Share

Kamar ke-tiga

Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"

Sayang?

Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?

Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya.

"Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu.

"Ada apa?" tanyanya datar.

Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian.

Andra membiarkannya tanpa ekspresi.

"Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu.

"Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu."

"Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu.

"Tapi aku benar-benar tidak bisa. Ada yang harus aku lakukan malam ini."

"Apa karena perempuan itu?" Wanita itu menyebut Dinda tanpa menunjuk ataupun meliriknya.

"Ya." jawab Andra, masih dengan ekspresi datar.

"Apa dia korbanmu selanjutnya?"

Ekspresi Andra seketika berubah. Matanya menatap tajam dengan raut yang begitu dingin. "Korban?" ulangnya dengan nada penuh penekanan. "Apa maksudmu dengan korban?"

Wanita itu tampak gelagapan. Dengan gugup ia langsung mengubah kata-katanya. "Bukan ... bukan begitu maksudku," ralatnya.

"Dia adalah istriku. Perempuan yang baru saja aku nikahi," tegas Andra.

Bibir merah wanita itu tampak mengatup rapat mendengarnya. "Istri?" tanyanya beberapa detik kemudian.

"Ya. Jangan ganggu aku lagi. Kau bisa mencari Alex jika membutuhkan apapun." Andra lekas berbalik untuk kembali masuk mobil.

"Kamu nggak boleh menikah, Janson!" Suara wanita itu terdengar bergetar. "Kenyataan tentang kamu seharusnya membuat kamu hanya bisa menikah denganku! Aku yang sangat mengenalmu!"

Langkah Andra seketika terhenti. Laki-laki itu berjas putih selutut itu berbalik kembali dengan raut yang dipenuhi dengan aura kegelapan.

"Siska!" geramnya dengan menyebut nama wanita itu. "Perkataanmu sudah melampaui batas!"

Melihat ekspresi Andra, wajah cantik Siska seketika pucat. "Maafkan aku ... aku hanya ... tak mau kehilanganmu," gugupnya.

"Dokter?" Suara Dinda memanggil dari arah mobil. Gadis itu telah keluar dan berdiri di samping pintu mobil.

Panggilan itu seketika membuyarkan aura kegelapan yang melingkupi wajah tampan Andra. Laki-laki itu menutup matanya sejenak kemudian menatap Siska lurus. Kembali datar dan tanpa ekspresi. "Aku harus pergi. Jangan terus bergantung padaku," ucapnya. Lalu berbalik meninggalkan Siska yang terpaku.

Perlahan netra Siska yang berlensa kotak abu-abu itu digenangi air mata. Menatap punggung Andra dengan nelangsa.

Dinda yang melihat ketegangan diantara mereka hanya bisa diam dan ikut masuk kembali ke dalam mobil.

Mobil hitam Andra kembali melaju. Meninggalkan Siska yang masih terpaku ditempatnya.

Di dalam mobilnya, Andra tidak membahas apa-apa. Ia hanya menyetir dengan pandangan lurus ke depan.

Hingga beberapa saat berlalu, mobil hitam itu memasuki sebuah area komplek perumahan. Perumahan yang tampak begitu nyaman dan bersih dengan rumput di halaman yang terpangkas rapi dan juga beberapa pohon palem.

Mobil berhenti di hadapan salah satu rumah. Rumah minimalis bercat biru muda kombinasi putih seperti rumah-rumah di yang berjejer di sampingnya.

"Kita sampai," desah laki-laki itu. Bibirnya kemudian mengurai senyuman.

Dinda ikut tersenyum, namun menjadi canggung. Kejadian tadi dan diamnya Andra sepanjang sisa perjalanan membuat suasana hatinya serba tak enak.

"Ayo turun," ajak Andra sambil membuka sit belt-nya.

Dinda menurut.

Laki-laki itu membawakan tasnya dan membuka pintu rumah dengan kunci dari sakunya.

"Rumahnya kecil," ucapnya begitu pintu terbuka, memperlihatkan ruang tamu dengan luas 9 m2 itu.

Dinda mengikuti langkah Andra memasuki ruangan itu. Interiornya super sekali. Perabotannya serba elegan dengan kualitas tinggi yang sekali lihat bisa ditebak kisaran harganya yang di atas 6 digit.

Dinda tidak terlalu terkejut karena ia tahu rumah ini adalah milik seorang owner toko properti terbesar di kotanya.

Namun menginjakkan kaki di dalam rumah seorang laki-laki tentu membuat perasaannya bercampur aduk.

"Rumah ini punya dua kamar. Karena kamu masih belum ingin punya junior, berarti kita harus tidur di kamar yang berbeda."

Ucapan Andra membuat pipi Dinda seketika bersemu merah.

"Aku tak bisa menjamin tidak akan mengganggumu jika kita berada dalam satu kamar," sambungnya dengan suara yang hampir serupa gumaman.

Dinda semakin panas dingin mendengarnya. Gadis itu menjadi salah tingkah dan gugup setengah mati.

"Kamar kamu yang di sebelah sini," tunjuk Andra pada salah satu di antara dua kamar yang berseberangan dan berhadapan pintunya.

Dinda melihat ke arah kamar di sebelah kirinya itu. Gadis itu mengangguk. "Biar saya masukkan sendiri tasnya," pinta gadis itu sambil menatap ranselnya yang dijinjing Andra.

