Share

Gadis SMA Yang Berusaha Bunuh Diri

Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."

Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah.

"Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya.

"I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah.

"Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan.

Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."

Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya.

"Fathimah, bagaimana kakinya?"

Fathimah kembali tersenyum bangga karena ikut disapa. "Sudah sembuh, Dok," sahutnya sambil mengangguk hormat.

"Ayo, pulang bersama kami," ajak Andra.

Fathimah terkekeh. " Tidak usah, Dok. Masa saya mau ganggu pengantin baru," godanya sambil menoel pinggang Dinda.

Mata cemerlang Dinda langsung mendelik padanya.

"Ya, sudah kalo begitu, kami pulang duluan, ya." Andra mengeratkan genggamannya. Menggandeng Dinda melangkah menuju area parkir kampus dan melewati para gadis cantik yang tadinya berusaha mencari perhatiannya.

Dinda sendiri hanya bisa mengikutinya dengan hati yang bercampur aduk.

***

"Kita makan siang dulu, ya?" tanya Andra sambil menyetir.

"Ya," jawab Dinda cepat. Perutnya saat ini memang sudah keroncongan.

"Semalam kamu tidak takut, kan?"

"Tidak," jawab Dinda. Ia merasa tak perlu membahas masalah kamar ke-tiga dan bunyi benda jatuh yang berasal dari dalamnya.

Ia juga tak ingin menanyakan kemana perginya laki-laki itu walau sebenarnya ada rasa ingin tahu. Sang dokter sendiri sepertinya juga tidak berniat untuk mengatakan alasannya tak pulang semalaman.

Tring. Bunyi ponsel Andra berbunyi.

Laki-laki itu merogoh saku celana putihnya.

"Alex," bisiknya.

Dinda mengernyit. Alex? Bukankah itu nama orang yang menelepon sebelum sang dokter pergi kemarin?

Jempol Andra bergerak pada gambar telepon berwarna merah di layar ponselnya. Menolak panggilan itu.

"Kamu mau makan apa?" alihnya pada Dinda.

"Apa aja."

Drrt. Ponsel dalam genggaman Andra kembali bergetar.

Sebuah pesan masuk. Laki-laki itu hanya meliriknya. Pesan dari Alex.

Sebuah kalimat pendek yang langsung terbaca tanpa harus dibuka membuatnya menghela napas berat.

[Aku menunggu di RS ....]

Andra mengabaikannya.

Hingga beberapa saat kemudian benda pipih itu kembali berisik.

"Mungkin ada yang penting?" Dinda menyela. Tak ingin karena mengajaknya makan siang membuat sang dokter harus mengabaikan kepentingan sendiri.

"Ada yang menunggu di Rumah Sakit."

"Dokter kembali saja dulu. Kita bisa makan siang setelahnya."

Andra menoleh, tersenyum tipis pada gadis itu dan kembali fokus ke depan. "Baiklah, kita kembali sebentar."

Kaki panjang Andra tampak berusaha menyamai langkah gadis kecil di sampingnya saat melangkah menuju lobi rumah sakit. Dinda memang terlihat mungil saat bersisian dengan sang dokter.

Andra kemudian menghampiri seorang laki-laki yang berdiri membelakangi.

"Alex," panggilnya.

Laki-laki berjaket hitam dan celana jeans hitam itu berbalik. Memperlihatkan wajah yang membuat Dinda tercengang.

Mirip sekali dengan Andra, matanya, hidungnya, bentuk wajahnya. Hanya saja ... raut wajah tampan itu begitu keras seperti penampilannya.

"Ada apa?" Andra bertanya lembut.

Bukannya menjawab, Alex malah beralih menatap Dinda.

"Apa dia yang kau nikahi?"

"Apa kedatangan mu ini tentang Siska?" Andra tak menjawab pertanyaan Alex--adik semata wayangnya.

"Ya. Kau masih menemuinya. Sudah aku bilang, biar aku yang urus Siska. Jangan pernah mendekatinya lagi!" Ucapan Alex begitu tajam.

"Aku tidak mendekatinya, Alex. Saat aku mau menemuimu kemarin, teman Siska meneleponku karena Siska sedang mabuk berat setelah dia bertemu denganmu. Aku menelepon mu kembali, tapi ponselmu sudah tak aktif. Aku harus mengurusnya yang mengamuk tak mau pulang dari Bar hingga pagi."

"Kau bisa mengabaikannya."

"Tidak. Kalau keadaannya seperti itu aku tak bisa mengabaikannya," tolak Andra tegas.

