Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar.
Itu pasti Andra.Sang Dokter kembali tak pulang semalaman."Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya.Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini."Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya."Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban.Dinda mengangguk. "Saya akan siapkan sarapannya.""Tapi sepertinya aku harus melewatkan sarapan. Pekerjaan ini mungkin akan selesai sekitar pukul sembilan nanti."Dinda menatap khawatir. Sudah stress oleh pekerjaan, tidur tidak cukup, laki-laki itu juga ingin melewatkan sarapannya?"Tidak perlu khawatir," Melihat raut risau Dinda, Andra mengembangkan senyuman lembut. "Aku sudah memakan roti tadi. Dan setelah ini aku akan libur sampai besok."Dinda akhirnya membiarkan laki-laki itu masuk ke dalam kamarnya.Kemudian melangkah ke dapur dan membuat nasi goreng seadanya untuk dirinya sendiri.Sambil menikmati nasi goreng dengan lauk telur mata sapi, gadis itu terus berpikir bagaimana caranya untuk meringankan beban Andra.Kepalanya kemudian teringat pada Rumah Pinus.Bukankah ini hari Minggu? Seperti yang dikatakan sang dokter, hari Minggu ia akan di ajak tinggal di rumah ke-dua laki-laki itu.Mungkin sang dokter lupa karena pekerjaan yang terlalu membebani.Kalau begitu, haruslah ia yang berinisiatif untuk mengajak. Atau ... lebih baik ia yang memberi kejutan?"Yes!" desis Dinda semangat.Gadis itu langsung memikirkan langkah-langkah untuk membuat kejutannya.Sementara itu di dalam kamarnya, Andra tampak terpaku di hadapan laptop yang terbuka. Auranya tampak begitu dingin dan kelam. Menatap tajam layar laptopnya yang menampilkan video dari sebuah CCTV.Video yang menampilkan seorang gadis remaja yang sedang berteriak ketakutan di dalam sebuah gudang tua.*Pukul sembilan tepat, Andra keluar dari kamarnya."Surprise!" seru Dinda yang telah menunggu di depan kamar.Andra mengernyit."Surprise?" ulangnya bingung.'Ya. Saya menyiapkan kejutan buat Dokter," Dinda tersenyum lebar. "Dan semoga Dokter suka," sambungnya cepat."Wah?" Andra menggaruk tengkuknya. Ini pengalaman pertama baginya. "Kejutan ... buat apa? Aku tidak berulang tahun.""Bukan kejutan untuk ulang tahun, kok. Saya cuma ingin Dokter relaks karena saya liat Dokter kelelahan tadi. Jadi saya menyiapkan perjalanan untuk ke Rumah Pinus." Dinda merentangkan tangannya sambil berbalik memperlihatkan tas piknik berisi makanan serta tikar piknik yang disembunyikan di belakangnya.Andra terperangah. Ia sampai terpaku dan kemudian tersenyum kikuk. "I-ini persiapan piknik?""Yap!"Andra kembali menggaruk tengkuknya. "Jadi ... kita berangkat sekarang?""Kalau Dokter sudah siap. Saya sudah buatkan sandwich dan telur gulung."Bibir menawan Andra langsung merekah dalam senyuman yang lebar. "Jadi itu menu piknik kita?"Dinda mengangguk dengan senyum dikulum. Hatinya senang luar biasa melihat senyuman sang dokter."Tunggu dulu, masih ada satu menu lagi yang harus ada!" seru Andra."Menu apa?""Rujak. Sejak dulu aku senang melihat orang-orang memakan rujak saat piknik, walau aku tak pernah bermimpi untuk melakukannya juga," jawabnya penuh semangat. "Kita pesan via delivery saja. Sambil menunggu rujaknya datang, kita siap-siap dulu."Di dalam kamarnya, Dinda panik mencari baju yang tepat untuk piknik. Tak ada yang cocok rasanya. Pasalnya rata-rata bajunya terlalu kusam dan jadul. Padahal ia ingin terlihat fresh hari ini.Hanya ada satu baju terbagus, hadiah dari Fathimah saat ulangtahunnya