Share

Bab 6. Mencoba bertahan

"Kau...". Tangan mas Hendi kembali berayun di udara.

Aku menundukkan sedikit wajahku ke arah bawah sebagai refleks untuk menerima tamparan tangan mas Hendi. Namun, tangan kekar mas Hendi tak kunjung menyentuh pipi ini. Aku dongakkan wajahku untuk melihat apa yang terjadi.

"Sudahlah sayang, masa di hari pertama aku masuk ke rumah ini sudah ada kejadian mengenaskan dengan kakak maduku".

Suara manja dari Laksmi pun terdengar di telingaku. Ternyata, Laksmi yang berusaha untuk mencegah mas Hendi melayangkan tangannya.

"Kau dengar itu Lisna? Istriku ini masih saja membelamu yang sudah tega menyakitinya". Ucap mas Hendi masih terbawa emosi.

"Istri kamu mas, terus aku siapa mas, apa aku juga bukan istrimu?". Tanyaku dengan nyalang.

Jangan harap karena Laksmi mencoba mencegah tamparan mas Hendi untukku, aku akan berusaha berbaik hati padanya. Aku yakin ini hanya sebagai tipu muslihat dia untuk memikat hati ibu mertuaku.

Lihat saja, baru satu perlakuan tersebut, mas Hendi malah langsung membandingkan aku dengan istri barunya.

"Benar kata mas Hendi, kenapa kau sibuk sekali disini. Kau urusi saja dirimu sendiri". Ucap ibu seolah mengusirku dari ruang tamu ini.

Benar seperti pemikiranku, ibu mas Hendi pun dengan terbuka membela Laksmi. Bertambah lagi nilai kebaikan yang diterima oleh maduku itu. Kini semua membela Laksmi, wanita yang baru saja masuk ke dalam rumah yang sudah bertahun ku tinggali bersama mereka.

"Mas...". Aku mencoba mengiba jawaban atas pertanyaanku yang tadi aku ucapkan.

"Kau sungguh merepotkan, Lisna. Bukannya suami datang disambut, kau malah membuat keributan seperti ini". Ucap mas Hendi berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kalau kau tak pulang membawa wanita ini, tak mungkin aku akan membuat keributan seperti ini, mas". Jawabku penuh emosi.

"Sudahlah, kami mau istirahat. Kau pergilah, siapkan makanan untuk kami". Perintah mas Hendi tanpa perasaan.

Mendengar perintah dari mas Hendi, hatiku semakin trenyuh. Begitu pedih perlakuanmu padaku, mas. Tega sekali setelah dimadu olehmu, kini aku yang harus melayani istri mudamu.

Kini, aku terdiam mematung seorang diri di ruang tamu. Mas Hendi dan Laksmi sudah masuk ke dalam kamar yang telah aku siapkan. Begitupun ibu mas Hendi sudah beristirahat di kamarnya.

"Begitu teganya kalian memperlakukan aku seperti ini". Aku berkata sendiri.

Terdengar suara tawa mesra antara mas Hendi dan Laksmi, namun beberapa saat kemudian berubah ke suara yang menyayat hatiku. Mereka kini sedang memadu kasih, disini, di rumah ini dan di kamar yang aku siapkan untuk suamiku dengan perempuan lain.

Air hangat menetes di kedua pipiku, sungguh aku tak bisa mendengar suara desahan perempuan itu masuk ke telingaku. Kemarin aku hanya bisa membayangkannya namun kini aku malah mendengarnya sendiri.

Suamiku benar-benar sudah berbahagia dan menikmati kehidupan barunya dengan Laksmi.

"Tega kalian semua". Ucapku lagi.

Belum satu hari mas Hendi dan Laksmi sudah memanasi aku dengan melakukan hal tersebut saat ini. Apa tidak ada waktu lain lagi, mas? Apakah kamu ingin menunjukkan bahwa kamu lebih memilih dia daripada aku.

Aku bangkit menengakkan tubuhku yang sudah tak berdaya. Kulangkahkan kakiku ke kamar, hanya Airin sebagai penyemangat hidupku saat ini.

-----

"Lisna....". Teriakan ibu Sari terdengar lantang dari kamarku.

