"Kamu saya pecat!"
Ah, Rara sudah menduganya. Kejadian beberapa saat lalu tidak mungkin tidak berakibat buruk, saat dia tidak sengaja menumpahkan minuman ke pakaian salah satu pengunjung restauran. Si pengunjung marah besar dan memaki-maki dirinya, sampai memanggil managernya, Alina, dan berujung pada pemecatan Rara.
Baiklah. Rara harus segera pergi dari restauran yang baru beberapa minggu menjadi tempatnya bekerja. Gaji saja belum sempat dia terima, malah sudah harus angkat kaki. Tapi mau bagaimana lagi, semesta sepertinya sedang tidak berpihak pada Rara.
"Mana belum bayar kos udah tiga bulan," keluh Rara sambil duduk sembarang di trotoar, memandangi mobil yang lalu lalang di jalan raya.
Sejak lulus SMA setahun lalu, Rara memang sudah harus keluar dari rumahnya, karena tidak tahan menghadapi ibu tiri yang lebih kejam dari ibu kota. Ayahnya pun tak keberatan dia pergi. Mungkin pikirnya, kepergian Rara akan mengurangi beban keluarga. Adik tiri Rara akan masuk ke sekolah menengah dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Sementara Rara, jangankan berpikir melanjutkan ke jenjang kuliah, menghidupi dirinya saja dia harus jungkir balik. Beberapa pekerjaan dia jalani, tapi selalu berujung pada pemecatan. Kenapa nasibnya selalu sial. Lebih sial lagi, saat pulang ke kosnya, dia dihadang ibu kos dengan tampangnya yang angker.
"Mana, hari ini katanya mau dibayar tunggakan kamarnya?" todong ibu kos, seorang wanita berbadan tambun dengan balutan daster warna hijau.
"Duh, Bu ... kasih waktu seminggu lagi lah, aku belum gajian," bujuk Rara sambil menggaruk kepala.
"Dari bulan kemarin janji-janji terus tapi ndak dibayar-bayar juga. Kamu niat bayar apa ndak to?"
"Niat, Bu. Cuma belum ada duitnya. Tolonglah, Bu. Kasih saya waktu seminggu lagi."
Wanita itu mendesis dengan pandangan mata sinis. "Benar seminggu, ya ... kalau ndak saya usir kamu."
"Siap, Bu," sahut Rara tegas, meskipun dalam hati dia ragu, dari mana dia bisa mendapatkan uang satu juta lima ratus ribu untuk membayar tunggakan kamar kos selama tiga bulan.
"Masa iya pinjem Sari lagi," gumamnya saat sampai di dalam kamar. Sari, sahabatnya sewaktu SMA yang sekang sudah bekerja di sebuah toko pakaian. Sari pulalah yang menjadi penolongnya saat kepepet butuh uang. Tapi, Rara sudah banyak meminta tolong pada gadis itu. Rasanya dia tidak enak kalau harus merepotkan sahabatnya itu terus menerus.
Rara sudah mentok. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Gadis itu berjalan mendekati alat musik keyboard tua miliknya yang ada di sudut ruangan. Sebuah alat musik peninggalan mendiang mamanya. Mamanya sangat jago bermain piano dan bakatnya itu diturunkan ke Rara.
Namun, bakat bermain pianonya tidak terlalu bisa membantunya dalam situasi keuangan yang buruk seperti sekarang ini, hanya bisa membuat hatinya tenang saat jemarinya mulai memainkan tuts-tuts hitam putih dan menghasilkan alunan lagu yang indah.
"Ya Tuhan, beri aku suami kaya raya segera, agar aku terbebas dari semua masalah keuangan yang bikin aku pusing ini. Tolong aku ya, Tuhan, tolong aku," ucap Rara setelah menyelesaikan satu permainan lagunya.
"Suami?" kekeh Rara kemudian. "Pacar aja nggak ada," ujarnya sambil menepuk kening.
Namun beberapa saat kemudian, Rara dikejutkan dengan suara petir menggelegar dari aras genting kamar kosnya. Rara bahkan bisa melihat kilatan cahaya masuk dari beberapa lubang kecil di langit-langit kamar.
Sungguh aneh, perasaan tadi cuaca cerah sekali, kenapa tiba-tiba ada petir. Beberapa saat kemudian, hujan pun turun dengan derasnya disusul dengan suara-suara petir yang bersahut-sahutan memekakan telinga. Rara memutuskan untuk bergelung di atas kasur dan tidur untuk melupakan semua permasalahan pelik yang sedang dia hadapi.
