Share

Pria Lembut Dari Khayangan

"Bangunlah," ajak pria itu lembut. "Aku sudah tiba seperti janjiku padamu."

Dinda terpaku bingung. Siapa laki-laki ini? Rasanya mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tetangga-tetangga mulai bergunjing mengenai mereka. Beberapa memuji betapa beruntungnya Dinda memiliki kekasih setampan laki-laki itu. Namun, beberapa juga mencemooh Dinda yang dinilai tidak sepadan dengan laki-laki tersebut.

Sementara orang-orang sibuk berkomentar, tangan kokoh itu masih menunggu di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi gadis itu kemudian menyambutnya. Namun ia masih tak sanggup mengangkat wajahnya. Dinda benar-benar malu dan hanya ingin menghilang dari tengah kerumunan orang-orang.

Tangan kokoh itu membantunya berdiri. Kemudian membimbingnya ke restoran sebelah.

"Kita makan dulu, ya? Aku sudah lama menahan rindu ingin makan bersamamu lagi."

Laki-laki itu menuntunnya pelan ke Restoran berbintang yang berseberangan dengan toko bukunya. Meninggalkan Lola dan Yani yang melongo tak percaya.

Begitu masuk ke dalam Restoran, Dinda melihat Owner Restoran itu sendiri yang menyambut dengan penuh hormat. Ia langsung bisa menilai bahwa laki-laki yang sedang menolongnya adalah pelanggan yang diutamakan.

Namun ia belum sempat melihat seperti apa sosok malaikatnya ini, karena ia terus menunduk sejak tadi. Hanya sepatu pantofel laki-laki itu yang hitam mentereng yang sedari tadi jadi objek tatapannya.

Laki-laki itu berhenti di samping salah satu meja dengan dua kursi.

Tangan kokohnya kemudian melepaskan lengan Dinda. Lalu menarik salah satu kursi. "Duduklah," lembut tawarannya.

Dinda menurut. Sikap lembut penolongnya itu langsung membuatnya nyaman.

"Tunggu sebentar, ya." Laki-laki itu melangkah keluar kembali dengan tergesa. Meninggalkan Dinda yang kemudian ditemani Owner Restoran. Dinda yang belum pernah bertegur sapa dengan owner tersebut kini justru ditawari makan, dan dilayani bak tamu kehormatan.

Dinda menggeleng, hingga beberapa saat kemudian laki-laki penolongnya kembali datang dan bermaksud mengobati luka di lututnya. Namun, karena enggan bagian tubuhnya yang tertutup kulot panjang itu dilihat oleh orang lain, Dinda menolak secara halus.

Laki-laki baik itu menurut dan menyerahkan obatnya agar Dinda bisa mengobatinya sendiri nanti. Namun kemudian gencar memaksa gadis itu untuk makan. Sikapnya benar-benar penuh perhatian.

Akhirnya Dinda mengangguk, mengiyakan apa saja yang ditawarkan padanya.

Menunggu makanannya datang , Dinda merasa penasaran pada laki-laki yang duduk di hadapannya.

Gadis itu mengangkat wajahnya. Dan seketika itu ia terkesima. ‘Ya Tuhan, ….’

Penolongnya itu ternyata benar-benar seperti sosok malaikat!

Tampan, berkharisma, dan memiliki tatapan seteduh rembulan. Alisnya rapi dengan bentuk yang tegas, matanya berwarna coklat terang, hidungnya mancung, bentuk bibirnya pun sangat menawan.

Dan yang paling disukai Dinda adalah rambutnya yang tebal, disisir rapi dengan potongan yang keren. Juga pundaknya yang lebar. Tampak begitu maskulin dengan kemeja biru tua yang lengannya dilipat sampai ke bawah siku.

Sontak saja Dinda salah tingkah. Tangannya refleks merapikan kerudung.

Melihat kecanggungan Dinda, pria itu mengembangkan senyuman. Manis. Ada lesung pipinya.

"Perkenalkan, namaku Andra Janson."

“Salam kenal, saya Dinda." Gadis itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

Andra tersenyum tipis dan menarik kembali tangannya. "Dinda saja?"

"Dinda Zahara Kirani. Sekali lagi terima kasih atas bantuan Anda tadi. Sekarang saya udah baik-baik saja. Anda bisa melanjutkan tujuan Anda sebelumnya."

"Kok, Anda? Andra, kurang R-nya." Pria itu memasang tampang serius.

Dinda menyengir. "Ya, Andra maksud saya.".

"Nah, begitu." Pria itu mengangkat telunjuknya sambil tersenyum. "Tujuanku tadi memang untuk makan. Terus tidak sengaja melihat kejadian tadi."

"Itu ... baru kali ini terjadi. Kami tidak pernah bertengkar sampai dilihat orang lain sebelumnya," terang Dinda.

Entah kenapa ia tak ingin pria ini berpikir dirinya berasal dari keluarga arogan dan berantakan.

"Kamu pasti syok sekali," Andra menatap prihatin.

"Ya. Bibi hari ini tiba-tiba mengamuk."

"Karena kamu tidak mau dijodohkan?"

Dinda langsung menatap lurus wajah di hadapannya. Wajah beraura teduh yang membuatnya merasa nyaman walau baru bertemu. "Bagaimana Anda tau?”

"Aku mendengarnya tadi."

Dinda menelan salivanya.

Ya, tentu saja laki-laki ini tahu. Dan semua orang di sekitar tokonya yang melihat kejadian tadi juga tahu.

"Ya," lirihnya. "Dengan laki-laki tua yang telah memiliki istri."