tahun lalu. Hadiah yang dibeli Fathimah dengan uang tabungan selama berbulan-bulan. Orangtua yang medit, membuat keuangan sang sahabat nyaris sama dengannya.Blouse putih berbahan sifon lembut dengan motif lucu itu memang membuat Dinda tampil fresh. Gadis itu akhirnya siap beranjak keluar dengan hati lega.Ternyata Andra sudah siap dan bahkan sedang menerima paket rujak dari kurirnya.Dan sebuah kebetulan membuat mereka senyum-senyum sendiri, Andra ternyata juga tampil dengan nuansa putih. Kaos putih dengan celana jeans, penampilan yang makin membuat aura kharismatik-nya menguar.Setelah sang dokter memasukkan semua bahan piknik ke dalam bagasi mobilnya, mereka pun berangkat."Kita lewat jalan alternatif saja ya, lebih adem dan pemandangannya juga bagus," ujar Andra.Dinda mengangguk.Mobil kemudian berbelok ke arah jalan alternatif yang dimaksud Andra. Memang sejuk karena lebih banyak pepohonan yang tumbuh di tepi jalan."Maaf, aku membuatmu bersusah payah menyiapkan kejutan untuk menghibur ku," ucap Andra membuka obrolan.Dinda mengangguk sungkan. "Tidak apa-apa. Saya memang suka membuat kejutan," jawabnya kikuk. Namun kemudian ia meringis sendiri mengingat jawabannya. Suka membuat kejutan? Rasanya tidak.Andra tersenyum simpul. "Oh ya? Ternyata masih banyak yang belum aku tau tentang kamu. Gimana kalo kita main suit lagi? Biar kita saling kenal.""Boleh," angguk Dinda.Lima detik kemudian..."Batu!" seru keduanya bersamaan sambil mengacungkan jemari.Dinda dengan tangan kanan dan Andra dengan tangan kiri, karena tangan kanannya masih harus mengendalikan setir.Hasilnya seri, sama-sama gunting. Membuat keduanya saling menatap dan tersenyum lucu.Percobaan ke-dua Andra yang menang. Laki-laki itu menahan senyum melihat bibir Dinda yang refleks manyun."Apa hal yang paling kamu takuti?" tanyanya sambil melihat kembali ke depan.Dinda berpikir sejenak."Hm ... melupakan," jawabnya."Melupakan?" ulang Andra. "Melupakan apa?""Melupakan apa saja. Melupakan keinginan ibu dan ayah yang ingin saya jadi pelukis hebat. Melupakan kasih mereka yang begitu besar. Melupakan jati diri saya sebagai seorang hamba Allah, dan melupakan tujuan saya diciptakan yang hanya untuk beribadah kepada-Nya."Andra melirik gadis yang duduk di sampingnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Bagaimana dengan kenangan pahit? Apa kamu juga tak ingin melupakannya?""Ya. Kenangan pahit bisa menjadi pembanding dan juga pengingat bahwa betapa banyak hal yang manis yang diberikan Allah."Andra menatap ke depan dengan raut terpaku. Merenungi jawaban Dinda yang tak pernah terpikirkan olehnya.Perjalanan mereka semakin jauh. Hingga memasuki daerah yang tak ada rumah. Hanya kebun, sawah dan Padang rumput.Melewati Padang rumput tampaklah sebuah danau yang begitu indah."Wah!" mulut mungil Dinda langsung berbentuk huruf O besar melihatnya. "Subhanallah, indahnya," takjubnya.."Kamu mau kita piknik di sini?" tanya AndraDinda langsung mengangguk dalam-dalam dengan mata yang berbinar seperti anak kucing.Andra tersenyum gemas melihatnya. Kemudian membelokkan mobilnya ke kiri jalan, memasuki tanah berumput yang cukup lapang di tepi danau.Mobil berhenti.Dinda langsung turun merenggangkan otot. Menghirup udara segar yang cukup lembab itu sedalam-dalamnya. Lalu berputar-putar kegirangan sambil memejamkan mata. Merasakan udara segar itu menyejukkan seluruh tubuhnya.Namun begitu ia membuka mata, pipinya langsung merona melihat senyuman Andra yang berdiri di samping mobil memperhatikannya.Gadis