Plak....
Sebuah tamparan mendarat di pipi Amara yang putih dan bening, rupanya ucapan gadis itu telah berhasil memancing emosi Bu Ajeng yang sudah sejak tadi berusaha menahan amarah. Darah rentenir itu mendidih, bola matanya memerah, urat-urat di wajahnya tampak menonjol dan menegang, saat ini wajah Bu Ajeng terlihat lebih menyeramkan dari pada penampakan setan.
"Berani sekali kamu berkata seperti itu padaku! Ternyata kalian tidak hanya miskin harta, tetapi juga miskin akhlak! Bu Ajeng mengarahkan jari telunjuknya pada Amara. Tatapannya tajam, dadanya terlihat naik turun, napasnya tak beraturan, yang menjadi pertanda betapa murkanya rentenir itu pada saat ini.
Sedangkan Amara terdiam mematung memegangi pipi kanannya yang terasa perih dan panas akibat tamparan Bu Ajeng, saking kerasnya tamparan itu membuat pipinya memerah membetuk bekas jari. Bu Sulas yang sedang berdiri tepat di sebelah putrinya terkejut melihat kejadian itu, kedua tangan Bu Sulas refleks menutup mulutnya yang terbuka.
"Amara, kamu tidak apa-apa, Nak? Bu Sulas memeluk tubuh putrinya yang berlinang air mata. Hati perempuan itu terasa bagaikan pecah berkeping-keping melihat anak yang sangat dia kasihi mendapatkan perlakuan buruk di depan matanya, namun dia sama sekali tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kalian harus meninggalkan rumah ini sekarang juga, aku sudah tidak sudi melihat wajah kalian lagi." Bu Ajeng menendang kursi yang ada di hadapanya, hingga kursi itu berpindah tempat.
"Tolong kasihani kami, Bu. jangan usir kami dari rumah ini, Bu." Bu Sulas bersimpuh di kaki sang rentenir. Wanita itu sudah tidak perduli lagi dengan harga dirinya, yang dia inginkan saat ini hanya satu, supaya Bu Ajeng tidak mengambil rumah yang menjadi satu-satunya tempat tinggal mereka.
Pak Bardan yang sejak tadi diam beranjak dari tempat duduknya, lelaki itu tidak tega melihat istrinya mengemis di hadapan Bu Ajeng. Dia melangkah dengan tergesa mendekat pada Bu Sulas
"Bu, apa yang kamu lakukan? Ayo berdiri, Bu. Jangan bertingkah seperti anak kecil seperti ini". Lelaki tua itu menarik tangan istrinya agar kembali berdiri. Namun, Bu Sulas menepis tangan Pak Bardan yang menempel di lenganya
"Aku akan tetap berlutut sampai Bu Ajeng mengurungkan niatnya untuk mengusir kita dari rumah ini, Pak"
Bu Ajeng tersenyum sinis mendengar ucapan istri Pak Bardan tersebut, wanita jahat itu menaikan sudut bibirnya, dia juga memutar bola matanya sebagai tanda ketidak sukaannya terhadap sikap Bu Sulas. Tidak ada sama sekali rasa kasihan dalam diri wanita itu melihat air mata yang membanjiri pipi wanita yang ada di hadapannya.
"Enak saja kamu! Kamu pikir dengan memohon di hadapanku seperti ini bisa melunasi semua hutang keluargamu!." Bu Ajeng menendang tubuh Bu Sulas hingga wanita itu terjungkal
Bu Sulas tidak menyerah begitu saja, dia kembali merangkak untuk mendekst pada Bu Ajeng lalu memeluk lutut wanita itu.
"Bu, tolong jangan lakuka itu, Bu. Aku mohon, Bu. Jika Ibu mengambil rumah ini kami akan tinggal di mana?"
"Hu... Hu... Hu... Hu... Hu... Hu.... Hu..." Bu Sulas menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Tangannya memegang erat kaki Bu Ajeng.
"Itu bukan urusanku. Dan aku juga tidak perduli!," karena Bu Ajeng sudah jengah melihat drama kesedihan keluarga Pak Bardan, dan dia ingin agar urusannya segera terselesaikan
Bu Ajeng mengambil telepon dari dalam tas, dan menggulir layar benda pipih itu ke samping, Setelah masuk ke aplikasi pesan berwarna hijau, lalu dia menekan sebuah kontak untuk melakukan panggilan
"Halo, datanglah segera ke rumah Pak Bardan di desa Cempaka! Cepatlah, aku suda berada di sini sejak tadi." Wanita itu kembali menutup telepon secara sepihak.
