Share

7. Ceroboh

Kelopak mata terbuka perlahan menyambut sorot matahari yang mengintip dari balik tirai tipis yang terpasang pada jendela kaca. Antonio melengkuh sebelum kemudian membuka mata dengan lebar. Yang ia lihat sekarang langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya menoleh ke samping, lalu dengan cepat turun dengan kepala sedikit terangkat masih dalam posisi berbaring telentang. Antonio melihat selimut menutupi setengah badannya.

“Sshht!” Antonio mendesis ketika hendak mengangkat badannya. Kepalanya masih sedikit pening.

 Memperkuat tenaga di tangannya, Antonio mencoba duduk tegak. Wajahnya masih merengut sampai mata menyipit menahan pening dan kantuk yang belum hilang.

“Jam berapa sekarang? kenapa kepalaku pening sekali? Apa yang terjadi semalam?”

Antonio bertanya-tanya sambil terus mengingat-ingat, sampai tiba-tiba sosok cantik keluar dari dalam kamar mandi. Mata Antonio menyipit menapat jeli, sementara yang ditatap masih belum menayadari sepasang netra mengawasi.

Jesika membungkuk tengah mengeringkan rambutnya yang basah. Dia sudah berpakain rapi setelah tadi sempat pusing memilih karena saking banyaknya di dalam lemari. Entah siapa yang menyiapkan semuanya, tapi di dalam lemari benar-benar lengkap. Ukuran juga pas dengan badan Jesika yang setinggi seratus enam puluh lima senti meter dengan barat badan lima puluh kilo gram.

Hanya saja ada yang membuat tidak nyaman ketika hendak mengenakannya. Pakaiannya yang tertata di dalam lemari lebih banyak sebuah dres dan rok. Jika atasannya bisa diterima, tapi Jesika sungguh tidak terbiasa memakai rok. Dia lebih sering mengenakan celana panjang dengan blous atau kemeja longgar, sementara yang dia temukan untuk pakaian malam adalah sebuah piama.

Menit berikutnya, Jesika mengibas rambut yang belum kering sempurna kebelakang bersamaan dengan badannya yang menegak. Detik itu juga Jesika langsung terperanjat sampai kakinya mendadak oleng.

“Tu-tuan …” ucapnya gagap. “Tuan sudah bangun?”

Kepala pria itu sedikit miring seperti hendak mengintimidasi, tapi kemudian justru membuang muka dan melempar selimut ke samping.

“Siapkan aku air mandi. Aku mau berendam,” perintahnya datar.

Jesika mengangguk saja. Dia menggulung lebih dulu rambut panjangnya dengan handuk sebelum masuk kembali ke dalam kamar mandi. Sementara Antonio, tengah menguap di tepi ranjang lalu mengecap-ngecap bibirnya yang terasa sedikit pahit.

“Semalam aku mabuk?” pikirnya sambil kembali mengingat-ingat.

Antonio hanya ingat dirinya terjatuh di depan pintu, selebihnya hanya samar-samar melihat seseorang membantunya naik ke atas ranjang.

“Apa dia yang bawa aku ke kamar?” tanyanya dalam hati. “Ah masa bodo! Aku tidak peduli. Sial! kepalaku masih terasa berat!”

Antonio meraih segelas air putih di atas meja samping ranjang. Dia meneguknya sampai hanya sisa di dasar saja.

“Duh, bagaimana menyalakannya?” decak Jesika begitu masuk ke ruang bak mandi. Ada sekat dinding kaca samar-samar di sini.

Jesika menggaruk keningnya sendiri dengan wajah bingung. Dia tadi hanya mandi di bawah shower saja, jadi tidak terlalu bingung. Namun ketika masuk ke sisi ruang lain, wajahnya langsung melongo seperti orang tolol yang tidak tahu apa.