itu langsung meringis sambil menggaruk kening. Padahal tujuannya mengajak piknik adalah untuk menghibur sang dokter, tapi malah dirinya yang begitu menikmati."Tidak usah malu. Aku suka melihatnya," ujar Andra. "Boleh aku liat lagi?"Pipi Dinda seketika merona. "Ki-kita turunkan bahan pikniknya," alihnya cepat.Andra tersenyum geli. Ah, ia jadi banyak tersenyum hari ini. Tapi ia memang tak mengada-ngada. Hatinya senang melihat Dinda sebahagia itu.Dengan sigap laki-laki itu membuka bagasi dan menurunkan tikar piknik serta boks makanan.Dinda mendekat untuk membawa sisanya.Gadis itu mengambil sebuah kotak berwarna hitam yang ia pikir adalah kotak paket rujak yang dipesan sang dokter tadi.Kotak yang lumayan besar untuk rujak."Ini rujak apa?" tanya gadis itu penasaran.Andra menoleh. Namun begitu ia melihat kotak yang dibawa Dinda seketika itu juga ekspresinya berubah. Ekspresi dingin yang terkadang menyelimuti wajah tampannya."Jangan sentuh kotak itu!" desisnya.Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua
Dengan jantung yang berdebar, Dinda nekad membuka pintu kamar Andra. Sebuah ruangan yang tidak jauh berbeda dengan kamar Alex. Namun aroma di dalam ruangan itu tetaplah aroma Andra. Gadis itu menutup pintunya. Kemudian berdiri di balik pintu itu tanpa tahu harus apa setelahnya. Haruskah ia duduk di tempat tidur? Matanya mengedar ke sekeliling. Ada sofa berbingkai kayu ukir di sudut kamar. Dinda pun memilih duduk di sana untuk menunggu. Beberapa saat duduk menunggu Andra tak juga masuk. Gadis itu sudah beberapa kali menghela napas saking tegangnya. Jangan-jangan laki-laki itu enggan masuk karena ia terlalu lancang? Klek. Bunyi pintu yang dibuka terdengar jelas di telinganya. Dinda semakin tegang. Tampak bahu lebar Andra muncul dari balik pintu. Laki-laki itu masuk dan menutup pintunya. Tidak. Bukan sekedar menutup, sang dokter juga menguncinya. Dinda meneguk salivanya melihat itu. Pikirannya benar-benar kacau. Apa keputusannya untuk masuk ke kamar ini adalah pilihan yang tepat
Seorang gadis duduk termangu di depan jendela. Menatap muda-mudi yang berlalu-lalang tanpa benar-benar melihat. Riuh di kanan-kiri tak mengusik perhatiannya. Ia seperti jiwa yang terhampar jauh di tempat yang sunyi. Dialah Dinda Zahara Kirani. Gadis yang biasanya fokus dan bermotivasi kuat mengejar cita-citanya. Yang tak pernah berani berkhayal dan berangan. Yang tak pernah merasa sedih kecuali saat merasa lemah dalam mengejar cita-cita.Tapi kini jiwanya terusik oleh sebuah rasa. Rasa yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya selama ini. Rasa ingin dilihat seorang laki-laki. Akibatnya, hatinya merasakan pedih saat seorang pria mengabaikannya. "Hei!" Fathimah datang tiba-tiba dan sengaja mengejutkannya. Dinda tersentak. Kepedihan itu buyar dan menjadi sebuah rasa yang nelangsa. "Apa?" tanyanya tak bersemangat. "Gimana sama tugas yang baru dikasih Pak Dosen? Kamu pasti suka banget ngerjainnya, kan?"Dinda masih termangu. "Nah, berhubung kamu emang si pecinta tugas, tugas aku
