Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"
Sayang?Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya."Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu."Ada apa?" tanyanya datar.Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian.Andra membiarkannya tanpa ekspresi."Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu."Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu."Tapi aku benar-benar tidak bisa. Ada yang harus aku lakukan malam ini.""Apa karena perempuan itu?" Wanita itu menyebut Dinda tanpa menunjuk ataupun meliriknya."Ya." jawab Andra, masih dengan ekspresi datar."Apa dia korbanmu selanjutnya?"Ekspresi Andra seketika berubah. Matanya menatap tajam dengan raut yang begitu dingin. "Korban?" ulangnya dengan nada penuh penekanan. "Apa maksudmu dengan korban?"Wanita itu tampak gelagapan. Dengan gugup ia langsung mengubah kata-katanya. "Bukan ... bukan begitu maksudku," ralatnya."Dia adalah istriku. Perempuan yang baru saja aku nikahi," tegas Andra.Bibir merah wanita itu tampak mengatup rapat mendengarnya. "Istri?" tanyanya beberapa detik kemudian."Ya. Jangan ganggu aku lagi. Kau bisa mencari Alex jika membutuhkan apapun." Andra lekas berbalik untuk kembali masuk mobil."Kamu nggak boleh menikah, Janson!" Suara wanita itu terdengar bergetar. "Kenyataan tentang kamu seharusnya membuat kamu hanya bisa menikah denganku! Aku yang sangat mengenalmu!"Langkah Andra seketika terhenti. Laki-laki itu berjas putih selutut itu berbalik kembali dengan raut yang dipenuhi dengan aura kegelapan."Siska!" geramnya dengan menyebut nama wanita itu. "Perkataanmu sudah melampaui batas!"Melihat ekspresi Andra, wajah cantik Siska seketika pucat. "Maafkan aku ... aku hanya ... tak mau kehilanganmu," gugupnya."Dokter?" Suara Dinda memanggil dari arah mobil. Gadis itu telah keluar dan berdiri di samping pintu mobil.Panggilan itu seketika membuyarkan aura kegelapan yang melingkupi wajah tampan Andra. Laki-laki itu menutup matanya sejenak kemudian menatap Siska lurus. Kembali datar dan tanpa ekspresi. "Aku harus pergi. Jangan terus bergantung padaku," ucapnya. Lalu berbalik meninggalkan Siska yang terpaku.Perlahan netra Siska yang berlensa kotak abu-abu itu digenangi air mata. Menatap punggung Andra dengan nelangsa.Dinda yang melihat ketegangan diantara mereka hanya bisa diam dan ikut masuk kembali ke dalam mobil.Mobil hitam Andra kembali melaju. Meninggalkan Siska yang masih terpaku ditempatnya.Di dalam mobilnya, Andra tidak membahas apa-apa. Ia hanya menyetir dengan pandangan lurus ke depan.Hingga beberapa saat berlalu, mobil hitam itu memasuki sebuah area komplek perumahan. Perumahan yang tampak begitu nyaman dan bersih dengan rumput di halaman yang terpangkas rapi dan juga beberapa pohon palem.Mobil berhenti di hadapan salah satu rumah. Rumah minimalis bercat biru muda kombinasi putih seperti rumah-rumah di yang berjejer di sampingnya."Kita sampai," desah laki-laki itu. Bibirnya kemudian mengurai senyuman.Dinda ikut tersenyum, namun menjadi canggung. Kejadian tadi dan diamnya Andra sepanjang sisa perjalanan membuat suasana hatinya serba tak enak."Ayo turun," ajak Andra sambil membuka sit belt-nya.Dinda menurut.Laki-laki itu membawakan tasnya dan membuka pintu rumah dengan kunci dari sakunya."Rumahnya kecil," ucapnya begitu pintu terbuka, memperlihatkan ruang tamu dengan luas 9 m2 itu.Dinda mengikuti langkah Andra memasuki ruangan itu. Interiornya super sekali. Perabotannya serba elegan dengan kualitas tinggi yang sekali lihat bisa ditebak kisaran harganya yang di atas 6 digit.Dinda tidak terlalu terkejut karena ia tahu rumah ini adalah milik seorang owner toko properti terbesar di kotanya.Namun