlalu panas atau perih. Meski sudah memerah, setidaknya tidak sampai melepuh.
***
Selamat datang dicerita terbaruku. semoga ceritanya menarik dan nggak bikin bosan ya ... oh ya, mohon maaf jika masih ada beberapa typo.
Jesika termenung diam memandangi tangannya yang memerah. Sesaat dia sempat mengedarkan pandangan, lalu kembali menunduk sambil tersenyum getir. Hidupnya selucu ini ternyata. Membayangkan bagaimana kemarin dia kabur, membuat Jesika hampir setengah gila. Gaun pengantin yang menyentuh tanah, ia angkat untuk memudahkan kedua kakinya berjalan cepat tanpa suara. Para tamu yang Jesika intip dari balik jendela kamarnya, membuat jantung semakin berdegup.Jesika tidak sengaja mendengar obrolan kedua orang tuanya dan satu adik permpuannya di ruang makan. Mulanya tidak ada yang serius, tapi betapa terkejutnya ketika secara jelas mereka mengatakan kalau seseorang akan menikahi Jesika minggu depan.Dari balik dinding, Jesika tertegun mematung. Dengan siapa menikah? Pacar saja sudah tidak punya. Ya, satu bulan yang lalu hubungan baru saja berakhir.“Kenapa tidak turun ke bawah.”Suara dari belakang menegur, membuat Jesika langsung terkesiap. Jesika memandangi pria itu saksama seperti tengah membandi
“Baca dan cermati!”Selembaran kertas melayang lalu mendarat di atas meja. Jesika yang baru masuk beberapa detik yang lalu, tampak tertegun melihat kertas tersebut.“Apa ini?” tanya Jesika penasaran.“Aturan yang harus kamu patuhi selama menjadi istriku.”Kening Jesika berkerut, kemudian ragu-ragu membungkuk meraih kertas tersebut. Sebelum mulai menyusuri setiap hurup yang tertata rapi pada lembaran tersebut, Jesika sempat menatap Antonio sekilas.Jesika mengibas sekali kertas tersebut supaya menegak. Bola matanya mulai bergerak menyusuri setiap huruf di sana. Wajahnya begitu tenang, sampai perlahan ada raut wajah menyipit.“Apa harus seperti ini?” tanya Jesika usai membaca bagian tengah di mana terdapat nomor lima di dan enam.Turuti semua perintah pihak pertama. Dilarang membantah, patuhi semua.Lakukan tugas layaknya seorang istri pada umumnya.Sungguh konyol.“Anda tidak salah tulis kan, Tuan?”Antonio mengangkat pundaknya. “Tentu saja tidak. semua sudah aku pikirkan matang-matang
Sebagai cucu pemilik sebuah agensi, seharusnya Antonio tidak harus bersembunyi lama-lama mengenai kasusnya sekarang ini. Kalian tahu bagaimana uang bisa berkata segalanya. Uang akan menang, begitulah kata orang-orang. Namun, untuk saat ini Antonio belum bisa focus dengan kasusnya. Setelah menikah dengan gadis di dalam bagasi, seharusnya sekarang memang harus lebih focus untuk hal itu, apalagi nenek malah mendukung.Dua koper besar sudah berada teras rumah. Jesika tidak tahu kapan dan siapa yang menatap semua barang-barang tersebut sampai masuk semua ke dalam koper. Bukan hanya baju dalam koper saja yang siap untuk dibawa, melainkan juga barang-barang lain seperti tas berisi perlatan wajah, ponsel dompet dan lain sebagainya.“Jadi nenek membiarkan pelayan masuk ke ruang gantiku?” tanya Antonio dengan nada kesal.Megan terlihat santai. “Kalau tidak begitu, kamu pasti akan sengaja mengulur waktu.”Antonio berdecak sambil menyugar kasar rambutnya. Pria itu membuang muka lantas duduk di so
Perjalanan berlangsung sekitar dua jam setengah untuk sampai di tempat tujuan. Sebuah mobil mengantar mereka setelah turun dari persawat menuju sebuah hotel yang tentunya sudah dipesan oleh nenek sebagai tempat singgah bulan madu. Sheraton Resort menjadi pilihan yang cocok untuk mereka sebagai pasangan pengantin baru.Disisi lain karena tempatnya yang mewah, Megan juga mengenal siapa pemilik hotel tersebut. Pernah juga ikut bergabung beberapa kali setiap ada perayaan tahunan di hotel tersebut.Sampai di hotel, mereka langsung diantar oleh dua orang Bellboy menuju kamar yang sudah dipesan. Sepanjang berjalan menyusuri Lorong, Jesika tidak berhenti terkagum-kagum dengan horel ini. di depan dia sudah di manjakan dengan pemandangan yang indah, bangunan mewah, lalu masuk ke dalam disambut layaknya seorang tamu special, hingga sampai diantar ke kamar.Jadi seperti inikah menginap di sebuah hotel?Jesika menoleh ke belakang sebelum pintu kamar dengan nomor 106 terbuka. Beberapa pintu berdere