Laki-laki itu mengangguk. "Panggil aku kalau butuh sesuatu," ucapnya.

Kamar yang dimasuki Dinda tampak begitu rapi. Interiornya juga elegan seperti hotel bintang lima. Orang pasti tidak menyangka interior rumah dinas bisa seperti ini.

Dinda menghenyakkan pantatnya di atas kasur yang tebal dan empuk. Gadis itu kemudian menengadah dan menghela napasnya.

Tidak disangka kini ia telah menjadi istri orang dan tinggal di rumah seorang laki-laki asing yang telah berpredikat sebagai suaminya.

Bayangannya kembali pada kejadian di tengah jalan tadi. Siapa sebenarnya perempuan cantik nan seksi itu? Dinda sempat mendengar namanya Siska.

Melihat Andra membiarkan saja jasnya dirapikan dan juga kekecewaan perempuan itu saat ditinggalkan Andra begitu saja, sepertinya mereka kenal cukup dekat. Apa mungkin dia adalah mantan pacar Dokter Andra?

Dinda merebahkan tubuhnya sambil mendesah. Ah, siapapun wanita itu lebih baik tidak ia jadikan pikiran. Yang penting sekarang ia tak perlu menjadi istri pria tua dan kasar yang pasti akan melenyapkan cita-citanya.

Bersama Andra ia bisa menjadi seorang pelukis seperti impiannya, bahkan Andra akan mendukung cita-citanya itu.

Bangkit dari tempat tidur, gadis itu mematut diri di kaca sejenak. Masih ada sedikit sisa make-up pengantin tadi. Ia merasa tak nyaman. Tubuhnya juga pegal.

Hari sudah sore, lebih baik ia membersihkan diri dan keluar untuk melihat apa yang perlu ia bantu di rumah ini.

Setelah mandi dan merasa segar, Dinda membuka pintu kamarnya. Matanya langsung terpaku ke hadapan, pada sosok jangkung yang juga baru keluar dari kamar yang berhadapan dengan kamarnya.

Keduanya bertemu tatap dan saling terpaku sesaat.

Bibir menawan Andra mengembangkan senyuman.

"Apa kita memiliki kontak batin? Atau memang sehati?" goda Andra.

Dinda tersipu dan mengalihkan pandangannya pada handle pintu. Memperhatikan pintu yang sengaja ia tutup pelan untuk menghindari tatapan laki-laki itu.

"Apa kamarnya nyaman?"

"Nyaman sekali, Dokter," jawab Dinda. "Apa ada yang perlu saya bantu?" sambungnya.

"Bantu?" Andra memasang tampang berpikir. "Ada. Aku ingin kamu membantuku melewati sore ini dengan secangkir kopi."

"Baik, kalo begitu saya akan buatkan kopinya."

Andra ingin melarang, tapi sepertinya gadis itu membutuhkan kegiatan agar tak lagi canggung dengan suasana rumah.

Laki-laki itu menunjuk letak dapurnya.

Setelah menyeduh kopi dengan seduhan mesin kopinya, Dinda kembali ke ruang depan dengan dua cangkir kopi di dalam nampan.

"Aku ingin minta bantuan mu lagi," ujar Andra setelah gadis itu duduk di hadapannya.

"Boleh, Dokter bilang saja."

"Aku ingin melanjutkan permainan batu gunting kertas nya."

Dinda tersenyum, "oke," jawabnya tak keberatan." Ia juga masih menyimpan banyak pertanyaan tentang laki-laki itu.

Dan permainan masa kanak-kanak itu pun kembali dimulai. Pada sesi pertama Dinda yang menang dan berhak untuk bertanya.

"Apa keinginan Dokter yang belum tercapai setelah menjadi seorang dokter?"

Andra terdiam sesaat. "Entahlah," mengangkat bahu. "Aku cuma menjalani saja. Tidak pernah punya keinginan atau cita-cita. Karena menurutku semakin tinggi keinginan akan semakin tinggi pula kekecewaan yang didapatkan saat gagal. Dan aku paling tidak suka merasa kecewa."

"Berarti menjadi seorang dokter bukan cita-citanya Dokter?"

"Bukan. Aku hanya kebetulan memilih fakultas kedokteran," jawab Andra. "Itu sudah dua pertanyaan," senyumnya kemudian.

Dinda ikut tersenyum.

Ronde ke-dua, Dinda kembali menang. Ia ingin menanyakan masalah wanita bernama Siska tadi. Namun belum sempat bibirnya berucap, suara dering ponsel Andra membuatnya urung.

"Sebentar ya, aku angkat telepon dulu," ujar laki-laki itu.

Dinda mengangguk. Menatap tubuh jangkung itu bangkit dan menempelkan ponsel di telinganya.

"Halo Alex," ucapnya sambil melangkah keluar dan berdiri di teras.

Dinda meraih cangkir kopi dan menyeruput minuman pekat itu sedikit. Matanya kemudian mengedar ke sekeliling.

Rasanya saat kembali dari dapur tadi ia melihat sebuah pintu kamar lain. Dengan hati penasaran, gadis itu melangkah kembali ke belakang.

Benar. Ada kamar lain.

Tapi bukankah tadi sang dokter mengatakan rumah ini hanya memiliki dua kamar?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status