Rasanya Rara baru terlelap beberapa saat saja saat mendengar pintu kamarnya digedor seseorang. Dia yang masih harus mengumpulkan nyawa sore itu menyeret langkah menuju ke arah pintu. Ada suara Sari memanggil-manggil namanya. Setelah pintu dia buka, tampaklah sahabatnya itu memasang wajah kesal.
"Aataga, Rara! Kamu tidur apa mati, sih?" gerutu gadis berwajah bulat dengan poni lucu di keningnya. Rara hanya meringis. Dia memeriksa keadaan di luar kamarnya sebentar. Hujan badai yang tadi mengamuk telah mereda. Rupanya dia tertidur cukup lama, karena hari sudah menjelang sore.
Sari sudah menyelonong masuk dan duduk di atas kasur. "Kamu nggak kerja apa, Ra? Kok jam segini malah baru bangun tidur?"
Rara duduk Di samping sahabatnya itu dengan wajah ditekuk. Sari kembali mengingatkannya kalau hari ini dia sudah dipecat dari restauran. "Aku dipecat, Sar," ucapnya lesu.
"Hah?! Dipecat? Kok bisa?"
Rara lalu menceritakan kronologis kejadian yang membuat manager restauran memecatnya. Ya, memang itu atas dasar keteledorannya dalam melayani pengunjung, tapi seharusnya dia tidak langsung dipecat saat itu juga. Paling tidak diskors atau diberi hukuman. Tapi ya sudahlah, memang nasibnya sedang sial.
"Masalahnya seminggu lagi aku harus bayar tunggakan kos. Kalau nggak si ibu kos bakal ngusir aku," gumam Rara lemas.
"Nih!" Rara memandang ke arah selembar kertas flyer yang baru saja disodorkan Sari padanya.
"Ini apa?" tanya Rara seraya meneliti isi flyer. Deretan paling atas diisi dengan foto sebuah band rock ternama di negeri ini, Stonedhell, kemudian di bawahnya ditulis jika mereka sedang mencari pemain tambahan dari pianist, violinist, dan backing vocalist, untuk konser akbar mereka yang akan diadakan lima bulan lagi.
Tentu Rara tahu gaung mereka yang begitu besar di negeri ini. Hanya saja, dia sama sekali tidak pernah mengikuti perjalanan mereka atau bahkan mendengarkan lagu-lagu mereka. Rara pun tak hapal dengan wajah-wajah personelnya.
"Ikut dong, Ra. Lumayan loh itu, kalau lolos audisi, gajinya gede, mereka band terkenal loh," ucap Sari.
"Kamu dapat ini dari mana, Sar?"
"Tadi ada yang bagi-bagi selebaran depan toko. Setelah aku baca, aku jadi ingat kamu. Kamu kan bagus main pianonya, siapa tahu ini jalan rezeki kamu, Ra."
Rara mengelus-elus dagu. Benar juga apa yang dikatakan Sari. Apa salahnya dirinya mencoba. Barangkali memang ini jalan rezeki yang sesuai dengan minat dan bakatnya selama ini.
"Dari pada kamu kerja serabutan, ujung-ujungnya dipecat karena ceroboh," cebik Sari menyindir Rara. "Siapa tahu kamu nanti bisa dapat sesuatu yang besar yang bisa merubah hidup kamu seratus delapan puluh derajat."
Rara mengangguk-angguk. Rasanya memang dia sudah lama tidak bersentuhan dengan alat musik peninggalan mamanya. Ya, mungkin hanya sesekali saat moodnya untuk bermain musik datang.
Sesuatu yang besar, kata Sari. Apa ya kira-kira. Tiba-tiba Rara tersenyum-senyum sendiri membayangkan hal besar yang akan terjadi padanya nanti. Entah apa pun itu, dia berharap bisa membuat hidupnya jauh lebih baik dari sekarang.
Lalu pagi itu, di tanggal yang tertera di dalam flyer, Rara dengan pakaian rapi dan menggendong keyboard di punggungnya yang tampak terlalu besar jika dibandingkan dengan tubuhnya yang mungil, datang ke sebuah alamat audisi yang juga tertera di dalam flyer.
Rara tiba di sebuah studio musik besar yang berada di pusat kota. Di sana, sudah banyak yang mengantri untuk melakukan audisi. Dia merasa gugup tentu saja, melihat para peserta audisi tampaknya adalah para musisi profesional.
Dada Rara berdebar kencang menanti namanya dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan yang tentu saja di dalamnya ada personel band Stonedhell yang terkenal seantero negeri bahkan mancanegara.
