Tangan Debbie terulur mencoba menjauhkan kepala Eric dengan bibir, serta lidahnya yang bermain di telinganya. “Eric, kau tidak bisa melakukan hal ini padaku.”
Tangan Debbie yang terulur untuk mendorong Eric menjauh, justru membuat bagian dadanya menjadi terbuka. Dan hal itu tidak disia-siakan oleh Eric dengan memberikan ciuman dari leher, hingga bagian dada Debbie. Eric bahkan ikut masuk bathub tersebut dengan dirinya berada begitu rapat tubuh Debbie.
Suara lenguhan lolos dari bibir Debbie yang langsung di tutup oleh Eric dengan mulutnya. Walaupun dirinya berada dalam bathub dengan air yang sudah menjadi dingin.
“Shh! Apa yang kau mau?” bisik Eric dengan suara serak.
Meski begitu Eric keluar dari bathub ia berjalan mengambil jubah mandi yang tergantung pada gantungan. Ia berjalan kembali mendekati bathub diserahkannya jubah mandi tersebut kepada Debbie.
“Cepat turun saya sudah menyiapkan makan malam untuk kita!” tandas Eric.
“Baiklah!” sahut Debbie.
Ia tidak langsung keluar dari bathub ditunggunya Eric keluar kamar mandi. Barulah dirinya keluar berjalan menuju kamar.
Dibukanya goodiebag diambilnya kaos, serta celana pendek. Selesai berpakaian dan menyisir rambutnya. Ia berjalan keluar dari kamar menuruni tangga menuju di mana Eric sudah menunggunya di ruang makan.
Sesampai di sana dilihatnya Eric sudah duduk dan menyantap makanannya. “Maaf, sudah membuat kamu memasak makan untuk kita. Saya juga sudah membuat kamu menunggu lama.”
Eric mendongak menatap Debbie. Ia hanya memberikan isyarat, melalui tangannya agar duduk dan menyantap makanan yang sudah ada di atas mejanya.
Debbie duduk tepat berhadapan dengan Eric. Ia sedikit merasa canggung, setelah kejadian di kamar mandi tadi. Namun, sikap Eric yang berubah dingin, bahkan cenderung mengabaikan dirinya membuat ia bisa sedikit bernafas lega.
Disantapnya steak itu dan langsung saja ia merasakan kelezatan dari daging sapi yang dimakannya. Ia pun tidak tahan untuk tidak melontarkan pujian. “Kamu ternyata pandai memasak juga.”
Eric meletakkan sendok yang ada di tangannya ke dalam piring, ia melayangkan tatapan tajam kepada Debbie. “Saya hanya memanaskan saja, pelayan di rumah inilah yang telah memasaknya.”
Mendengar kata pelayan, Debbie menjadi senang. “Apakah pelayan itu tinggal di sini juga? Mengapa ia tidak terlihat?”
“Apakah kau takut, kalau hanya berdua saja dengan saya di rumah ini? Dia tidak tidur di rumah ini. Mulai besok kaulah yang harus menyiapkan makanan untuk kita berdua!” tandas Eric.
Debbie urung memasukkan sendok ke mulut, ia menatap Eric dengan kening dikerutkan. “Saya tidak masalah menyiapkan makanan untuk kita berdua. Akan tetapi, untuk berapa lama kita berada di tempat ini? Dan apa yang akan kita lakukan di sini?”
“Kita di sini sampai aku merasa sudah saatnya kita kembali ke kota!” tegas Eric.
Denyut nadi di leher Debbie bergerak naik turun dengan cepat. Ia menatap tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Eric. Ada banyak pertanyaan yang hendak ditanyakan, tetapi melihat raut wajah bosnya itu yang terlihat begitu dingin. Membuat ia menjadi urung melakukannya.
Ia kembali menyantap makan malamnya yang terasa kebas di lidah. Namun, ia terus memaksakan diri untuk menelan makanan tersebut.
Ericlah yang lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Ia menggeser kursinya berjalan keluar dari ruang makan begitu saja. Meninggalkan Debbie untuk menyelesaikan makan malamnya.
‘Kenapa ia berubah menjadi diam dan semakin dingin? Bukankah kejadian di kamar mandi tadi adalah kesalahannya? Ia yang memulainya dan ia juga yang untungnya cepat tersadar,’ batin Debbie.
Wajah Debbie terasa hangat, saat ia mengingat apa yang terjadi tadi. Satu sisi nakal dari dirinya mengharap Eric tidak berhenti mencumbu dirinya.
Dengan kesal dihempaskannya garpu yang ia pegang ke atas meja. ‘Sial! Aku tidak boleh mengingat apa yang telah terjadi. Aku tidak boleh tergoda oleh Eric, ia sudah memiliki seorang istri. Dan aku tidak seharusnya memiliki perasaan apa pun juga kepada bosku itu.’
