Share

Sesuatu Di Kamar Ke-tiga

Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri.

Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon.

"Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."

Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana.

"Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja.

"Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"

Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?"

"Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat."

"Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gurauan sang dokter.

"Ya udah kalau begitu, aku tinggal dulu, ya. Kunci pintunya setelah aku pergi. Dan kamu bisa pesan apa saja lewat delivery," Pria itu mengambil kunci mobilnya dari atas meja kemudian meletakkan sebuah amplop berwarna coklat di sana.

Dinda mengangguk. Ia bukan tipe gadis penakut. Tapi kalau dibilang kecewa karena kepergian Andra, sudah pasti ia kecewa. Di hari pertama pernikahan, ia malah harus duduk sendirian di dalam rumah yang masih asing baginya.

"Maaf," ucap Andra sekali lagi sebelum pergi.

Dinda menghela napas setelah mengunci pintu seperti instruksi Andra. Menatap ke sekeliling rumah yang terasa sangat sepi.

Gadis itu jadi terpikirkan, apa rumah di samping ada penghuninya?

Duk!

Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh dari arah belakang. Dinda tersentak kaget.

Suara apa itu?

Kepalanya langsung melongok ke arah ruangan belakang yang mulai gelap karena malam yang mulai menjelang. Ia yakin suara itu berasal dari arah kamar ke-tiga yang pintunya mengarah ke dapur.

Apa ada seseorang di sana?

Perasaan Dinda tiba-tiba menjadi tegang. Dengan jantung yang berdetak kencang dan hati yang penasaran, gadis itu melangkah ke belakang.

Ditatapnya pintu bercat putih itu sesaat, sebelum kemudian menempelkan telinganya pada permukaan pintu sambil menahan napas.

Tak ada bunyi apapun lagi. Senyap. Sepertinya tadi hanya bunyi barang yang dijatuhkan cecak atau tikus.

Gadis itu menghembuskan napasnya kembali. Seharusnya tak ada yang perlu ia khawatirkan. Tak mungkin ada orang lain di rumah ini.

Kembali ke ruang depan, Dinda menyalakan semua lampu. Matanya kemudian tertuju pada amplop yang ditinggalkan Andra.

Diraihnya amplop itu. Isinya uang. Segepok uang seratus ribuan yang cukup tebal.

Mata cemerlang gadis itu membulat. Uang sebanyak ini diberikan untuknya semua? Untuk delivery makanan? Segini banyaknya akan habis untuk dibelikan makanan apa?

Malam menjelang. Namun Andra belum juga pulang. Akhirnya, Dinda memilih delivery martabak untuk makan malamnya.

Seorang kurir tak lama kemudian datang mengantarkan pesanannya.

"Pesanannya, Mbak," Kurir berjaket hijau menyerahkan satu kotak martabak manis yang masih terasa hangat.

"Makasih," ucap Dinda sambil memberikan uang berikut tips yang lumayan besar.

"Mbak istrinya yang punya rumah?" tanya kurir ramah.

"I-iya," jawab Dinda tergagap. Masih terasa aneh saat disebut sebagai istri seseorang.

"Pantas tumbenan ada pesanan berupa makanan dari rumah ini. Biasanya juga peralatan tukang atau peralatan memotong, kayak gergaji, pisau, paku, sama palu."

"Oh, gitu," Dinda manggut-manggut. Kemudian masuk kembali dengan sekotak martabak.

Peralatan tukang? Alisnya mengernyit. Kemudian mengangkat kedua bahunya. Mungkin karena sang dokter juga seorang pengusaha properti.

Pukul setengah lima subuh, Dinda terbangun dari tidurnya. Ia tanpa sengaja terlelap di atas sofa setelah menghabiskan hampir sekotak martabak.

Mata cemerlangnya mengerjap-ngerjap dan memantau ke sekeliling. Ia masih berada di ruang tamu. Sementara kamar Andra terasa sepi.

Apa laki-laki itu masih tidur? Atau malah belum pulang?

Gadis itu bangkit dan melongok ke bagasi melalui jendela. Tak ada mobil. Yang berarti Andra tak pulang semalam.

Kemana perginya laki-laki itu? Apa ... mungkin menemui Siska?

Dinda menghela napas panjang. Mencoba mengusir dugaan yang membuatnya sedikit kecewa.

Lebih baik shalat subuh, kemudian bersiap berangkat ke kampus dan sarapan di kantinnya. Masih banyak ilmu yang mesti ia pelajari demi menjadi seorang pelukis terkenal seperti angan mendiang ibunya.

***

Kampus, siang hari.