menginjakkan kaki di dalam rumah seorang laki-laki tentu membuat perasaannya bercampur aduk."Rumah ini punya dua kamar. Karena kamu masih belum ingin punya junior, berarti kita harus tidur di kamar yang berbeda."Ucapan Andra membuat pipi Dinda seketika bersemu merah."Aku tak bisa menjamin tidak akan mengganggumu jika kita berada dalam satu kamar," sambungnya dengan suara yang hampir serupa gumaman.Dinda semakin panas dingin mendengarnya. Gadis itu menjadi salah tingkah dan gugup setengah mati."Kamar kamu yang di sebelah sini," tunjuk Andra pada salah satu di antara dua kamar yang berseberangan dan berhadapan pintunya.Dinda melihat ke arah kamar di sebelah kirinya itu. Gadis itu mengangguk. "Biar saya masukkan sendiri tasnya," pinta gadis itu sambil menatap ranselnya yang dijinjing Andra.Laki-laki itu mengangguk. "Panggil aku kalau butuh sesuatu," ucapnya.Kamar yang dimasuki Dinda tampak begitu rapi. Interiornya juga elegan seperti hotel bintang lima. Orang pasti tidak menyangka interior rumah dinas bisa seperti ini.Dinda menghenyakkan pantatnya di atas kasur yang tebal dan empuk. Gadis itu kemudian menengadah dan menghela napasnya.Tidak disangka kini ia telah menjadi istri orang dan tinggal di rumah seorang laki-laki asing yang telah berpredikat sebagai suaminya.Bayangannya kembali pada kejadian di tengah jalan tadi. Siapa sebenarnya perempuan cantik nan seksi itu? Dinda sempat mendengar namanya Siska.Melihat Andra membiarkan saja jasnya dirapikan dan juga kekecewaan perempuan itu saat ditinggalkan Andra begitu saja, sepertinya mereka kenal cukup dekat. Apa mungkin dia adalah mantan pacar Dokter Andra?Dinda merebahkan tubuhnya sambil mendesah. Ah, siapapun wanita itu lebih baik tidak ia jadikan pikiran. Yang penting sekarang ia tak perlu menjadi istri pria tua dan kasar yang pasti akan melenyapkan cita-citanya.Bersama Andra ia bisa menjadi seorang pelukis seperti impiannya, bahkan Andra akan mendukung cita-citanya itu.Bangkit dari tempat tidur, gadis itu mematut diri di kaca sejenak. Masih ada sedikit sisa make-up pengantin tadi. Ia merasa tak nyaman. Tubuhnya juga pegal.Hari sudah sore, lebih baik ia membersihkan diri dan keluar untuk melihat apa yang perlu ia bantu di rumah ini.Setelah mandi dan merasa segar, Dinda membuka pintu kamarnya. Matanya langsung terpaku ke hadapan, pada sosok jangkung yang juga baru keluar dari kamar yang berhadapan dengan kamarnya.Keduanya bertemu tatap dan saling terpaku sesaat.Bibir menawan Andra mengembangkan senyuman."Apa kita memiliki kontak batin? Atau memang sehati?" goda Andra.Dinda tersipu dan mengalihkan pandangannya pada handle pintu. Memperhatikan pintu yang sengaja ia tutup pelan untuk menghindari tatapan laki-laki itu."Apa kamarnya nyaman?""Nyaman sekali, Dokter," jawab Dinda. "Apa ada yang perlu saya bantu?" sambungnya."Bantu?" Andra memasang tampang berpikir. "Ada. Aku ingin kamu membantuku melewati sore ini dengan secangkir kopi.""Baik, kalo begitu saya akan buatkan kopinya."Andra ingin melarang, tapi sepertinya gadis itu membutuhkan kegiatan agar tak lagi canggung dengan suasana rumah.Laki-laki itu menunjuk letak dapurnya.Setelah menyeduh kopi dengan seduhan mesin kopinya, Dinda kembali ke ruang depan dengan dua cangkir kopi di dalam nampan."Aku ingin minta bantuan mu lagi," ujar Andra setelah gadis itu duduk di hadapannya."Boleh, Dokter bilang saja.""Aku ingin melanjutkan permainan batu gunting kertas nya."Dinda tersenyum, "oke," jawabnya tak keberatan." Ia juga masih menyimpan banyak pertanyaan tentang laki-laki itu.Dan permainan masa kanak-kanak itu pun kembali dimulai. Pada sesi pertama Dinda yang menang dan berhak untuk bertanya."Apa keinginan Dokter yang belum