Bangkit dari duduk Debbia memutuskan untuk langsung membersihkan bekas makan mereka. Ia ingin menyibukkan diri dengan harapan bisa melupakan apa yang sudah terjadi.
Beberapa menit kemudian, ia sudah selesai membersihkan bekas makan mereka berdua. Ia berjalan keluar dari pantry tanpa memperhatikan langkah.
Sampai dirinya membentur badan yang terasa kokoh dan kuat. Sebelum ia terjatuh ke lantai, sebuah tangan menahan pinggangnya.
“Perhatikan langkahmu saat berjalan!” bentak Eric kasar.
Pria itu mendorong Debbie menjauh dengan cepat, seolah menyesal telah menyentuh Debbia. “Jangan pernah mencoba menarik perhatianku dengan cara seperti itu lagi! Lain kali, aku akan membiarkanmu terjatuh dengan keras.”
Debbie membelalakkan matanya, ia menatap Eric dengan ekspresi wajah marah. “Saya tadi lebih suka terjatuh daripada ditolong olehmu! Saya juga tidak menginginkan tanganmu yang suci itu menyentuhku!”
Ia berjalan cepat melewati Eric yang berdiri terdiam di tempatnya. Bahkan, tanpa sengaja pundak mereka saling bersentuhan. Ia terlalu marah untuk bersikap sopan kepada pria yang masih berstatus sebagai bosnya itu.
Sebuah tarikan pada pinggang Debbie membuatnya tidak dapat berjalan. “Kenapa kamu menghentikan langkahku?”
Eric menarik Debbie mendekat, hingga badannya membentur dada bidang Eric. “Aku tidak akan membiarkan ada yang berlaku tidak sopan kepadaku!”
Debbie mendongak mengangkat dagu tinggi-tinggi, ia tidak akan membiarkan Eric menganggapnya sebagai wanita yang lemah.
“Bukankah Anda mengatakan ini di luar kantor, sehingga kita tidak perlu bersikap layaknya atasan dan bawahan!” tegas Debbie dengan ekspresi tegas.
Eric merendahkan kepalanya hingga embusan nafasnya yang hangat dan beroma mint menerpa wajah Debbie.
“Benarkah aku berkata seperti itu? Lantas hubungan, seperti apa yang kamu inginkan selama kita berada di tempat ini?” bisik Eric begitu rapat di telinga Debbie.
Tangan Debbie terulur mencoba menjauhkan kepala Eric dengan bibir, serta lidahnya yang bermain di telinganya. “Eric, kau tidak bisa melakukan hal ini padaku.”Tangan Debbie yang terulur untuk mendorong Eric menjauh, justru membuat bagian dadanya menjadi terbuka. Dan hal itu tidak disia-siakan oleh Eric dengan memberikan ciuman dari leher, hingga bagian dada Debbie. Eric bahkan ikut masuk bathub tersebut dengan dirinya berada begitu rapat tubuh Debbie.Suara lenguhan lolos dari bibir Debbie yang langsung di tutup oleh Eric dengan mulutnya. Walaupun dirinya berada dalam bathub dengan air yang sudah menjadi dingin.“Shh! Apa yang kau mau?” bisik Eric dengan suara serak.Meski begitu Eric keluar dari bathub ia berjalan mengambil jubah mandi yang tergantung pada gantungan. Ia berjalan kembali mendekati bathub diserahkannya jubah mandi tersebut kepada Debbie.“Cepat turun saya sudah menyiapkan makan malam untuk kita!” tandas Eric.“Baiklah!” sahut Debbie.Ia tidak langsung keluar dari bathu
Debbie mencoba untuk mendorong Eric menjauh darinya. Namun, pria itu terlalu kokoh baginya. “A-apa yang Bapak katakan? Saya tidak pernah bermaksud untuk menggoda, tetapi Bapaklah yang menggoda saya!”Satu tangan Eric bergerak menyingkap rambut Debbie ke samping. Memperlihatkan tanda yang sudah dibuatnya. Diusapnya dengan lembut tanda itu. “Kapan aku membuat tanda ini? Mengapa aku tidak menyadarinya?”Debbie membelalakkan mata kepada Eric. Ia tidak mengerti bisa-bisanya pria itu berkata seperti tadi. Namun, ia tidak menjadi marah karena hal itu. Melainkan karena kedekatan Eric yang sangat mempengaruhi dirinya.“P-pak, tolong jangan begini!” lirih Debbie menahan gairah yang ditimbulkan oleh bosnya itu.“Melakukan apa? Ini?” Eric menundukkan kepala, lidahnya bermain di bekas merah yang telah ia buat. Lidahnya terus bergerak menelusuri menggoda bagian dada Debbie.Wanita itu bahkan tidak menyadari, jika tangan Eric dengan mahirnya melepas kancing kemeja yang dipakainya. Lalu menyingkirkan