Bab 15Laki-laki berbadan tegap itu berbalik. Bibirnya kemudian tersenyum pada Dinda. "Aku datang untuk menjemputmu, 'rayap bawel'. Mama kangen sama kamu," ujarnya. Mata Dinda langsung melebar mendengarnya. "Reza?" serunya tak percaya. Tak ada orang lain yang memanggilnya dengan sebutan rayap bawel selain teman masa kecilnya itu. Telah lama sejak ia masih berusia 12 tahun. Berpisah dengan tetangga yang sangat baik karena paman dan bibinya yang tiba-tiba menjual rumahnya dan mengajak pindah ke ruko. "Ternyata kamu masih ingat pada panggilan itu.""Ya, masih. Mana ada orang lain yang manggil aku rayap, ditambah bawel lagi."Laki-laki bernama Reza itu tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. "Apa kamu masih gila sama kertas?" "Aku nggak gila sama kertas, Reza.""Nggak gila tapi terobsesi aja. Setiap ada buku kosong pasti kamu abisin buat digambar, dan setiap ada bacaan yang baru, pasti kamu duluan yang heboh, entah itu buku cerita atau koran. Kan, benar-benar kayak rayap?""Lah, m
Pulang, Dinda melihat mobil Andra telah terparkir dalam bagasi. Hari telah senja. Ia baru pulang dari rumah Reza ba'da ashar. Halaman yang hijau itu tampak keemasan diterpa cahaya senja. Indah. Namun terasa kurang karena tak adanya tanaman bunga yang pasti akan menambah warna. Padahal ada meja dan kursi taman di sudut rumah. Namun karena mungkin sang dokter tidak pernah menggunakannya, meja dan kursi taman itu ditumpuk di sudut. Dinda langsung membuka pintu dengan kunci yang ada padanya. Aroma masakan yang begitu menggugah langsung tercium di hidung. Aroma masakan dari dapur.Siapa yang masak di belakang? Mungkinkah ada pembantu yang datang sekali-kali?"Assalamualaikum," ucapnya dengan kepala melongok ke belakang. Tak ada sahutan. Dinda pun langsung melangkah ke belakang. Tampak di sana laki-laki tampan yang biasanya berjas putih itu kini terpasang Appron di depan dada bidangnya. Mengaduk-aduk brokoli di dalam wajan yang berisik. Membuatnya tak menyadari kepulangan Dinda. "Dok
"Berapa yang kalian inginkan?" tanya Andra tajam pada Yani dan Lola. "Oh, syukurlah punya menantu yang pengertian seperti Nak Andra. Sayang sekali yang dipilih orang seperti Dinda. Coba aja sama Lola, pasti cocok banget," puji Yani mencari muka. Lola langsung tersenyum manis, berharap senyumannya itu bisa menarik perhatian suami dari sepupunya itu. "Kalo begitu cepat katakan nominalnya," tegas Andra. Yani girang luar biasa. Kapan lagi bisa mendapatkan uang cuma-cuma terserah berapapun w ia inginkan seperti ini. "Dua puluh juta aja, Nak. Bibi mau beli perhiasan sedikit. Lola juga butuh baju baru buat ke acara pesta ulangtahun temennya," jelas wanita itu dengan nada mendayu-dayu. Mata Dinda langsung melebar mendengarnya. Dua puluh juta? Mudah sekali bibinya itu meminta hasil jerih payah orang sesuka hati. "Baik, tunggu di sini!" Andra menutup pintu rumah di hadapan wajah mereka. Yani dan Lola tampak terkejut. Lola sempat menggerutu karena baru saja hendak melangkah ke dalam.
Sosok berhelm itu menoleh. Pada seorang gadis cantik berwajah Arab yang baru saja memukulinya. Kelengahan sosok itu memberi kesempatan pada si Preman untuk kabur. Namun ternyata sosok itu membiarkannya. Karena ia telah mengetahui siapa biang dari kejadian ini. Tanpa mempedulikan teriakan gadis berwajah Arab yang tak lain adalah Fathimah itu, petarung handal itu membuka sarung tangan kulitnya yang telah kotor dengan noda darah. Balok kayu yang juga menjadi senjatanya dibuangnya ke sembarang arah. Lalu melepaskan helm yang menutupi kepala. "Dokter Andra?" seru Fathimah saat melihat wajah tampan di balik helm itu. Sosok itu menoleh tanpa ekspresi. "Bukan," jawabnya datar. Lalu melangkah untuk kembali masuk ke toko. Fathimah mengernyit. Bukan Dokter Andra? Suaranya memang berbeda. Dan jika diperhatikan wajahnya juga tak terlalu sama. Jiwa 'kepo' Fathimah langsung bangkit. Dengan gesit ia menghadang laki-laki berpakaian serba hitam yang sebenarnya adalah Alex."Hei, tunggu dulu. K