Home / Romansa / Mendadak Miskin / Mendadak Miskin

Share

Mendadak Miskin

Author: Gilva Afnida
last update Last Updated: 2022-04-16 11:37:16

Keesokan harinya, Pevita terbangun dari tidurnya ketika mendengar gedoran pintu yang mengusik ketenangannya. "Ada apa, sih?" teriaknya dari dalam, enggan untuk beranjak dari kasur.

"Maaf mengganggu, tapi saya harus menyampaikannya. Tuan sedang ada masalah dan nyonya harus turun segera ke ruang tengah." Diba masih berdiri di balik pintu.

"Hmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Pevita. Dia sendiri tak pernah mau tahu urusan Rafa. Selama duit mengalir dalam kantongnya, dia tak mau ambil pusing dengan segala masalah yang sedang dialami Rafa.

"Nyonya." Sekali lagi Diba memanggil Pevita dengan nada datar.

Ketukan pintu sekali terdengar dan itu berhasil membuat Pevita marah. "Apaan sih! Berisik banget!" ujarnya ketika membuka pintu. Rambutnya berantakan dan baju tidur masih melekat di tubuh sintalnya.

"Nyonya harus turun ke ruang tengah sekarang!"

Pevita mendengus kasar dan melewati Diba untuk turun ke ruang tengah.

Setelah langkahnya kurang dari lima anak tangga, betapa terkejutnya ia melihat sang suami tengah terduduk lesu di atas lantai. Segala perabotan yang biasanya ada di sekeliling ruang tengah pun telah tiada.

"Rafa! Apa yang sudah terjadi?" Pevita turun mendekati Rafa dan dia melihat beberapa orang berseragam sama membawa perabotan dari dalam dapur.

"Berhenti! Apa yang kalian lakukan dengan benda-benda milikku!" teriak Pevita dengan mata melotot ke arah beberapa pria berseragam tersebut, namun diabaikan oleh mereka.

"Vita," panggil Rafa dengan lirih.

"Apa yang sedang terjadi, Rafa? Kenapa orang-orang mengambil semua perabotan kita?" tanya Pevita panik.

Mata Rafa menatap sedih ke arah Vita. Dia harus bersandiwara sebaik mungkin. "Aku bangkrut, Vita."

"Apa?" pekiknya hingga terdengar menggema di seluruh ruang lantai satu. "Kau jangan becanda, Rafa!"

Mata Rafa nampak berkaca-kaca. Keningnya mengkerut. "Aku tidak becanda, Vi. Mulai hari ini, kita tidak akan tinggal disini lagi. Penthouse dan segala perabotan sudah aku jual untuk menutupi biaya hutangku pada Liam."

Pevita terkejut. "Kau punya hutang pada Liam?"

"Ya. Liam ternyata telah lama merencanakannya. Lalu dia menjebakku dan merebut perusahaan di waktu yang tepat. Sekarang aku juga dibuat olehnya memiliki hutang ratusan milyar. Semua asetku sudah aku jual, tapi itupun masih belum cukup."

Mendadak dunia Pevita serasa berputar. Lututnya melemas hingga ia terduduk di lantai di depan Rafa. Hilang sudah satu sumber keuangannya.

Melihat kesedihan Pevita, Rafa ingin meraih tubuh Pevita untuk memeluknya, namun segera ditepis kasar oleh Pevita. "Jangan menyentuhku! Kau kini benar-benar nampak menjijikkan!" desis Pevita.

Mulut Rafa menganga, dia terkejut bukan main mendengar kata-kata kasar ditujukan untuknya. "Me-mengapa kau tiba-tiba bicara seperti itu kepadaku?"

Pevita tersenyum sinis. "Kau kira aku benar tulus mencintaimu? Aku cinta dengan hartamu, Rafa! Sekarang kau miskin, jadi untuk apa lagi aku menjadi istrimu?"

Tak dapat dipercaya oleh Rafa mendengar istri yang selalu ia percaya mengungkapkan kalimat yang menusuk relung hatinya paling dalam. Istri yang ia kira selalu bertutur kata baik, nyatanya mampu mengatakan hal sekeji itu.

Apakah cinta benar-benar telah membutakan akal sehatku seperti yang dikatakan oleh Liam? gumamnya dalam hati.

Rafa berlarut dalam pikirannya sendiri hingga tak menyadari Pevita sudah pergi dari pandangannya. Hingga beberapa menit kemudian, dia berjalan mendekati Rafa dengan menyeret dua koper besar. Dia sudah mengganti pakaian tidurnya dengan dress sepaha yang selalu dikenakannya. Paha putih terpajang bebas membuat mata yang melihat segar dibuatnya. Hal itu jugalah yang membutakan Rafa hingga memilihnya untuk menjadikannya istri. Bukan hanya cantik, menarik tapi juga terkenal di seluruh kalangan. Membuat Rafa berbangga diri jika bertemu dengan rekan kerja ataupun keluarga besarnya.

"Mau kemana kau, Vita?" tanya Rafa berpura-pura tak tahu meskipun ia tahu bahwa Pevita akan pergi meninggalkannya.

"Aku akan segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Aku sudah tak sudi memiliki suami miskin sepertimu. Bisa-bisa reputasiku langsung hancur!" ujarnya pedas sekali lagi.

Rafa hanya terdiam. Mengatur amarah yang sedang menggebu-gebu dalam jiwanya. Dia harus mengingat untuk meneruskan sandiwaranya. "Apa kau sama sekali tak cinta denganku, Vita?"

