Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri.
Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon."Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana."Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gurauan sang dokter."Ya udah kalau begitu, aku tinggal dulu, ya. Kunci pintunya setelah aku pergi. Dan kamu bisa pesan apa saja lewat delivery," Pria itu mengambil kunci mobilnya dari atas meja kemudian meletakkan sebuah amplop berwarna coklat di sana.Dinda mengangguk. Ia bukan tipe gadis penakut. Tapi kalau dibilang kecewa karena kepergian Andra, sudah pasti ia kecewa. Di hari pertama pernikahan, ia malah harus duduk sendirian di dalam rumah yang masih asing baginya."Maaf," ucap Andra sekali lagi sebelum pergi.Dinda menghela napas setelah mengunci pintu seperti instruksi Andra. Menatap ke sekeliling rumah yang terasa sangat sepi.Gadis itu jadi terpikirkan, apa rumah di samping ada penghuninya?Duk!Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh dari arah belakang. Dinda tersentak kaget.Suara apa itu?Kepalanya langsung melongok ke arah ruangan belakang yang mulai gelap karena malam yang mulai menjelang. Ia yakin suara itu berasal dari arah kamar ke-tiga yang pintunya mengarah ke dapur.Apa ada seseorang di sana?Perasaan Dinda tiba-tiba menjadi tegang. Dengan jantung yang berdetak kencang dan hati yang penasaran, gadis itu melangkah ke belakang.Ditatapnya pintu bercat putih itu sesaat, sebelum kemudian menempelkan telinganya pada permukaan pintu sambil menahan napas.Tak ada bunyi apapun lagi. Senyap. Sepertinya tadi hanya bunyi barang yang dijatuhkan cecak atau tikus.Gadis itu menghembuskan napasnya kembali. Seharusnya tak ada yang perlu ia khawatirkan. Tak mungkin ada orang lain di rumah ini.Kembali ke ruang depan, Dinda menyalakan semua lampu. Matanya kemudian tertuju pada amplop yang ditinggalkan Andra.Diraihnya amplop itu. Isinya uang. Segepok uang seratus ribuan yang cukup tebal.Mata cemerlang gadis itu membulat. Uang sebanyak ini diberikan untuknya semua? Untuk delivery makanan? Segini banyaknya akan habis untuk dibelikan makanan apa?Malam menjelang. Namun Andra belum juga pulang. Akhirnya, Dinda memilih delivery martabak untuk makan malamnya.Seorang kurir tak lama kemudian datang mengantarkan pesanannya."Pesanannya, Mbak," Kurir berjaket hijau menyerahkan satu kotak martabak manis yang masih terasa hangat."Makasih," ucap Dinda sambil memberikan uang berikut tips yang lumayan besar."Mbak istrinya yang punya rumah?" tanya kurir ramah."I-iya," jawab Dinda tergagap. Masih terasa aneh saat disebut sebagai istri seseorang."Pantas tumbenan ada pesanan berupa makanan dari rumah ini. Biasanya juga peralatan tukang atau peralatan memotong, kayak gergaji, pisau, paku, sama palu.""Oh, gitu," Dinda manggut-manggut. Kemudian masuk kembali dengan sekotak martabak.Peralatan tukang? Alisnya mengernyit. Kemudian mengangkat kedua bahunya. Mungkin karena sang dokter juga seorang pengusaha properti.Pukul setengah lima subuh, Dinda terbangun dari tidurnya. Ia tanpa sengaja terlelap di atas sofa setelah menghabiskan hampir sekotak martabak.Mata cemerlangnya mengerjap-ngerjap dan memantau ke sekeliling. Ia masih berada di ruang tamu. Sementara kamar Andra terasa sepi.Apa laki-laki itu masih tidur? Atau malah belum pulang?Gadis itu bangkit dan melongok ke bagasi melalui jendela. Tak ada mobil. Yang berarti Andra tak pulang semalam. Kemana perginya laki-laki itu? Apa ... mungkin menemui Siska?Dinda menghela napas panjang. Mencoba mengusir dugaan yang membuatnya sedikit kecewa.Lebih baik shalat subuh, kemudian bersiap berangkat ke kampus dan sarapan di kantinnya. Masih banyak ilmu yang mesti ia pelajari demi menjadi seorang pelukis terkenal seperti angan mendiang ibunya.