Ternyata aku ketiduran karena lelahnya hati dan pikiranku tadi. Aku melihat Airin sudah tidak ada lagi di kamar, apa ia sedang bermain bersama ayahnya?. Tanyaku dalam hati.

"Iya, bu". Jawabku seraya beranjak dari kasur.

Aku berhenti sejenak di depan kaca kamarku saat mau keluar kamar. Nampak jelas lingkaran hitam dan mata sembab di wajahku. Mungkin karena aku terlalu banyak menangis.

"Aku harus cuci muka dulu". Kataku pelan.

Belum sempat aku mencuci muka, teriakan ibu mas Hendi mengagetkan aku yang hendak masuk ke kamar mandi.

"Lisna, kamu kemana sih?". Teriak ibu Sari lagi.

"Iya bu". Kataku dengan tergopoh-gopoh berjalan memutar ke arah dapur.

"Mana makanannya, kok belum siap. Kita mau makan malam". Tanya ibu mas Hendi padaku.

Aku melongo karena tidak ada satupun menu makanan yang tersedia di meja makan. Aku juga lupa untuk memasak makan malam karena ketiduran.

"Lah kan ada Laksmi, bu. Kenapa masih harus aku yang menyiapkan makanan malam ini". Kataku berusaha tak ingin lagi terintimidasi.

"Laksmi kan baru datang, ya pasti capeklah". Kata ibu mertuaku mencari alasan.

"Capek darimana, bu? Kalau tidak capek tidak mungkin ia sudah membuat anak setelah sampai di rumah ini". Kataku dengan ketus.

Enak saja, maduku itu mau menjadi tuan putri disini. Emangnya setelah menikah hanya mau indehoy saja, tidak mau mengurus kewajiban dia yang lain.

"Ya wajarlah, kan masih pengantin baru". Kata ibu merasa tak bersalah.

Rasanya kepalaku ingin meledak saat ini. Mertuaku sungguh membela menantu keduanya itu.

"Kalau begitu biarkan pengantin baru itu melayani ibu dengan memasak, apa ibu tidak mau mencicipi masakan pengantin baru?". Tanyaku memutarkan pendapatnya.

"Kamu ya, Lisna. Sudah berani mempermainkan kata-kata dengan ibu?". Ucap ibu mulai kesal.

"Maaf bu, bukan begitu. Aku kan dulu seperti itu, saat baru saja menikah dengan mas Hendi, ibu bilang mau mencicipi masakan pengantin baru". Kataku mencoba mengingatkan kala itu.

Hatiku senang bukan main saat mertuaku, ibu dari mas Hendi berkata seperti itu padaku. Aku malah terus melakukannya dengan senang hati dan ikhlas sampai sekarang sebelum mas Hendi menduakan aku.

Bukan hanya masakan pengantin baru yang aku sajikan kepada ibu mas Hendi atas bukti baktiku sebagai menantunya. Pekerjaan rumah yang lain pun semua aku kerjakan tanpa pamrih, itu semua kulakukan hanya untuk kepuasan ibu mertuaku.

"Tapi sekarang berbeda Lisna, kan sudah ada kamu, ya kamu saja kenapa harus si Laksmi". Balas ibu masih saja membela menantu barunya.

"Apakah karena Laksmi dari keluarga kaya raya, sehingga ibu tak mau menyuruhnya memasak?". Kataku mencoba menahan sabar.

"Apa kamu bilang?". Kata ibu mulai bersuara keras.

"Kalau ibu, mas Hendi dan menantu baru ibu itu mau makan, silahkan suruh si Laksmi yang kaya raya itu untuk memasak". Balasku seraya pergi meninggalkan ibu di meja makan dengan muka yang merah padam.

"Kamu Lisna, dasar menantu tidak tahu diri".

Suara ibu sungguh sakit terdengar di telingaku dan menyayat-yayat hatiku saat ini. Namun, aku sudah tak perduli lagi. Apa artinya baktiku selama ini jika balasannya adalah sebuah madu dari suamiku.

Dipandang sebelah mata oleh mertuaku sendiri dan dibandingkan dengan wanita lain hanya karena aku tidak mempunyai uang. Jangan lupakan asal usulku yang tidak jelas, entah dilahirkan dari keluarga yang seperti apa.

"Ada apa ini bu, kok teriak-teriak?".

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status