"Gimana malam pertamanya?" cecar Fathimah ketika dosen meninggalkan ruangan. Pertanyaan itu telah sejak pagi tadi ingin ia tanyakan, tapi selalu saja tertunda dengan masuknya dosen lain yang seolah buru-buru memberikan materi kuliah secepatnya.

"Malam pertama apa, sih?" cuek Dinda sambil membereskan peralatan kuliahnya.

"Ya ampun, pura-pura nggak tau lagi," ledek gadis berhidung mancung itu. "Kamu takut aku kepingin?"

Dinda menghentikan kegiatannya dan menatap Fathimah. "Kamu lupa aku nikahnya seperti apa? Tanpa persiapan alias dadakan."

"Terus?" Fathimah memasang tampang polos.

"Ya mana bisa disamakan sama pernikahan yang udah di rencanakan jauh-jauh hari. Apalagi aku yang calon suaminya ketemu beberapa hari sebelum nikah."

"Hehehe," Fathimah terkekeh sambil menyengir. "Jadi penasaran gimana rasanya nikah sama orang yang baru dikenal," khayalnya.

"Nah, lho! Makanya jangan nanya malam pertama, entar jadi penasaran juga, kan kacau."

Fathimah kembali menyengir mendengar gerutuan teman cantiknya yang ternyata masih gadis itu.

"Wih, ganteng banget, ya. Ini baru tipe gue!" seruan seorang mahasiswi membuat mereka menoleh. Mahasiswi tercantik di kelas Dinda, tampak sibuk memperbaiki dandanannya.

"Iya, nih. Dari penampilannya juga kayaknya cowok sukses," sambut temuannya sambil merapikan rambut.

"Eits, jangan ada yang berani nikung. Ini jatah gue!" gerutu si kembang kelas.

"Iya, iya ...," temannya melengos.

Fathimah melongok penasaran. Kemudian menghampiri. "Siapa? Dosen baru?"

Para gadis cantik itu melirik Fathimah sinis. "Aih, para kucel kepo!" remeh mereka.

"Yaelah ... nanya doang juga pakai bawa-bawa penampilan!" Buk! Fathimah memukul meja di dekat mereka kesal. Membuat para gadis berpenampilan bak model itu terkejut.

"Udah, yuk kita pulang," ajak Dinda sebelum temannya yang sekuat wonder woman itu mengamuk. Menarik tangannya dan berlalu keluar kelas.

Namun baru beberapa langkah keluar, para gadis itu menubruk mereka dari belakang.

"Awas para kucel! Para Dewi mau lewat!" si kembang kelas melangkah angkuh sambil menyibakkan rambutnya. Melewati Dinda dan Fathimah yang mendongkol.

"Wah, cari mati tuh, anak!" Fathimah bersiap menyerang dengan mata melotot.

"Udah, besok aja kita ladenin, aku udah laper banget. Tadi pagi cuma sarapan roti di kantin," cegah Dinda.

Fathimah menurut dan terpaksa menahan emosinya, walau matanya tetap memelototi para mahasiswi yang sedang bergerombol menghampiri seorang pria.

Terutama pada si kembang kelas yang terlihat paling heboh ingin mencari perhatian.

"Hai! Nyari apa, Bang? Biar aku bantu?" Si kembang kelas memasang tampang ceria.

"Dasar kuntilanak genit!" gerutu Fathimah.

Namun saat mata gadis itu beralih pada laki-laki yang sedang dikerubungi, ia langsung terperangah. "Wah! Sumpah Din, kamu harus liat cowok yang mereka bilang!" takjub Fathimah sambil menarik lengan Dinda yang terus melangkah.

"Ih, kok kamu jadi ikut-ikutan?"

"Bukan ikut-ikutan. Pokoknya kamu liat dulu, deh."

"Nggak usah. Nggak minat," cuek Dinda.

"Kamu harus liat, Din!"

"Aku udah nikah, lho. Kamu lupa, ya?"

"Justru karena kamu udah dinikahin, makanya kamu harus liat kalo nggak mau dosa!"

Demi keteguhan Fathimah yang terus menarik lengannya, Dinda akhirnya menoleh malas kearah yang ditunjuk temannya itu..

Dan matanya yang menatap malas awalnya itu, seketika terpaku.

Laki-laki yang sedang diincar para mahasiswi itu ternyata adalah Andra Janson!

Penampilan laki-laki itu hari ini benar-benar mempesona. Dengan kemeja hitam yan lengannya di lipat sampai ke siku dan celana putih yang membalut kaki panjangnya. Benar-benar ketampanan yang didukung penampilan yang menghipnotis mata.

Tepat disaat itu juga laki-laki itu melihatnya. Mata keduanya bertemu.

Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."

Langkah panjangnya terayun menuju Dinda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status