"Melihat kemarahannya tadi, aku tebak bibi kamu pasti tidak akan menyerah sebelum menikahkan kamu."

"Ya, memang benar, bibi adalah orang yang tak mau omongannya dibantah."

Andra menghela napas. "Kalau begitu, kita harus benar-benar menikah."

"Apa?!" Mata Dinda membulat sempurna.

Andra menatap mata cemerlang itu intens. "Ya. Semua orang sekarang tau kamu punya pacar. Aku bahkan tadi mengatakan di depan semua orang akan menikahimu. Jadi kalau itu tak terjadi, bantuanku tadi hanya akan menjadi bumerang buat kamu. Orang akan berpikir aku mencampakkan kamu, dan bibi kamu akan langsung menikahkan kamu dengan orang tua itu tanpa ragu lagi."

Dinda terhenyak. Apa yang dikatakan Andra tadi terdengar jelas di pendengarannya, tapi otaknya menolak mentah-mentah.

Bagaimana mungkin ia bisa menikah mendadak? Dengan orang yang baru dijumpainya beberapa menit yang lalu pula. Ya walaupun orang yang mengajaknya menikah itu bak seorang pangeran.

Andra mengambil dompet dari saku celananya dan mengeluarkan selembar kartu. "Ini, kartu namaku. Ada nomor teleponnya. Kamu bisa menghubungiku kalau udah ada keputusan."

Dinda menerima kartu yang disodorkan Andra dengan perasaan yang tak karuan.

"Dr. Andra Janson," bacanya tanpa suara.

Jadi pria tampan ini adalah seorang dokter?

**

Tiga hari telah berlalu. Namun Dinda belum berani memberi keputusan pada Dr. Andra Janson. Laki-laki itu juga tidak pernah muncul lagi sejak hari itu.

Dinda menatap kartu nama di tangannya sambil menghela napas. Harusnya ia bisa menebak akan jadi seperti ini. Mana mungkin seorang dokter yang pasti hari-harinya sangat sibuk akan mengingat perempuan yang baru sekali ditemuinya. Dr. Andra Janson pasti hanya melihatnya sebagai orang yang harus dibantu kala itu, sama seperti seorang pasien.

"Dan di antara beribu pasiennya, mana mungkin dia akan ingat padaku."

Dinda menggelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan bayangan Dr. Andra dari pikrian. Ini tidak boleh dibiarkan. Harapannya tidak boleh dipupuk. Angannya tidak boleh diberi angin untuk terus melambung.

Akhirnya, Dinda memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Fathimah. Satu-satunya teman yang paling tahu seperti apa hidupnya.

Gadis keturunan Arab yang tingkahnya seringkali absurd namun sangat setia kawan.

Beberapa kali nada sambungnya berbunyi, Fathimah tak juga mengangkat teleponnya.

Hingga akhirnya suara seorang laki-laki terdengar menjawab. "Apa Anda saudaranya pemilik hp ini? Saudari Anda baru saja mengalami kecelakaan."

Mendengar berita buruk itu, Dinda segera bergegas ke tempat kejadian. Untunglah sahabatnya itu hanya mengalami kecelakaan kecil. Dan Dinda pun menemaninya ke rumah sakit.

Saat sedang menunggu dokter di sebuah ruangan yang serba putih, Fathimah justru sibuk membicarakan lelaki penolongnya, yang katanya bak jodoh yang ia impikan.

"Ya ampun, sempet-sempetnya kamu mikirin cowok lagi sakit begini! Jangan-jangan tadi kepalamu ikut kepentok," Dinda menyentil kening sahabatnya.

"Kepentok?" Seseorang menyela dari arah pintu ruang Dokter.

Dinda langsung menyadari bahwa dokternya telah datang.

Langkah sepatu pantofel terdengar mengetuk lantai. Suara langkah yang terdengar maskulin.

"Apanya yang kepentok?" Sang dokter kembali bertanya sambil menarik kursinya.

Dinda mengangkat wajahnya, dan seketika itu ia tersentak.

Itu … Dr. Andra Janson!

Mata keduanya bertemu. Dokter tampan yang kharismatik itu tersenyum ramah.

Namun agaknya Dinda harus kecewa, karena sepengelihatannya Andra tidak lagi mengingatnya.

Tidak ada interaksi berarti yang terjadi di antara keduanya. Hingga sampai akhir sesi konsultasi, Dinda membantu Fathimah bangun dan keluar dengan membawa resep obat.

Laki-laki itu tiba-tiba ikut bangkit dan memberi perintah pada Perawat yang baru masuk ke ruangannya.

"Sus, tolong bantu pasiennya mengambil obat di apotek. Saya ingin berbicara dengan temannya.”

Langkah Dinda sontak berhenti. Degup jantungnya kembali melonjak.

Laki-laki itu ingin bicara dengannya?

Perawat yang diperintahkan Andra tersenyum ramah dan mengajak Fathimah bersamanya. Sementara Dinda hanya bisa mematung dengan dada yang berdebar.

Setelah pintu ruangan ditutup kembali oleh perawat, Dinda berbalik tanpa berani menatap sosok yang berdiri menjulang beberapa langkah di depannya.

"Kenapa kamu tidak menelepon?"

Dinda langsung mengangkat wajahnya. Ternyata, penolongnya ini masih ingat padanya.

Netra coklat terang itu menatap lurus padanya dengan tatapan begitu mendominasi.

"Apa kamu menolakku?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Milla Dwi
seruuuu...aahhh bikin penasaran, kenapa Andra bisa tiba2 mengajak nikah Dinda
goodnovel comment avatar
Fakrullah
Udah selesai Bab 2. Semangat, Thor...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status