“Jadi apa kamu sudah menemukan wanitamu yang kabur?”“Belum. Sial! aku hampir gila mencarinya.”“Aku kirim gambar padamu. Sebaiknya kamu melihatnya.”Panggilan masih tersambung, pria itu melihat sebuah pesan gambar yang masuk. Keningnya mulai berkerut ketika melihat seroang Wanita cantik dengan rambut digulung, dengan poni belah samping. Model rambut yang biasa menjadi tren di Korea.Pria itu kembali menempelkan ponsel pada telinganya. “Di mana kamu melihatnya.”“Jalanan dekat pantai kuta. Bukankah sangat mirip?”“Aku matikan telpon dulu. Kita bisara lagi nanti.”Saat panggilan sudah selesai, pria dengan rambut Buzz cut itu menepi menuju sebuah apartemen. Dia berjalan cepat menuju apartemennya yang berada di lantai dua puluh. Hari cukup melelahkan karena pekerjaan kantor sangat banyak.Sampai di dalam apartemnnya, Joseph langsung duduk di sofa dengan punggung bersandar. Dia menyelunjrkan kedua kakinya ke atas sofa, lalu membuka ponselnya lagi.Tatapan mata pada layar yang menyala itu
“Seharusnya kita segera pindah setelah mendapatkan uang itu, Pa!” decak Sera. “Dia sunggu menakutkan!”Atiqah manarik sang putri dalam pelukannya, sementara matanya menatap sedih bercampr kesal pada sang suami.“Seharusnya kamu mengawasinya lebih ketat supaya dia tidak kabur.”Sanjaya meraup wajah sambil mendesah berat. Bisnisnya mulai berkembang sebenarnya. “Jesika sudah di rumah itu sebelum kabur. Seharusnya pengawal Joseph yang lebih ketat penjagaannya.”“Memang benar, tapi kalau sudah begini, kita yang repot juga. Dia sampai mengancam akan membawa Sera.”Sanjaya meraup kasar wajahnya yang kusam. “Besok kita pindah. Toh sekarang bisnis kita sudah mulai berkembang. kita tidak akan lagi kekurangan. Kalian tenang saja.”Sanjaya berlalu meninggalkan sang istri dan putrinya yang masih berada di dalam kamar. Melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja berlaci, Sanjaya mendekat ke sana. Dia ingat kalau Joseph mengirimkan sesuatu di sana,Sebelum duduk, Sanjaya mengambil kaca mata lebih
Dia tidak sungguh tidur di sampingku, kan?Jesika masih tidur seperti posisi semula. Niatnya akan beranjak ketika Antonio berada di dalam kamar mandi, tapi siapa sangka kalau pria itu bahkan tidak ada dua menit di dalam sana. Terpaksa Jesika yang sudah membuka mata, kembali mengatupkannya pura-pura tidur lagi.Samar-samar Jesika mendengar suara tapak kaki semakin mendekat. Jantung yang semula berdetak teratur, mendadak bergejolak lebih cepat.Apa dia datang ke sini?Antonio berdiri tepat di hadapan Jesika hanya dengan terhalang sofa panjang tanpa sandaran. Kening Antonio terlihat berkerut. Kepala miring, dia mengamati Jesika yang masih terlelap.Antonio mendesah berat lalu melempar handuk ke sembarang tempat. Dia paling malas melihat orang tidur tanpa posisi yang semenstinya. Kalau bukan karena rasa kantuk yang amat sangat, Antonio enggan sekali mengangkat tubuh Jesika—memindahkan—ke sebelah atas bahkan sampai menatakan bantal.“Apa kamu jarang makan? Kenapa ringan sekali,” seloroh An
Jesika meminta berjalan saja untuk sampai di pantai. Jaraknya terlihat jelas jika terlihat dari kamar hotel, tapi kalau dilalui dengan jalan kaki cukup jauh sekitar ratusan meter. Tian sudah menawarkan untuk mengendarai mobil saja, tapi Jesika menolaknya. Sepertinya berjalan menyusuri trotoar sambil melihat-lihat area sekitar menjadi lebih seru, toh tidak akan melelahkan.Wajah Jesika sangat sumringah bahkan hampir setiap orang yang berpapasan dengannya diberi senyuman merekah. Menganggukan kepala, juga sempat lambai telapak tangan.Sementara di belakang, Tian yang sedari tadi mengikuti diam-diam mulai merekam. Entah sudah medapatkan durasi berapa, tapi sepertinya cukup panjang karena dimulai dari ketika mendekati jalanan yang penuh dengan bunga dan pepohonan.“Ya Tuhan! Apa itu?” Jesika melihat sebuah toko aksesoris di sebelah kiri. “Ayo ke sana sebentar!” ajak Jesika pada Tian.Tian menurut saja.Jesika masuk ke dalam melenggak penuh kagum seperti anak kecil di diajak berbelanja ole