***
Seorang resepsionis di sebuah hotel bintang lima tampak gugup saat Samuel menanyai keberadaan Bianca, kekasihnya, di salah satu kamar. Wajah gadis berbalut cardigan biru itu pucat pasi. Beberapa orang pengunjung yang mengantri check in hanya bisa menyaksikan interaksi keduanya dengan tegang."Saya cuma mau tahu apa ada nama Bianca Downey di hotel ini, ngerti?" tekan Samuel. Dadanya sudah bergemuruh menahan amarah sejak beberapa saat lalu saat dia mendapat kabar dari orang kepercayaannya, bahwa Bianca check in di hotel yang sedang didatanginya ini, dengan seorang pria yang cukup populer dalam industri perfileman tanah air."Maaf, Pak. Saya tidak bisa memberitahu ke pihak luar privasi tamu kami. Saya hanya menjalankan prosedur hotel, Pak," timpal si resepsionis dengan suara bergetar."Denger, ya ... Irene," ucap Samuel sembari membaca name tag di dada si resepsionis. "Kamu tahu ...." Belum sempat Samuel melanjutkan kata-kata, pandangan matanya menangkap dua sosok pria dan wanita yang ba
"Rara Setyaningrum!"Rara terkesiap mendengar namanya dipanggil oleh seorang wanita yang baru saja keluar dari balik pintu bercat putih. Sudah pasti ini adalah gilirannya untuk melakukan audisi di depan para personel Stonedrock."Sudah siap?" tanya wanita itu saat melihat Rara hanya bengong."I-iya, sudah," jawab Rara gugup. "Mari," kata wanita itu mempersilahkan Rara masuk. Rara menggendong softcase keyboardnya dan mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangan luas yang hanya ada empat kursi dan satu meja. Tiga kursi di antaranya diduduki tiga orang pemuda berambut panjang, dan satu kursi lagi kosong. "Rara, ya?" tanya salah seorang pria berbalut kemeja kotak-kotak sambil melemparkan senyum pada Rara. "I-iya, Kak," sahut Rara gugup. "Jangan nervous gitu, dong. Kita nggak gigit kok." Ucapan salah seorang pemuda membuat dua lainnya meloloskan tawa. Rara hanya meringis. Dibantu oleh salah seorang crew, Rara menyetting keyboardnya. Pria berjenggot yang membantunya menyiapkan alat mus
"Sam, nggak perlu gitu juga kali sama peserta." Selepas Rara keluar dari ruangan, Samuel langsung dikonfrontasi oleh Nathan. Namun pemuda itu hanya mengedikkan bahu. Dia bukan tidak suka dengan penampilan peserta bernama Rara barusan, mengingat permainan piano gadis itu begitu sempurna. Hanya saja, suasana hatinya sedang tidak baik. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Bianca dan bagaimana caranya bisa menemui kekasihnya itu dan bicara tentang peristiwa kemarin.Bianca sama sekali tidak mau mengangkat telepon. Puluhan pesannya pun tak dibalas. Terakhir, nomernya justru diblokir oleh wanita itu."Aku cabut dulu, ya ... ada urusan penting," ujar Samuel dengan entengnya seraya beranjak dari duduknya."Loh, ini peserta audisi masih banyak, Sam," protes Josef saat melihat Samuel bersiap untuk meninggalkan ruangan."Kalian atur ajalah. Aku oke sama siapa pun yang lolos nanti." Setelah mengucapkan hal itu, Samuel benar-benar keluar meninggalkan ruangan itu tanpa peduli reaksi kawan-kawannya.Tujua
Bangun tidur pagi-pagi, yang Rara dapatkan adalah kabar baik. Dia diberitahu lewat pesan email kalau dirinya lolos seleksi pemain additional Stonedhell. Rara sampai membaca-baca ulang pesan itu memastikan kalau dia sedang tidak berhalusinasi.Kalau sudah rezeki memang tidak ke mana, begitu kata Sari sahabatnya dan memang benar. Gajinya nanti akan cukup besar sehingga Rara tidak akan kebingungan lagi memenuhi kebutuhan hidupnya.Masih diselimuti rasa lega dan bahagia dalam hati, ponselnya berdering dan tampak nomer tidak dikenal menghiasi layar benda pipih itu. Tanpa menunggu lama, diangkatnya telepon dan suara seorang wanita terdengar dari seberang."Hari ini, Mbak? Jam sebelas siang latihan di studio? Iya, Mbak. Saya akan datang tepat waktu," ucap Rara dengan penuh semangat.Rara melompat-lompat kegirangan. Akhirnya dia mendapatkan pekerjaan yang sesuai minat dan bakatnya selama ini. Pasti akan sangat menyenangkan, pikirnya. Pagi itu tiba-tiba Rara menjadi sangat rajin merapikan kama