Dinda mendengar semua itu. Benar seperti dugaannya, Andra tak pulang semalaman memang karena mengurus Siska. Dan sepertinya perempuan itu sangat penting bagi dua laki-laki di hadapannya.

"Dia seperti itu karena mu. Siska patah hati karena kau menikah. Karena itu aku ingin mengingatkanmu, jangan pernah temui lagi Siska mulai sekarang!"

"Baik, aku tak akan menemuinya lagi. Tapi ku mohon, berhenti jadi anggota geng mafia, Alex," pinta Andra lembut.

Alex menatapnya lama sebelum kemudian berkata dengan nada dingin, "aku bukan anak kecil lagi yang bisa kau ikat dengan peraturan mu!"

"Aaa! Lepasin!" Sebuah suara berteriak dari arah halaman Rumah Sakit.

Ketiganya menengok.

Seorang siswi berseragam SMA tampak sedang dipegangi oleh beberapa orang guru laki-laki dan seorang ibu-ibu paruh baya.

"Lepasin gue! Gue nggak mau hidup lagi! Biarin gue mati!" teriak gadis itu lagi.

"Istighfar, Nak," bujuk wanita paruh baya yang menangis sambil menggiring gadis itu. "Kita obatin dulu luka di tangan kamu. Setelah itu ibu akan dengarkan apapun keinginan mu."

Dinda langsung menatap ke arah tangan gadis SMA itu. Tangannya telah terikat sehelai kain di bagian pergelangan. Ada noda darah di sana. Sepertinya gadis itu baru saja mengiris nadinya untuk mengakhiri hidup.

"Nggak! Nggak mau! Gue mau mati!" Gadis itu terus memberontak.

"Astaghfirullah," gumam Dinda. Bulunya terasa meremang melihatnya.

Sementara kedua pria di hadapannya tampak menatap kejadian itu dengan ekspresi yang hampir sama. Dingin dan tajam.

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Alex pergi meninggalkan Rumah Sakit besar itu.

"Dia siapa?" tanya Dinda sambil menghampiri Andra.

Laki-laki yang masih berdiri terpaku itu tampak tersentak. Seolah baru tersadar dan kembali dari alam lain.

"Ya?" tanyanya.

"Laki-laki tadi itu siapa?"

"Oh, dia Alex. Adikku."

Dinda manggut-manggut. Pantas saja sangat mirip. Tapi sikap Alex terhadap Andra tampak seperti bermusuhan. Mungkin karena masalah Siska yang membuat mereka bertikai.

Andra kembali terlihat diam. Bukannya mengajak Dinda untuk kembali mencari makan siang yang tertunda.

"Dokter pasti kepikiran dengan gadis SMA tadi."

"A-apa?" Andra tampak gugup, isi pikirannya diketahui Dinda.

"Saya mengerti, sikap anak SMA tadi yang nekad bunuh diri bertolak belakang dengan jiwa Dokter yang ingin menyelamatkan nyawa orang lain. Melihatnya pasti membuat Dokter kesal. Jangankan Dokter, saya yang orang awam saja kesal melihat orang yang tak menghargai nyawanya sendiri. Tak ingat pada keluarga yang begitu terluka ditinggalkan seperti itu," tutur Dinda.

Gadis itu tak menyadari ekspresi laki-laki di sampingnya yang kembali berubah. Dingin dan diselimuti aura kegelapan.

***

Malam yang kelam, karena mendung yang menguasai langit.

Tanpa seorang pun yang tahu, seorang gadi remaja dengan pergelangan tangan yang terbalut perban berlari menjauhi Rumah Sakit sambil menangis ketakutan.

Tangannya terikat kebelakang, sementara mulutnya dilakban agar tidak bisa berteriak.

Di belakangnya berjalan sesosok berpakaian serba hitam. Mengikutinya dengan sebilah pisau.

Guntur menggelegar. Petir menyambar. Membuat pisau tajam itu berkilau karena cahayanya.

"Kenapa lari? Bukannya kau ingin melenyapkan diri? Aku akan membantumu sekarang," ujar sosok itu dengan nada dan kata-kata yang membuat bulu kuduk merinding.

Gadis itu menggeleng sambil menangis dan terus berlari.

Ssat!

Pisau itu melesat tajam ke depan, tepat mengenai betis si gadis.

"Aaw!" teriaknya.

Tubuhnya pun terjatuh, bersamaan dengan turunnya hujan yang deras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status