Jesika terlahir dari keluarga sederhana, masuk ke rumah besar ini saja sudah tercengang, begitu melihat kamar tidur dan beralih pada kamar mandi, rasanya seperti ingin menangisi nasibnya karena lahir dari keluarga miskin.

“Oho! Jesika ayolah! Gimana ini?” decak Jesika lagi sambil menatap beberapa gagang kran dan juga tombol yang terlihat membingungkan.

“Mana tombol yang bisa mengeluarkan air panas?”

Jesika menebak-nebak lalu memutuskan untuk memutar gagang bulat di sisi kiri selang. Bukan air panas yang keluar, melainkan air dingin. Jesika beralih menekan sebuah tombol di sisi kanan tapi sayangnya lupa mengangkat tangan yang tengah memegang bibir bak.

“Aw!” jeritnya saat itu juga.

Air manas mengalir dengan deras, mengepulkan uap keudara sampai membuat dinding kaca berembun.

Jesika meringis menahan sakit seperti terbakar pada punggung telapak tangannya yang secara tidak sengaja terkena air panas. Jesika mulai mengibas-ngibas lalu meniupnya berapa kali. Pintu yang terbuka, tentunya membuat sosok pria yang masih duduk di tepi ranjang sambil melihat layar ponsel menoleh.

Antonio terdiam sejenak, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Dia beranjak untuk memeriksa keadaan di dalam sana.

“Ada apa?” tanyanya setelah kepala menyembul masuk ke dalam kamar mandi.

Jesika bergeser menjauh dari bak mandi lalu menoleh pada sosok pria itu. “Ini, aku … oh, tanganku …”

Antonio yang penasaran melenggak masuk. dia melihat air panas itu sudah hampir penuh di dalam bak mandi. Dia buru-buru mematikan kran air, lalu kembali menarik diri berdiri di hadapan Jesika. Matanya turun, melihat Jesika yang tengah memegangi tangan kirinya.

“Kok bisa?” tanyanya dengan nada menyalak.

Jesika sempat berjinjit kecil karena kaget, tapi dia hanya diam menahan perih di tangannya.

“Begitu saja masa tidak bisa? Ceoboh sekali kamu!”

“Maaf, aku kan tidak tahu,” jawab Jesika sedikit meninggi. Dia memang takut, tapi bukan berarti mau saja ketika dimarahi padahal sama sekali tidak bersalah.

“Lagian kenapa sangat membingungkan. Harusnya ada keterangan di sana, mana panas dan mana yang dingin,” protesnya lagi tanpa menyadari kalau pria di hadapannya sudah menatap jengah.

“Biar aku lihat!” Antonio menarik tangan memerah itu. setelah melihat beberapa detik, Antonio kembali berkata, “Keluar! Biar aku obati.”

Jesika menurut saja meski wajahnya sudah cemberut.

Jesika duduk di kursi kayu tiga kaki, sementara Antonio pergi mengambil kotak obat. Kalau tidak segera diberi salem, kemungkinan luka itu bisa melepuh.

Antonio jongkok tepat di hadapan Jesika. Ketika Antonio mulai mengoleskan sebuah salep, Jesika tidak bisa jika tidak mengamati bagaimana raut wajah pria ini begitu serius. Saat Jesika mendesis menahan perih, Antonio sama sekali tidak peduli dan tetap mengolesi salep tersebut, membuat Jesika kembali tenang diam-diam mengamati lagi.

“Nenek akan mengomel kalau melihat luka itu. sebisa mungkin sembunyikan,” ucapnya sebelum beranjak mengembalikan kotak obat pada tempat semula.

Jesika mengangguk. Dia menatap luka yang penuh dengan salep bening itu. rasanya dingin dan sudah tidak terlalu panas atau perih. Meski sudah memerah, setidaknya tidak sampai melepuh.

***

Irma W

Selamat datang dicerita terbaruku. semoga ceritanya menarik dan nggak bikin bosan ya ... oh ya, mohon maaf jika masih ada beberapa typo.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status