"Bapak sudah menduga jika hari ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat kamu pasti akan mengetahui tentang rahasia yang kami simpan darimu. Sekarang purti Bapak sudah tumbuh menjadi gadis yang kuat." Pak Bardan kembali menghisap rokok yang hanya tersisa sedikit di tangannya
Pak Bardan mulai menceritakan tentang hutangnya yang sudah menumpuk pada Bu Ajeng. Lelaki itu berbicara dengan suara yang terdengar berat, sesekali dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, untuk mengurangi beban pikirannya yang membuat dadanya terasa sesak
"Kenapa hutang kita sampai sebanyak itu? Kenapa selama ini Bapak dan Ibu tidak pernah bercerita mengenai masalah ini padaku?," Amara berkata dengan perasaan sedih. Dia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang dipelupuk matanya, membuat pandangan gadis itu menjadi kabur.
Bapak tidak mau mengganggu konsentrasi belajarmu, Nak. Bapak ingin kamu tetap fokus dan giat belajar, supaya kamu bisa meraih cita-citamu menjadi guru," jawab Pak Bardan. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu anak sulungnya dengan lembut
Mendengar penjelasan dari orang tuanya. Amara terdiam beberapa saat. Gadis itu menghela napas, kemudian mengukir senyum yang berkesan dipaksakan di bibirnya
"Ibu dan Bapak tenang saja minggu depan aku sudah menerima Ijazah kelulusan. Dan aku juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke universitas, aku akan kuliah sambil bekerja. Aku akan berusaha membantu melunasi semua hutang keluarga kita," Amara berusaha menenangkan perasaan kedua orang tuanya yang selama ini sudah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang, walaupun dia sendiri tidak yakin akan mampu melunasi hutang yang semakin lama semakin bertambah banyak tersebut
"Tidak semudah itu. Masalahnya, Bu Ajeng tidak akan membiarkan kita mengulur waktu lagi. Bapak sudah meminta keringanan selama tiga tahun belakangan ini. Dan kali ini Bu Ajeng sudah tidak mau lagi mengabulkan permintaan Bapak untuk memberikan waktu yang lebih lama"
"Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa memberikan rumah ini begitu saja! Hanya rumah ini satu-satunya harta yang kita miliki," Amara sudah tidak mampu lagi menahan air mata. Pipi gadis muda itu dibanjiri cairan bening yang bercucuran dari kelopak matanya. Dia menggenggam erat tangan ibunya, rasa takut akan kehilangan tempat tinggal serta rasa kasihan kepada kedua orang tuanya telah berhasil mencabik-cabik hatinya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja pada nasib buruk yang akan menimpa keluarganya.
"Aku akan ke rumah Bu Ajeng. Aku akan meminta padanya supaya berhenti memeras, Bapak!." Gadis itu mengangkat tubuh dari kursi lalu mengayunkan kaki hendak menuju rumah Bu Ajeng yang terkenal dengan kelicikannya. Namun langkah kaki Amara terhenti ketika melihat seorang wanita dengan sanggul yang menjulang tinggi telah berdiri di depan pintu rumah mereka. Amara terkejut, kakinya melangkah mundur perlahan, wajahnya sedikit pucat.
"Bu Ajeng," ucap Amara lirih. Suaranya sangat pelan dan hampir tak terdengar. Hanya mulutnya yang terlihat bergerak
"Kenapa? Kenapa kamu terkejut ketika melihatku? Bukankah kamu ingin menemuiku?," ucap Bu Ajeng dengan nada mengejek sambil menaikan kedua alisnya, ketika melihat raut wajah Amara yang berubah pucat pasi saat melihat dirinya yang sudah berdiri di pintu rumah Pak Bardan. Semua orang yang ada di ruangan itu juga terkejut ketika mendengar suara Bu Ajeng yang berbicara dengan kencang, mereka pun mengarahkan pandangan pada perempuan yang menjadi lintah darat itu
"Bu, Bu, Bu Ajeng," Amara gugup. Dia sama sekali belum menyiapkan kata-kata yang akan dia ucapkan ketika bertemu dengan wanita galak itu. Keberanian yang tadi dia miliki untuk membela keluarganya kini hilang tak tersisa, nyalinya luntur, tubuhnya terasa bergetar, air liur yang dia telan mulai terasa pahit.
"Kamu tidak perlu repot-repot mengayuh sepedamu berkilo-kilo meter untuk berbicara denganku karena aku sudah ada di hadapanmu saat ini! Bicaralah, aku akan mendengarkan!." Bu Ajeng melangkah masuk dan langsung duduk di kursi, walaupun pemilik rumah belum mempersilakan dia untuk masuk. Matanya menatap tajam pada Amara yang masih berdiri mematung di tempatnya semula
"Kenapa kamu tiba-tiba menjadi bisu? Apakah kedatanganku yang tidak terduga ini sudah merusak pita suaramu!". Bu Ajeng kembali berdiri. Wanita itu mendekat pada anak sulung Pak Bardan lalu mengitari tubuh Amara. Matanya memandang gadis yang ada di hadapannya dengan penuh kebencian.