Setelah menunggu beberapa saat. Sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah Pak Bardan, dua lelaki berwajah sangar seperti preman, dengan pakaian serba hitam turun dari motor besar itu.
"Apa yang harus kami lakukan, Bu?," tanya seorang lelaki dengan brewok menghiasi wajahnya.
"Keluarkan semua barang dari rumah itu, sampai benar-benar bersih tersisa. Setelah pekerjaan kalian selesai aku akan segera merenovasi rumah ini, aku akan membuat kontrakan," ucap Bu Ajeng sambil menunjuk rumah Pak Bardan
"Kami akan membersihkan rumah itu seperti keinginan, Ibu"
Kedua orang itu masuk ke dalam rumah dan memporak porandakan semua isinya. Mereka melempar semua barang milik Pak Bardan dan keluarganya ke halaman. Mulai dari kursi reot yang selama ini menjadi tempat berkumpul mereka, lemari pakaian yang terbuat dari plastik, tudung saji dari anyaman bambu semuanya sudah menumpuk di halaman rumah
Bu Sulas hanya bisa menangis melihat semua barang milik mereka sudah berserakan di hadapanya, semua barang yang sudah usang itu menjadi rusak karena menghantam tanah dengan keras
Amara mulai kehilangan kesabaran, dia sudah tidak tahan melihat air mata Bu Sulas yang mengalir deras, gadis itu berjongkok di samping ibunya lalu mengusap air mata yang membasahi pipi wanita yang telah melahirkanya tersebut dengan lembut, Amara memeluk tubuh ibunya yang berguncang, dia menggenggam erat tangan Bu Sulas untuk memberikan kekuatan
"Aku akan melaporkan anda ke polisi!," ucap gadis itu tegas, dia menatap tajam pada Bu Ajeng sambil mengangkat tubuh ibunya dari hadapan rentenir itu, lalu memapah tubuh wanita yang sudah banyak mengeluarkan air mata itu untuk menjauh dari wanita bersanggul tersebut
"Bersabarlah, Bu. Sebentar lagi aku akan membawa polisi untuk mengusir Bu Ajeng dari rumah kita, sudah cukup wanita licik itu membuat hidup Ibu dan juga Bapak menderita selama ini." Amara berjalan mendekat ke sepeda ontel miliknya. Bu Sulas tak lagi mampu mengeluarkan suara untuk mencegah kepergian putrinya, hanya tatapan kesedihannya mengiringi langkah Amara
"Ha... Ha... Ha..." langkah kaki Amara terhenti saat mendengar suara tawa yang diiringi tepuk tangan untuk mengejeknya
"Apa kamu mengira aku akan merasa takut jika kamu melaporkanku ke polisi! Seharusnya kamu bisa berpikir dengan cerdas. Jika kamu membawa masalah ini ke kantor polisi, berarti kamu sudah siap jika bapak kamu yang sudah tua bangka itu akan menghabiskan sisa umurnya di penjara. Karena menurut surat perjanjian ini yang menjadi penipu itu adalah Pak Bardan!." Bu Ajeng mengibas-ngibaskan kertas yang menjadi saksi bisu ketika perjanjian hutang piutang itu dibuat.
Kali ini Bu Ajeng benar-benar sudah kehabisan kesabaran menghadapi keluarga Pak Bardan, terutama Amara yang tak henti-hentinya membuat dirinya marah. Bu Ajeng memberi kode kepada kedua orang suruhanya dengan sedikit memiringkan kepala, kedua orang itu langsung faham dengan isyarat yang di berikan oleh bos mereka. Kedua orang itu mengangguk secara bersamaan lalu mendekat pada Pak Bardan.
Bug....
