Rasanya Sinta ingin sekali menolak, tapi ia butuh uang dan pekerjaan untuk hidupnya. Apalagi ia tak mungkin kembali pada Wisnu yang sudah jelas menjatuhkan harga dirinya dengan berselingkuh dengan pembantu. Dengan berat hati, ia menarik napas panjang lalu meneguk segelas air untuk menenangkan diri. Satu, dua, tiga, ia menghitung dalam hati untuk bicara pada Alia.“Eh, ini karena memang aku butuh. Kalau enggak juga, aku cari pekerjaan lain.”“Ya ampun, tinggal bilang aja. Alia aku mau gabung, memang kamu enggak ada uang jadi jangan sok jual mahal.”“Ya, bukan begitu sih,” ujar Sinta sedikit malu.Alia tersenyum karena berhasil mengajak Sinta ikut terjun dalam dunianya. Kebetulan, temannya itu cantik dan ia pun akan mendapatkan lumayan keuntungan dari pria yang akan ditemani Sinta malam ini.“Pokonya, kamu harus jaga rahasia kalau aku jadi seperti kamu,” ujar Sinta. “Tenang saja,” jawab Alia sembari menyalakan putung rokok. Bagaimana pun, ia butuh uang banyak dan cepat. Jika
Bu Atik hampir pingsan, Windy pun sama dengan sang ibu yang menahan lemas di tubuhnya. Masalah Nina saja belum selesai, kini mereka sudah menjadi miskin dan setara dengan pembantu yang di hinanya. Nina yang juga datang menemui keluarga Pak Hartawan ternyata berbahagia mendengar berita kebangkrutan mereka. Kini, dirinya dan Wisnu pun sederajat dan Bu Atik tidak bisa menghinanya lagi.“Saya turut sedih, sabar ya, Mas Wisnu.” Walau ia turut prihatin, tapi di hati perempuan itu begitu bergembira. Nina datang bersama dengan Bu Atik karena ingin tahu kabar Pak Hartawan. Ia tak mau jika satu-satunya orang yang mendukung pernikahannya dengan Wisnu meninggal dunia. Bersyukur Nina saat Pak Hartawan hanya mengalami stroke ringan.“Wajah kamu itu enggak menunjukkan kalau kamu bersimpati,” ujar Windy.“Saya tuh salah terus, ya sudah saya diam saja.” Nina langsung membuang wajahnya, ia malas menatap calon adik iparnya yang seperti benalu.Bu Atik memperhatikan Nina, jika ia berbuat jahat pa
Anisa menepuk pundak Abas karena ucapannya membuat wajahnya memerah. Pria itu selalu saja mencari alasan untuk membuatnya tersipu malu. Apalagi saat membicarakan masalah anak atau pernikahan. Setelah berhasil membuat wajah perempuan itu memerah, Abas mengajaknya makan siang. Setelah beberapa jam merasa bisan di kantor, Anisa pun mengikuti ajakan Abas. Makanan kesukaan Anisa sudah di hafal pria itu. Ia pun mengajaknya makan di sebuah restoran seafood karena di sana ia akan memesankan kwetiau goreng seafood. “Aku lapar sejak tadi emosiku terkuras oleh Wisnu.” Abas melihatnya sangat gemas, bahkan saat dalam keadaan marah pun Anisa terlihat sangat cantik dan menggemaskan. Perempuan yang kuat juga tak mudah menyerah. “Iya pasti lapar, kan tenaga terkuras untuk memukul mantan suami kamu.”“Eh, ini aku yang lagi kelaparan, bukan kamu.” Abas menyunggingkan senyum setelah menggoda Anisa lagi. Pernikahan mereka sebentar lagi akan terlaksana, ia merasa sangat deg-degan bahkan sering
“Kita simpan bagaimana? Kalau Anisa tidak tahu, ia tak bisa waspada dong, Bas,” ujar Amira.“Bingung kalau cerita sama Anisa. Aku takut dia tak tenang, apa aku menikah siri saja kali, Ma?” Ide Abas tak mendapat respon dari sang ibu. Amira malah menolak setelah beberapa detik berpikir. “Jika siri itu nanti anggapannya tidak sah. Ini murni untuk menghindar dari Hendra atau kamu yang sudah enggak sabar menikah dengan Anisa?” Wajah Abas memerah saat sang ibu menggodanya. Ia pun mencoba tenang dengan mengalihkan pembicaraan. Bukan masalah itu, ia pun berpikir jika sudah menikah dengan Anisa, ia bisa terus bersamanya 24 jam.“Ya, sudah. Mama bercanda, kita bicarakan saja sama Anisa agar dia berhati-hati. Lagi pula, Anisa biar lebih tenang jika nanti terjadi sesuatu. Entah dengan Mama atau siapa,” ujar Amira. “Abas pastikan tak akan terjadi apa pun dengan kalian.” Amira menepuk pundak sang anak, ia berharap Abas bisa menjaga dirinya juga orang yang berada di sekelilingnya. Terutama