"Kamu serius, Sam? "Siapa nama calon istrimu? "Kamu akan menikahi pemain additional Stonedhell? Para wartawan berebut menghujani Samuel dengan berbagai pertanyaan. Sementara Samuel masih merangkul Rara dengan mesra dengan senyum yang tersungging di bibir. Jangan lupakan tatapan heran dari personel Stonedhell yang lain, manager dan dua pemain additional yang terbengong-bengong. "Kamu akan menikah malam ini, Sam? Di mana?" Seorang wartawan menyeletuk. "Di suatu tempat rahasia. Aku rasa wawancara malam ini sudah selesai, ya?" Samuel menarik lengan Rara dan membawa gadis itu keluar gedung. Wartawan yang memburu keduanya dicegat oleh beberapa bodyguard Stonedhell agar keduanya bisa sampai di mobil dengan lancar. "Pak Danu, ke rumah pinggir danau, ya," perintahnya pada sopirnya. Pria paruh baya itu mengangguk dan melajukan mobil meninggalkan area gedung. Samuel mengeluarkan ponsel dari saku dan menelepon seseorang. "Ronald, siapin semua keperluan nikah malam ini juga. Iya, pokoknya se
Sejak Samuel semalam tiba di rumah tepi danaunya, para wartawan yang menduga-duga kalau pernikahan Samuel dan Rara akan dilakukan di rumah besar Samuel itu sudah berkeliaran di sekitar pintu gerbang, berharap bisa mendapatkan berita menghebohkan itu pertama kali.Namun, para pejaga yang Samuel tempatkan di gerbang rumahnya tentu menghalangi mereka untuk meliput. Alhasil, mereka hanya bisa menunggu Samuel muncul keluar rumahnya.Sementara Samuel tengah menikmati minuman bersama ketiga personel Stonedhell lain di studio musik pribadi yang ada di dalam rumah mewah itu."Kamu emang gila, Sam. Ini hal paling random yang pernah aku tahu, dilakukan oleh seseorang," kekeh Josef, disambut gelak tawa Dito. Sementara Nathan hanya diam saja memilin gelas berisi minuman beralkohol di tangannya."Aku juga nggak tahu. Idenya terlintas gitu aja, dan kakiku kaya berjalan sendiri ke arah Rara.""Serius? Jangan-jangan kamu diguna-guna sama dia," cebik Dito."Pernikahan ini nggak beneran kok, kalian udah
Samuel menarik tangan Rara yang masih membekap mulutnya, kemudian dia tertawa. Dia lihat wajah gadis itu pucat pasi, seperti ketakutan. Sungguh berlebihan reaksinya. Dia hanya ingin menggodai saja dengan ciuman kecil di bibir."Kesepakatan apa?" tanya Samuel."Kita tidur di kamar berbeda.""Oh, yang itu nggak bisa. Aku udah bilang alasannya, kan?"Rara menghela napas dalam-dalam. "Kalau gitu kesepakatannya adalah, Kak Sam nggak boleh ngapa-ngapain aku selama pernikahan," ujar Rara. Kalau tidak dibentengi sejak awal, takutnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namanya juga dua orang berlawanan jenis yang berada dalam satu ruangan, berdua saja. Rara mungkin mudah saja menahan diri, selain dia tidak ada perasaan apa pun pada Samuel, dia juga takut dengan hal-hal semacam itu. Tapi, Samuel, dia pemuda normal yang bisa saja khilaf."Hmmm ... gimana, ya?" Samuel mengelus dagu, ragu-ragu untuk menjawab. "Aku coba, ya?" kekehnya."Kok cuma coba, Kak? Kakak harus setuju dengan kesepakatan y
"Serius kamu masih perawan ?""Apa sih nanya-nanya kaya gitu? Mau perawan atau enggak, bukan urusan kakak, di sini tugasku cuma jadi istri pura-pura, jadi masalah begituan nggak perlu dibahas." Rara berucap dengan sewotnya. Sebal juga melihat ekspresi penasaran di wajah Samuel. Apa sih yang dia pikirkan tentang dirinya yang masih perawan."Aku belum pernah cobain perawan, Ra."Mata Rara melotot. "Ya bodo amat! Awas, Kak, aku mau keluar!" Dia dorong tubuh Samuel yang menghalangi jalannya. Segera setelah ada kesempatan untuk membuka pintu, Rara kabur dari kamar tamu."Eh, siapa ini?" Rara terkejut saat tak sengaja berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang belum dia temui sebelumnya. Wanita itu sudah mendekati umur separuh abad sepertinya, tapi masih terlihat cantik dan elegan. Tubuhnya pun langsing dibalut pakaian casual yang mahal pastinya."Kamu pasti istrinya Samuel, ya?" Belum sempat Rara menjawab, Samuel sudah menyusul di belakangnya, dan tanpa ba-bi-bu, dia melingkarkan len