Bu Sulas yang merasa takut jika putri sulungnya mendapat masalah, segera berdiri dan menyelamatkan Amara dari kemarahan Bu Ajeng
"Bu, tolong maafkan putri kami. Aku berjanji akan menasehatinya untuk tidak ikut campur masalah ini lagi. Silahkan duduk, Bu." Bu Sulas mengarahkan tangannya ke kursi dengan tubuh sedikit membungkuk, sebagai tanda penghormatan pada Bu Ajeng
"Aku tidak akan berbasa-basi lagi. Kalian tentu sudah tau alasan kedatanganku kembali ke rumah ini! Berikan uangnya sekarang juga!." Bu Ajeng meletakan tangannya di hadapan Bu Sulas.
Amara kembali dibuat terkejut dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Bu Ajeng. Dia mengarahkan pandangan pada Pak Bardan yang duduk dengan kepala tertunduk, kemudian gadis itu memandang sang ibu yang berdiri di sampingnya. Hanya raut wajah kesedihan dan tidak berdaya yang nampak pada kedua orang tuanya. Hati Amara bagaikan tertusuk ribuan jarum saat melihat kesedihan yang mendalam pada mereka.
Amara kembali mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa.
"Tolong kasihani kami, Bu. Tolong jangan ambil rumah ini." Amara menyatukan kedua tangan di depan dada, wajahnya tertunduk, air mata mengalir membasahi pipinya.
Bu Ajeng tidak menghiraukan perkataan Amara. Dia sama sekali tidak menaruh iba pada gadis muda yang memelas meminta belas kasihan. Bu Ajeng hanya rersenyum sinis melihat kesedihan keluarga itu.
"Bagaimana, Bardan! Apakah kamu sudah berhasil mengumpulkan uangku!." Bu Ajeng menatap satu persatu orang-orang yang ada di sana. Tatapannya berhenti pada Pak Bardan yang masih tertunduk, mulut lelaki itu bagaikan terkunci, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Lelaki itu tidak sanggup menjawab pertanyaan Bu Ajeng, hanya kepalanya yang menggeleng pelan.
"Kalau begitu keluarlah dari rumah ini. Ini sudah menjadi rumahku sekarang!"
Mendengar ucapan Bu Ajeng, Amara mengepalkan tangan. Napasnya memburu menahan amarah yang sudah memuncak.
"Kami tidak akan kemana-mana. Ini rumah kami. Kami tidak akan pernah meninggalkan rumah ini sampai kapan pun!," mungkin karena terdesak Amara jadi memiliki keberanian yang datang entah dari mana untuk melawan Bu Ajeng
"Kamu tidak usah ikut campur! Ini urusanku dengan kedua orang tuamu!"
"Ini juga sudah menjadi urusanku! Mereka orang tuaku aku akan terus membela mereka. Silahkan Ibu tinggalkan rumah ini, sebelum aku memanggil polisi! Aku tidak akan segan-segan memenjarakan Ibu yang sudah memeras keluargaku selama tiga tahun ini!".
Keesokan paginya setelah kaki Adit dipijat untuk yang pertama kalinya. Amara menemani suaminya untuk menikmati udara segar di kampung halamannya, Amara dengan penuh kesabaran dan kasih sayang mendorong kursi roda Adit, melewati jalan kampung yang dikelilingi hamparan sawah yang hijau"Kamu gak kapok kan?," tanya Amara, ketika merek berjalan sudah agak jauh"Kapok? Kenapa?""Tadi, sewaktu kakimu di pijat... Aku lihat kamu sangat kesakitan"Adit terkekeh, ada rasa bahagia yang menjalar di hatinya. "Kamu perhatian banget sama aku. Aku beruntung banget ya, Ra. Bisa berjodoh sama kamu," ucapnya"Aku gak akan pernah kapok, walaupun tadi aku sangat kesakitan. Aku akan terus berusaha agar aku bisa berjalan, aku ingin membahagiakan kamu. Kamu adalah semangat hidupku, Ra. Kamu adalah takdir terindah, yang di ukir Tuhan dalam rangkaian cerita hidupku. Aku sayang banget sama kamu, Ra "Ucapan itu begitu sederhana, tetapi bagi Amara terasa bagai aliran listrik kecil yang menjalar dari telinga h
Bik Ijah menatap Amara dan Adit secara bergantian, kedua orang itu juga masih setia menunggu jawaban pembantu rumah itu. Setelah diam membisu beberapa saat, Bik Ijah menggeleng pelan"Maaf, Bibik tidak tau siapa perempua ini," ucapnya dengan raut wajah sedih, karena telah mengecewakan Adit dan juga AmaraAdit menghembuskn napas kasar, dan mengacak-acak rambutnya yang telah tertata rapi"Ah... Sial! Kita tidak akan pernah tau siapa perempuan itu," ucapnya frustasi"Jangan menyerah dulu, Den. Kita masih punya harapan. Mulai sekarang aku akan mengawasi setiap gerak gerik Non Adel dan juga Bu Ajeng. Aku akan mengabari kalian jika ada sesuatu yang mencurigakan dari mereka""Yang dikatakan bibik benar, sekarang kita harus tetap pada rencana awal kita, agar Bu Ajeng tidak curiga, jika kita telah mengetahui rencana jahatnya. Kita akan tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara waktu, di sana kita akan menjebak orang suruhan Bu Ajeng," tegas Amara. "Bibik setuju dengan Non Mara. Kita harus