tercapai setelah menjadi seorang dokter?"Andra terdiam sesaat. "Entahlah," mengangkat bahu. "Aku cuma menjalani saja. Tidak pernah punya keinginan atau cita-cita. Karena menurutku semakin tinggi keinginan akan semakin tinggi pula kekecewaan yang didapatkan saat gagal. Dan aku paling tidak suka merasa kecewa.""Berarti menjadi seorang dokter bukan cita-citanya Dokter?""Bukan. Aku hanya kebetulan memilih fakultas kedokteran," jawab Andra. "Itu sudah dua pertanyaan," senyumnya kemudian.Dinda ikut tersenyum.Ronde ke-dua, Dinda kembali menang. Ia ingin menanyakan masalah wanita bernama Siska tadi. Namun belum sempat bibirnya berucap, suara dering ponsel Andra membuatnya urung."Sebentar ya, aku angkat telepon dulu," ujar laki-laki itu.Dinda mengangguk. Menatap tubuh jangkung itu bangkit dan menempelkan ponsel di telinganya."Halo Alex," ucapnya sambil melangkah keluar dan berdiri di teras.Dinda meraih cangkir kopi dan menyeruput minuman pekat itu sedikit. Matanya kemudian mengedar ke sekeliling.Rasanya saat kembali dari dapur tadi ia melihat sebuah pintu kamar lain. Dengan hati penasaran, gadis itu melangkah kembali ke belakang.Benar. Ada kamar lain.Tapi bukankah tadi sang dokter mengatakan rumah ini hanya memiliki dua kamar?Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum
Dinda mengakhiri shalat subuh nya dengan salam. Saat suara kunci pintu rumah terdengar diputar dari luar. Itu pasti Andra. Sang Dokter kembali tak pulang semalaman. "Maaf, aku tidak pulang semalam. Operasinya selesai pukul dua malam. Hujan sangat deras, aku ingin mengabari mu kalo tak bisa pulang, tapi baru sadar kalau HP-ku lowbat. Nunggu baterainya penuh aku malah tertidur," ucapnya langsung begitu Dinda melongok dari pintu kamarnya. Gadis itu terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. Wajah Andra tampak begitu lelah. Sudah seharusnya istri seorang Dokter maklum dengan waktu kerja suaminya yang tak menentu. Apalagi dirinya yang merasa berhutang budi dengan pernikahan ini. "Tidak apa-apa. Saya tau Dokter tidak bisa pulang karena hujan."Andra membalas senyuman itu. Kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja tamu. Dan mengambil laptop dari dalamnya. "Aku harus masuk kamar dulu. Masih ada pekerjaan yang belum selesai," terangnya dengan raut penuh beban. Dinda mengangguk. "Saya akan
Bab 11Dinda terkejut melihat ekspresi itu. Andra menatap kotak yang dipegangnya dengan tatapan tajam. "Jangan sentuh kotak itu!" desis laki-laki itu. Mata Dinda langsung beralih pada kotak di tangannya. Jangan sentuh? Kotak hitam ini? "Ke ... Napa?" Tanpa menjawabnya Andra menghampiri gadis itu. Mengambil kotaknya dengan kasar dan raut wajah yang sama. Dinda meneguk salivanya. Memandang punggung Andra yang telah berbalik dan menjauh. "Memangnya ... itu bukan kotak rujaknya?" tanyanya lirih.Lirihan yang membuat langkah Andra terhenti. Ekspresi dinginnya perlahan berubah. Ia terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh. "Maaf, aku menyakitimu," ucapnya. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke mobil dan menyimpan kotak itu. Ia kemudian kembali dengan sebuah kotak berwarna hijau tua. Tersenyum lembut dan menggapai tangan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Menggenggamnya lembut dan mengajaknya ke tikar yang telah digelar. "Ini kotak rujaknya," tuturnya setelah meletakkan kotak