Tubuh Anisa hampir saja oleng jika Abas tak menangkapnya. Abas menyimpan ponsel itu di meja, lalu mengambil air untuk Anisa. Siapa yang berani mengancam langsung ke Anisa pikir Abas. “Kamu jangan panik,” ujar Abas. Lalu ia memberikan minuman pada Anisa agar ia tak terus menerus ketakutan dengan pesan masuk yang belum jelas dari siapa. “A—aku bukan takut miskin, tapi aku takut jika mereka berbuat sesuatu denganku atau ibu.”“Iya, aku paham. Kita cari tahu nanti,” ujar Abas. Abas paham ketakutan Anisa, ia pun akan berusaha mencari tahu siapa yang nekat melakukan hal itu. Namun, ia sepertinya curiga pada satu nama yaitu Hendra, pria itu sejak kemarin mencoba menekan sang ibu. Harta tak di bawa mati, tapi Abas dan ibunya tak rela jika jatuh ke tangan yang lain karena perusahaan itu adalah jerih payah kakek dan nenek. Abas mencoba menelepon beberapa teman detektif untuk mencari tahu. Untuk sementara, Anisa terus bersamanya agar tak ada yang mengganggu Anisa. Apalagi ia terlihat
Sinta menyunggingkan senyum puas lalu membantu Anisa untuk berjalan. Ia membopongnya ke mobil, netranya kunang-kunang lalu barulah saat sampai mobil Anisa tertidur.Sinta mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Hendra. Lalu, ia menuruti apa yang di perintahkan oleh pria itu untuk membawa Anisa ke suatu tempat. Tak butuh waktu lama, Sinta pun sudah membawa Anisa ke sebuah rumah kosong. Ia di bantu beberapa orang suruhan Hendra untuk membantu Sinta. “Halo Sayang, kamu hebat,” puji Hendra. Pria itu sudah membungkam Anisa dan menguncinya di kamar tertutup. Sementara, ia membawa Sinta ke kamar satu lagi.“Iya dong, Om. Bagaimana uang yang di janjikan?” tanya Sinta.“Tentu, dong aku enggak akan lupa. Tapi, kamu sini dulu.” Hendra menarik tubuh Sinta ke dalam dekapannya. Tangan pria itu sudah bergerak ke seluruh tubuh hingga ke bagian dada Sinta. “Argh,” desah Sinta.“Sayang, kamu sexy,” bisik Hendra di telinga Sinta.Pria itu perlahan membuka baju Sinta lalu kembali membuat pe
“Sialan!” Abas berteriak keras hingga membuat sekeliling menatapnya, begitu juga dengan Wisnu yang juga heran dengan Abas.Sambungan itu terputus sampai membuat Abas panik. Napasnya tersengal-sengal memikirkan Anisa yang kini berada di tempat tidak aman.“Ada apa?” tanya Wisnu.Abas menceritakan apa yang sedang terjadi, ia pun bercerita tentang Hendra, orang yang ingin mengambil semua harta milik Anisa. Kini, ancaman itu terjadi dan Abas kecolongan menjaga Anisa.“Kita ke kafe sebelah,” ujar Wisnu.Abas pun mengikuti apa yang Wisnu katakan, mereka ingin melihat rekaman cctv. Keduanya ingin tahu apa Sinta terlibat dengan semua yang menimpa Anisa. Setelah meminta izin pihak kafe, mereka dapat melihat CCtv itu. Terlihat saat Sinta dan Anisa masuk, terlihat sangat biasa dan tak ada yang harus di curigai. “Itu, coba pause!” titah Wisnu.Pria itu menunjukkan saat Sinta membopong Anisa lalu di sambut beberapa pria yang membantunya memasukkan ke mobil. “Ya, itu Sinta. Pause saat m
Mbak Lastri terkesiap saat ada panggilan masuk ke ponsel Anisa. Ia menatap dengan penuh kebimbangan untuk menerima panggilan atau tak menjawabnya. Namun, ia kasihan melihat Anisa yang sejak tadi di siksa Sinta. Mbak Lastri pun tak senang dengan wanita yang di bawa oleh Tuannya. Namun, ia tak bisa berkhianat karena ia terlalu peduli dengan pria bernama Hendra itu. Lagi, panggilan masuk itu terus berdering. Akhirnya Mbak Lastri membuka pesan masuk lalu mengirimkan share lokasi di mana Anisa kini berada.[Nisa, ini kamu yang Kirim?]Mbak Lastri bingung membalasnya. Tangan itu gemetar saat mendengar teriakkan Anisa dari ruangan di mana dia di sekap. Secepatnya ia pun mengetik balasan.[Cepat datang ke sini. Aku hampir mati, aku tidak bisa banyak membalas]Mbak Lastri langsung menyimpan kembali ponsel itu. Lalu bangkit ke luar kamar untuk melihat Anisa.Sementara, Sinta pun semakin menjadi saat kembali menginjak kaki Anisa. Lalu tangan itu menjambak rambut panjangnya. Sejak tadi i