"Ibu payah, kenapa tidak Ibu suruh aja orang untuk mempe*k*sa anak kampung itu. Dengan cara seperti itu aku yakin, Bang Adit akan merasa jijik dan meninggalkan istrinya yang sudah ternoda. Dan Amara juga akan menderita, dia akan menanggung malu dan di hina, serta di cibir orang2 di sekitarnya sepanjang hidupnya. Bukankah itu terdengar sangat sempurna, Bu?" Adel berbicara dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dia dengan begitu teganya berencana menghancurkan hidup Amara, dan ingin menjatuhkannya ke dasar jurang kehidupan yang paling dalam. membayangkan penderitaan Amara membuat Adel merasa senangBu Ajeng menjentikkan ujung jarinya, matanya berbinar bahagia. Mendengar ide dari putrinya membuatnya sangat bersemangat, dia sependapat dengan anaknya, dengan cara seperti itu, kebencian dan dendamnya pada sang menantu yang dianggap sebagai ancaman bisa terbalaskan"Kamu memang anak Ibu yang paling pinter, " ucapnya, lalu mengecup kening Adel."Aku akan meminta Joko melakukan seperti apa ya
"Kenapa Ibu marah? Bukankah seharusnya Ibu senang jika aku bisa kembali berjalan seperti dulu?," Adit berbicara dengan lembut, dia berusaha keras menahan emosi yang bergejolak dalam dadanya, dia tidak mau membuat keributan. Karena nanti pasti Amara yang akan terkena imbasnya, dia harus tetap bersabar, hingga benar2 sembuh dan bisa melindungi Amara dari Adel dan juga ibunyaMendengar pertanyaan Adit, Bu Ajeng sadar jika dia sudah melakukan kesalahan, tentu saja dia harus memperbaiki kecerobohannya itu dengan memainkan sandiwara baru"Adit.. Bukan begitu maksud Ibu, belajar berjalan setelah sekian lama duduk di kursi roda.. Itu akan sulit. Ibu hanya tidak ingin melihatmu menderita selama menjalani prosesnya yang tidak mudah, karena kamu belum tentu berhasil, dari pada nanti sudah bersusah payah dan tidak membuahkan hasil. Maka dari itu Ibu mencegahmu, Ibu sayang sama kamu, Nak. Percayalah, Ibu tidak punya maksud lain." Bu Ajeng terpaksa mengukir senyum palsu di bibirnya, untuk meng
"Masalah yang satu belum selesai, sekarang datang lagi masalah baru. Jika tau akan menjadi seperti ini, aku tidak akan mendatangi rumah Joko. Lelaki bren*sek itu telah berani mengancamku. Dia kembali mengungkit kejadian di masa lalu yang sudah aku lupakan" Sepanjang perjaan Bu Ajeng tak henti2nya menggerutu. Kemarahanya pada Joko begitu besar, dadanya terasa sesak seperti sedang di himpit batu, Bu Ajeng melampiaskan dengan memukul-mukul stir mobil yang sedang dia kemudikan, untuk membantu mengurangi bebannya***Di tempat lain, Adit dan Amara sedang duduk di taman belakang rumah, canda tawa menghiasi kebersamaan mereka yang telah disatukan oleh cintaAdit menggenggam erat jemari Amara, matanya menatap jauh pada seekor burung kecil yang hinggap di atas pohon cemara yang tumbuh subur di sudut tempat itu"Aku ingin sembuh," ucapnya pelan, tetapi masih bisa terdengar jelas di telinga Amara yang langsung menoleh padanya. Amara menaikkan sedikit alisnya, ingin mendengar kembali kata2 yang
Bu Ajeng merasa mual ketika mengingat setiap kata pujian yang diucapkan Adit untuk istrinya. Kata2 itu bahkan masih terus terngiang di telinga Bu Ajeng sampai sekarang, rasa bencinya yang mendalam bukan hanya untuk Amara, tetapi juga sudah merambat pada Adit. Dia sangat tidak suka melihat mental Adit yang sempat terpuruk mulai pulih, karena itu merupakan ancaman besar baginya dan Adel. "Aku harus segera menjalankan rencanaku. Jika perlu, aku akan menyingkirkan gadis kampung itu, agar dia tidak bisa lagi menjadi penyemangat hidup untuk Adit"Bu Ajeng keluar rumah mengendarai mobilnya, kali ini dia keluar bukan untuk menagih hutang, melainkan untuk menemui seseorang yang dia anggap bisa menjadi senjatanya untuk menghancurkan hubungan Amara dan AditMobil yang dikendarai Bu Ajeng melaju dengan kecepatan sedang, berbaur dengan ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalannan. Setalah berkendara selama tiga puluh menit, Bu Ajeng akhirnya tiba di tempat tujuan, dia memarkirkan mobilnya di