"Itu foto aku bersama Janson dan Alex," jelas Siska sekali lagi. Tangannya kemudian merampas pigura itu dari Dinda. Dinda terpaku. Jadi mereka teman sejak kecil? "Siska?" Suara bariton Andra terdengar memasuki ruang utama itu.Siska menoleh dan langsung mengembangkan senyuman. Tubuh tinggi semampai nya yang dibalut gaun ketat segera melenggang menghampiri. "Ya. Kita sehati, ya. Kamu-nya di sini, aku juga tiba-tiba pingin ke sini," riangnya. Kemudian bergelayut manja di lengan Andra yang sedang membawa nampan minuman. "Hei, tehnya bisa tumpah," tegur Andra. Siska tertawa lepas. "Biar aku yang bawakan," ujarnya sambil meraih nampan dari tangan Andra tanpa melepaskan gandengan di lengan laki-laki itu.Perempuan itu meletakkan nampan di atas meja, lalu menarik tangan Andra untuk duduk bersisian dengannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus, Janson." Perempuan itu langsung meraih salah satu cangkir dan menyeruputnya. Dinda berdiri termangu. Ia terabaikan. Seolah mereka hanya berdua
Dengan jantung yang berdebar, Dinda nekad membuka pintu kamar Andra. Sebuah ruangan yang tidak jauh berbeda dengan kamar Alex. Namun aroma di dalam ruangan itu tetaplah aroma Andra. Gadis itu menutup pintunya. Kemudian berdiri di balik pintu itu tanpa tahu harus apa setelahnya. Haruskah ia duduk di tempat tidur? Matanya mengedar ke sekeliling. Ada sofa berbingkai kayu ukir di sudut kamar. Dinda pun memilih duduk di sana untuk menunggu. Beberapa saat duduk menunggu Andra tak juga masuk. Gadis itu sudah beberapa kali menghela napas saking tegangnya. Jangan-jangan laki-laki itu enggan masuk karena ia terlalu lancang? Klek. Bunyi pintu yang dibuka terdengar jelas di telinganya. Dinda semakin tegang. Tampak bahu lebar Andra muncul dari balik pintu. Laki-laki itu masuk dan menutup pintunya. Tidak. Bukan sekedar menutup, sang dokter juga menguncinya. Dinda meneguk salivanya melihat itu. Pikirannya benar-benar kacau. Apa keputusannya untuk masuk ke kamar ini adalah pilihan yang tepat
Seorang gadis duduk termangu di depan jendela. Menatap muda-mudi yang berlalu-lalang tanpa benar-benar melihat. Riuh di kanan-kiri tak mengusik perhatiannya. Ia seperti jiwa yang terhampar jauh di tempat yang sunyi. Dialah Dinda Zahara Kirani. Gadis yang biasanya fokus dan bermotivasi kuat mengejar cita-citanya. Yang tak pernah berani berkhayal dan berangan. Yang tak pernah merasa sedih kecuali saat merasa lemah dalam mengejar cita-cita.Tapi kini jiwanya terusik oleh sebuah rasa. Rasa yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya selama ini. Rasa ingin dilihat seorang laki-laki. Akibatnya, hatinya merasakan pedih saat seorang pria mengabaikannya. "Hei!" Fathimah datang tiba-tiba dan sengaja mengejutkannya. Dinda tersentak. Kepedihan itu buyar dan menjadi sebuah rasa yang nelangsa. "Apa?" tanyanya tak bersemangat. "Gimana sama tugas yang baru dikasih Pak Dosen? Kamu pasti suka banget ngerjainnya, kan?"Dinda masih termangu. "Nah, berhubung kamu emang si pecinta tugas, tugas aku
Bab 15Laki-laki berbadan tegap itu berbalik. Bibirnya kemudian tersenyum pada Dinda. "Aku datang untuk menjemputmu, 'rayap bawel'. Mama kangen sama kamu," ujarnya. Mata Dinda langsung melebar mendengarnya. "Reza?" serunya tak percaya. Tak ada orang lain yang memanggilnya dengan sebutan rayap bawel selain teman masa kecilnya itu. Telah lama sejak ia masih berusia 12 tahun. Berpisah dengan tetangga yang sangat baik karena paman dan bibinya yang tiba-tiba menjual rumahnya dan mengajak pindah ke ruko. "Ternyata kamu masih ingat pada panggilan itu.""Ya, masih. Mana ada orang lain yang manggil aku rayap, ditambah bawel lagi."Laki-laki bernama Reza itu tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. "Apa kamu masih gila sama kertas?" "Aku nggak gila sama kertas, Reza.""Nggak gila tapi terobsesi aja. Setiap ada buku kosong pasti kamu abisin buat digambar, dan setiap ada bacaan yang baru, pasti kamu duluan yang heboh, entah itu buku cerita atau koran. Kan, benar-benar kayak rayap?""Lah, m