***Kampus, siang hari."Gimana malam pertamanya?" cecar Fathimah ketika dosen meninggalkan ruangan. Pertanyaan itu telah sejak pagi tadi ingin ia tanyakan, tapi selalu saja tertunda dengan masuknya dosen lain yang seolah buru-buru memberikan materi kuliah secepatnya."Malam pertama apa, sih?" cuek Dinda sambil membereskan peralatan kuliahnya."Ya ampun, pura-pura nggak tau lagi," ledek gadis berhidung mancung itu. "Kamu takut aku kepingin?"Dinda menghentikan kegiatannya dan menatap Fathimah. "Kamu lupa aku nikahnya seperti apa? Tanpa persiapan alias dadakan.""Terus?" Fathimah memasang tampang polos."Ya mana bisa disamakan sama pernikahan yang udah di rencanakan jauh-jauh hari. Apalagi aku yang calon suaminya ketemu beberapa hari sebelum nikah.""Hehehe," Fathimah terkekeh sambil menyengir. "Jadi penasaran gimana rasanya nikah sama orang yang baru dikenal," khayalnya."Nah, lho! Makanya jangan nanya malam pertama, entar jadi penasaran juga, kan kacau."Fathimah kembali menyengir mendengar gerutuan teman cantiknya yang ternyata masih gadis itu."Wih, ganteng banget, ya. Ini baru tipe gue!" seruan seorang mahasiswi membuat mereka menoleh. Mahasiswi tercantik di kelas Dinda, tampak sibuk memperbaiki dandanannya."Iya, nih. Dari penampilannya juga kayaknya cowok sukses," sambut temuannya sambil merapikan rambut."Eits, jangan ada yang berani nikung. Ini jatah gue!" gerutu si kembang kelas."Iya, iya ...," temannya melengos.Fathimah melongok penasaran. Kemudian menghampiri. "Siapa? Dosen baru?"Para gadis cantik itu melirik Fathimah sinis. "Aih, para kucel kepo!" remeh mereka."Yaelah ... nanya doang juga pakai bawa-bawa penampilan!" Buk! Fathimah memukul meja di dekat mereka kesal. Membuat para gadis berpenampilan bak model itu terkejut."Udah, yuk kita pulang," ajak Dinda sebelum temannya yang sekuat wonder woman itu mengamuk. Menarik tangannya dan berlalu keluar kelas.Namun baru beberapa langkah keluar, para gadis itu menubruk mereka dari belakang."Awas para kucel! Para Dewi mau lewat!" si kembang kelas melangkah angkuh sambil menyibakkan rambutnya. Melewati Dinda dan Fathimah yang mendongkol."Wah, cari mati tuh, anak!" Fathimah bersiap menyerang dengan mata melotot."Udah, besok aja kita ladenin, aku udah laper banget. Tadi pagi cuma sarapan roti di kantin," cegah Dinda.Fathimah menurut dan terpaksa menahan emosinya, walau matanya tetap memelototi para mahasiswi yang sedang bergerombol menghampiri seorang pria.Terutama pada si kembang kelas yang terlihat paling heboh ingin mencari perhatian."Hai! Nyari apa, Bang? Biar aku bantu?" Si kembang kelas memasang tampang ceria."Dasar kuntilanak genit!" gerutu Fathimah.Namun saat mata gadis itu beralih pada laki-laki yang sedang dikerubungi, ia langsung terperangah. "Wah! Sumpah Din, kamu harus liat cowok yang mereka bilang!" takjub Fathimah sambil menarik lengan Dinda yang terus melangkah."Ih, kok kamu jadi ikut-ikutan?""Bukan ikut-ikutan. Pokoknya kamu liat dulu, deh.""Nggak usah. Nggak minat," cuek Dinda."Kamu harus liat, Din!""Aku udah nikah, lho. Kamu lupa, ya?""Justru karena kamu udah dinikahin, makanya kamu harus liat kalo nggak mau dosa!"Demi keteguhan Fathimah yang terus menarik lengannya, Dinda akhirnya menoleh malas kearah yang ditunjuk temannya itu..Dan matanya yang menatap malas awalnya itu, seketika terpaku.Laki-laki yang sedang diincar para mahasiswi itu ternyata adalah Andra Janson!Penampilan laki-laki itu hari ini benar-benar mempesona. Dengan kemeja hitam yan lengannya di lipat sampai ke siku dan celana putih yang membalut kaki panjangnya. Benar-benar ketampanan yang didukung penampilan yang menghipnotis mata.Tepat disaat itu juga laki-laki itu melihatnya. Mata keduanya bertemu.Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda.Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua
Dengan jantung yang berdebar, Dinda nekad membuka pintu kamar Andra. Sebuah ruangan yang tidak jauh berbeda dengan kamar Alex. Namun aroma di dalam ruangan itu tetaplah aroma Andra. Gadis itu menutup pintunya. Kemudian berdiri di balik pintu itu tanpa tahu harus apa setelahnya. Haruskah ia duduk di tempat tidur? Matanya mengedar ke sekeliling. Ada sofa berbingkai kayu ukir di sudut kamar. Dinda pun memilih duduk di sana untuk menunggu. Beberapa saat duduk menunggu Andra tak juga masuk. Gadis itu sudah beberapa kali menghela napas saking tegangnya. Jangan-jangan laki-laki itu enggan masuk karena ia terlalu lancang? Klek. Bunyi pintu yang dibuka terdengar jelas di telinganya. Dinda semakin tegang. Tampak bahu lebar Andra muncul dari balik pintu. Laki-laki itu masuk dan menutup pintunya. Tidak. Bukan sekedar menutup, sang dokter juga menguncinya. Dinda meneguk salivanya melihat itu. Pikirannya benar-benar kacau. Apa keputusannya untuk masuk ke kamar ini adalah pilihan yang tepat
Seorang gadis duduk termangu di depan jendela. Menatap muda-mudi yang berlalu-lalang tanpa benar-benar melihat. Riuh di kanan-kiri tak mengusik perhatiannya. Ia seperti jiwa yang terhampar jauh di tempat yang sunyi. Dialah Dinda Zahara Kirani. Gadis yang biasanya fokus dan bermotivasi kuat mengejar cita-citanya. Yang tak pernah berani berkhayal dan berangan. Yang tak pernah merasa sedih kecuali saat merasa lemah dalam mengejar cita-cita.Tapi kini jiwanya terusik oleh sebuah rasa. Rasa yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya selama ini. Rasa ingin dilihat seorang laki-laki. Akibatnya, hatinya merasakan pedih saat seorang pria mengabaikannya. "Hei!" Fathimah datang tiba-tiba dan sengaja mengejutkannya. Dinda tersentak. Kepedihan itu buyar dan menjadi sebuah rasa yang nelangsa. "Apa?" tanyanya tak bersemangat. "Gimana sama tugas yang baru dikasih Pak Dosen? Kamu pasti suka banget ngerjainnya, kan?"Dinda masih termangu. "Nah, berhubung kamu emang si pecinta tugas, tugas aku
Bab 15Laki-laki berbadan tegap itu berbalik. Bibirnya kemudian tersenyum pada Dinda. "Aku datang untuk menjemputmu, 'rayap bawel'. Mama kangen sama kamu," ujarnya. Mata Dinda langsung melebar mendengarnya. "Reza?" serunya tak percaya. Tak ada orang lain yang memanggilnya dengan sebutan rayap bawel selain teman masa kecilnya itu. Telah lama sejak ia masih berusia 12 tahun. Berpisah dengan tetangga yang sangat baik karena paman dan bibinya yang tiba-tiba menjual rumahnya dan mengajak pindah ke ruko. "Ternyata kamu masih ingat pada panggilan itu.""Ya, masih. Mana ada orang lain yang manggil aku rayap, ditambah bawel lagi."Laki-laki bernama Reza itu tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. "Apa kamu masih gila sama kertas?" "Aku nggak gila sama kertas, Reza.""Nggak gila tapi terobsesi aja. Setiap ada buku kosong pasti kamu abisin buat digambar, dan setiap ada bacaan yang baru, pasti kamu duluan yang heboh, entah itu buku cerita atau koran. Kan, benar-benar kayak rayap?""Lah, m
Pulang, Dinda melihat mobil Andra telah terparkir dalam bagasi. Hari telah senja. Ia baru pulang dari rumah Reza ba'da ashar. Halaman yang hijau itu tampak keemasan diterpa cahaya senja. Indah. Namun terasa kurang karena tak adanya tanaman bunga yang pasti akan menambah warna. Padahal ada meja dan kursi taman di sudut rumah. Namun karena mungkin sang dokter tidak pernah menggunakannya, meja dan kursi taman itu ditumpuk di sudut. Dinda langsung membuka pintu dengan kunci yang ada padanya. Aroma masakan yang begitu menggugah langsung tercium di hidung. Aroma masakan dari dapur.Siapa yang masak di belakang? Mungkinkah ada pembantu yang datang sekali-kali?"Assalamualaikum," ucapnya dengan kepala melongok ke belakang. Tak ada sahutan. Dinda pun langsung melangkah ke belakang. Tampak di sana laki-laki tampan yang biasanya berjas putih itu kini terpasang Appron di depan dada bidangnya. Mengaduk-aduk brokoli di dalam wajan yang berisik. Membuatnya tak menyadari kepulangan Dinda. "Dok