Dengan kasar Eric mendorong Debbie, hingga terjatuh dari pangkuannya. Mata pria itu menatap dingin sekretarisnya. “Awasi langkahmu! Jangan coba untuk menggoda saya.”Dengan wajah bersemu merah, karena merasa malu Debbie bangkit dari terduduknya di lantai. Ia berjalan melewati pilot yang menatapnya dengan senyum di bibir.Sesampai di kamar mandi Debbie langsung saja buang air kecil. Setelah selesai dia mematut dirinya di depan cermin. Dilihatnya pantulan wajah yang bersemu merah, ia juga melihat ada tanda merah di lehernya.‘Sial! Kenapa bisa sampai pak Eric meninggalkan tanda di leherku? Bagaimana, kalau istrinya mengetahui dan marah? Ia akan menjadi sasaran amukan dari wanita itu,’ batin Trisha.Digerainya rambut pirangnya untuk menutupi tanda merah yang dibuat Eric. Setelah dirasa penampilannya menjadi rapi kembali, ia berjalan keluar dari toilet tersebut.Dilihatnya kursi yang tadinya diduduki oleh Eric sudah kosong. Dialihkannya tatapan ke arah pramugari yang berdiri tidak jauh di
Dada Debbie berdesir, perutnya bagaikan ada kupu-kupu yang terbang. Ia mencoba menggeser badannya, tetapi terhalang dinding pesawat. “A-apakah Bapak akan balas menampar saya?”Bukannya menjawab pertanyaan dari Debbie, Eric merendahkan kepalanya mencium bibir wanita itu dengan lembut. Membuat Debbie terbuai larut dalam cumbuan Eric pada bibirnya.Debbie memukul punggung Eric menggunakan kepalan tangannya. Ia dapat merasakan bibirnya dgigit oleh pria itu dan terdengar lenguhan dari tenggorokan pria itu. Usaha Debbie untuk melepaskan dirinya tidak berhasil, karena sepertinya Eric yang sedang memberikan hukuman kepadanya.Suara tenggorokan yang dibersihkanlah yang berhasil membuat Eric melepaskan ciumannya di bibir Debbie. Ia menjauhkan dirinya dengan enggan. Dilayangkannya tatapan membunuh kepada pramugari yang telah mengganggunya.“Kuharap kau menyampaikan sesuatu yang penting!” tegur Eric dingin.Pramugari itu terlihat gugup dan takut, ia menyesal sudah membuat bosnya menjadi marah. “M
Mata Debbie membelalak tidak percaya, mulutnya terbuka, tetapi dengan cepat ia tutup menggunakan tangannya. Setelah rasa terkejutnya hilang ia bertanya kepada Eric, “Pak, saya belum menyiapkan keperluan saya selama berada di pulau. Ke-kenapa begitu mendadak? Saya tidak melihat di jadwal Anda ada agenda pergi ke pulau.”Eric bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekati Debbie dan berdiri tepat di samping sekretarisnya itu. Ditundukkannya kepala, hingga bibirnya berada tepat di dekat telinga Debbie dan embusan hangat nafasnya dengan aroma mint menerpa leher wanita itu.Bulu roma Debbie berdiri, ia merasa tidak nyaman dengan kedekatan antara dirinya dan bosnya. Ia menggeser posisi berdirinya untuk menjauhi Eric. Namun, pinggangnya dipegang dengan kasar.“Kenapa kau terlihat takut? Apa kau fikir aku akan menggodamu? Aku sama sekali tidak tertarik kepada wanita jadi jauhkan adegan romantis dari kepalamu. Kau tidak perlu membawa apa-apa di pulau kau bisa membeli semua keperluanmu.” Erick me
“Sayang, bagaimana kalau suamimu datang dan memergoki kita?” bisik Lewis di telinga kekasihnya.“Ssh! Tenanglah, ia tidak akan peduli. Dirinya lebih mengutamakan pekerjaan daripada aku, istrinya.” Jenny menelusuri dada telanjang Lewis dengan jari-jari lentiknya yang kuku-kukunya dicat merah menyala.Tak ada percakapan lagi yang tercipta di tempat tidur itu. Hanya bunyi percintaan mereka berdua saja yang terdengar. Keduanya asyik memadu kasih dengan saling berbagi cumbuan.***Eric melihat jam di tangannya, sekarang jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Ia belum menikmati makan siangnya.Bangkit dari kursi kerjanya, Eric berjalan keluar dari rung kerjanya. Dilihatnya, Debbie, sekretarisnya sedang merapikan pekerjaannya.“Saya akan makan siang dengan istriku! Tolong atur ulang jadwalku untuk hari ini aku tidak akan kembali ke kantor,” ucap Eric mengejutkan Debbie.Kertas-kertas yang ada di tangan Debbie jatuh berhamburan di meja. Ia tidak meyadari kehadiran bosnya. “Ba-baik, Bos!”Er