Plak....Sebuah tamparan mendarat di pipi Amara yang putih dan bening, rupanya ucapan gadis itu telah berhasil memancing emosi Bu Ajeng yang sudah sejak tadi berusaha menahan amarah. Darah rentenir itu mendidih, bola matanya memerah, urat-urat di wajahnya tampak menonjol dan menegang, saat ini wajah Bu Ajeng terlihat lebih menyeramkan dari pada penampakan setan."Berani sekali kamu berkata seperti itu padaku! Ternyata kalian tidak hanya miskin harta, tetapi juga miskin akhlak! Bu Ajeng mengarahkan jari telunjuknya pada Amara. Tatapannya tajam, dadanya terlihat naik turun, napasnya tak beraturan, yang menjadi pertanda betapa murkanya rentenir itu pada saat ini.Sedangkan Amara terdiam mematung memegangi pipi kanannya yang terasa perih dan panas akibat tamparan Bu Ajeng, saking kerasnya tamparan itu membuat pipinya memerah membetuk bekas jari. Bu Sulas yang sedang berdiri tepat di sebelah putrinya terkejut melihat kejadian itu, kedua tangan Bu Sulas refleks menutup mulutnya yang terbuka
"Bapak sudah menduga jika hari ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat kamu pasti akan mengetahui tentang rahasia yang kami simpan darimu. Sekarang purti Bapak sudah tumbuh menjadi gadis yang kuat." Pak Bardan kembali menghisap rokok yang hanya tersisa sedikit di tangannyaPak Bardan mulai menceritakan tentang hutangnya yang sudah menumpuk pada Bu Ajeng. Lelaki itu berbicara dengan suara yang terdengar berat, sesekali dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, untuk mengurangi beban pikirannya yang membuat dadanya terasa sesak"Kenapa hutang kita sampai sebanyak itu? Kenapa selama ini Bapak dan Ibu tidak pernah bercerita mengenai masalah ini padaku?," Amara berkata dengan perasaan sedih. Dia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang dipelupuk matanya, membuat pandangan gadis itu menjadi kabur.Bapak tidak mau mengganggu konsentrasi belajarmu, Nak. Bapak ingin kamu tetap fokus dan giat belajar, supaya kamu bisa meraih cita-citamu menjadi guru," jawab Pak Bardan. L
"Apa yang harus saya lakukan, Bu? Saya akan melalukan apapun yang Ibu minta jika saya mampu""kamu harus mencari seseorang yang bersedia menikah dengan Adit!""Maksud, Ibu...?" Bik Ijah tidak melanjutkan ucapannya"Maksudku, kamu carikan istri untuk Adit, apa masih kurang jelas?." Bu Ajeng memelototkan mata. Dia selalu mengeluarkan jurusnya yang satu ini jika merasa kesal pada lawan bicaranya."Tapi, Bu. Saya tidak punya kenalan keluarga kaya. Saya ini hanya seorang pembantu, Bu," Bik Ijah merasa heran dengan permintaan majikannya yang terlihat tidak biasa."Kamu pikir aku tidak tau kalau kamu itu pembantu! Cari saja perempuan dari kampungmu, di sana pasti banyak perempuan yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi!." Bu Ajeng menyilangkan kedua kakinya, wanita itu berbicara dengan tegas dan mantap tampa gurat keraguan.Bik Ijah tak lagi bisa berkata-kata. Perkataan yang keluar dari mulut majikannya membuat wanita yang bekerja di rumah itu terkejut, merasa ada yang janggal dengan
"Ada apa, Bik? Apa yang terjadi?," Bu Ajeng seketika menjadi khawatir, pikirannya melayang memikirkan hal buruk yang mungkin telah terjadi di rumahnya."Bik, Bik, Bik Ijah. Bik...!," karena tak kunjung mendapat jawaban Bu Ajeng mengambil telepon yang menempel di telinganya, lalu memandangi layar benda pipih itu, ternyata sambungan teleponnya telah terputus, hal itu membuat Bu Ajeng bertambah khawatir. Dia segera memasukan kembali ponsel yang berwarna hitam itu kedalam tas sandang yang menggantung di bahunya."Aku harus tiba di rumah secepatnya! Berani sekali pembantu itu mematikan sambungan telepon ketika aku belum selesai bicara!." Bu Ajeng mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, motor itu meliuk-liuk di jalanan, menerobos di tengah ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalanan hitam.Tin,tin,tin,tin. Beberapa kali Bu Ajeng membunyikan klakson supaya kendaraan yang menghalangi jalannya memberikan dia ruang untuk melaju kencang. Sudah beberapa kali wanita bersanggul tinggi itu
"Kamu harus melunasi semua hutangmu saat ini juga!,"seorang perempuan berbicara dengan lantang. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan di rumah Pak Bardan yang sempit. Perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, yang mampu mengejutkan dan menghancurkan hati serta perasaan si pemilik rumah. Sanggul yang menjulang tinggi bagaikan sebuah bukit menghiasi kepala perempuan itu."Maaf, Bu. Aku belum berhasil mengumpulkan uangnya, tolong beri aku waktu satu bulan lagi, Bu."Pak Bardan berbicara dengan wajah tertunduk. Lelaki tua itu tidak berani menatap wajah Bu Ajeng, yang merupakan seorang lintah darat yang hampir setiap hari datang menagih hutang kerumah Pak Bardan.Aku sudah bosan mendengar janji palsumu, Bardan! Setiap kali aku datang kamu selalu saja mengulur-ulur waktu untuk membayar hutangmu yang sudah menggunung." wanita itu mengibas-ngibaskan kipas yang dia genggam di wajahnya yang dihiasi make up tebal. Tatapannya tajam penuh kebencian