Pevita tertawa hingga menampilkan deretan gigi putih hasil dari bleaching. "Cinta? Kau percaya aku menikah denganmu karena cinta? Kasihan," ujarnya mengejek Rafa yang masih duduk di atas lantai.

"Makan tuh cinta." Meskipun suaranya lirih, tapi Rafa mampu mendengar kata tersebut dengan jelas. Wajahnya menggelap. Dia kini tahu kebusukan wanita yang selalu dipujanya.

"Apa tuan baik-baik saja?" tanya Diba setelah melihat Pevita pergi.

Rafa berdiri dan menampilkan ekspresi datar. "Ya. Aku baik-baik saja, Diba. Sekarang, antarkan aku ke tempat Liam. Aku harus menjalankan rencana ku selanjutnya," ujarnya menyeringai.

***

Rumah type 21 dihadapan Rafa-yang sudah dibeli oleh Liam akan menjadi Rumah untuknya selama satu bulan kedepan. Tidak ada supercar, hanya ada satu motor matic yang menurutnya butut. Tidak ada asisten pribadi ataupun pembantu biasa yang akan mengurus rumahnya, kali ini ia disuruh Liam untuk melakukannya sendiri. Itupun Liam sudah berbaik hati menarik kembali kata-katanya yang menginginkan Rafa menjadi gelandangan di jalanan.

"Apa kau menginginkan kematianku dipercepat, Liam?" tanya Rafa ketika masih berunding di apartemen Liam.

Liam tertawa. "Tentu tidak, buddy. Aku hanya ingin kau belajar mandiri, hanya selama satu bulan, tidak lebih. Aku jamin kau akan menemukan hal menarik disana untuk menghiasi hari-harimu yang cukup membosankan."

Rafa mendengus kesal jika mengingat percakapannya dengan Liam. Entah untuk tujuan apa, Rafa yakin pasti Liam hanya ingin mempermainkannya. Meskipun wajah Liam nampak polos diluar, tapi sebenarnya dia cerdas dan licik di dalam. Tak heran dia mampu mengembangkan bisnis restauran keluarga Rafa yang berada di dalam ataupun luar negeri. Rafa sendiri tak mempunyai niat untuk mengembangkan bisnis keluarganya, karena sedari muda, dia sudah merintis perusahaan market online hingga kini bisnis tersebut mulai merambah ke negara asia tenggara lainnya.

Hari sudah mulai larut malam, Rafa segera memasukkan kunci dan membuka pintu berniat segera memasuki kamar untuk istirahat. Esok, dia sudah harus mempersiapkan diri untuk bekerja. Liam bilang, dia harus bertotalitas dalam bersandiwara. Jadi, dia akan menjadi cleaning servis di perusahaannya sendiri.

Namun belum sempat ia masuk, suara wanita dari belakang membuatnya terperanjat. "Halo mas ganteng."

"Astaga, anda siapa?" Rafa menatap ngeri pada wanita paruh baya bertubuh gempal yang mengenakan daster selutut berwarna merah cetar.

Wanita itu memasang senyum menggodanya kepada Rafa. "Kenalkan, saya Karlina, panggil aja Lina. Saya sebagai bu RT disini, hanya ingin memberitahukan pada penghuni baru untuk menyerahkan fotokopi ktp dan kk ke rumah saya," tukas Lina dengan nada mendayu-dayu. Sesekali bu RT tersebut mengerlingkan mata kepada Rafa.

"Oh, iya. Saya pamit masuk dulu ya, Bu." Rafa segera menutup pintu, mengatur napasnya dalam-dalam. Seumur hidup, baru kali itu Rafa digoda oleh wanita bertubuh gempal seperti Lina.

"Yaudah, mas ganteng. Aku tunggu kedatangannya besok di rumah, ya!" teriak Lina dari luar. Membuat Rafa semakin bergidik ngeri.

"Sepertinya nanti aku harus mandi tujuh kembang agar terhindar dari makhluk semacam Lina," gumam Rafa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Miskin   Pingsan

    Tubuh Rafa melemas saat dirinya mencoba bangun setelah ketiduran di sofa tadi siang. Rafa mengusap wajahnya lalu mengambil ponsel. Diusapnya layar ponsel yang menunjukkan pukul setengah empat sore. "Sudah lebih dari tiga jam ternyata aku ketiduran," gumamnya lirih. Banyak pesan yang masuk di ponselnya tak membuat Rafa ingin segera membuka. Dia memilih memijit pelipis kepalanya yang berdenyut-denyut dengan pelan. Memang hal yang tak biasa bagi Rafa untuk tidur siang, terlebih dia tidur selama kurang lebih tiga jam. Setelah itu ketukan pintu disertai suara salam kembali terdengar. "Assalamu'alaikum."Rafa menajamkan pendengarannya, merasa pernah mendengar suara tamu tersebut di suatu tempat. "Wa'alaikumsalam," serunya seraya mencoba bangkit berdiri.Dengan langkah sedikit terhuyung, Rafa berjalan dengan pelan karena penglihatannya juga terasa berkunang-kunang. Rafa menyipitkan mata karena efek sakit kepala yang dirasakannya."Siapa ya-" Suara Rafa terhenti saat ia membuka pintu dan m

  • Mendadak Miskin   Tawaran

    "Apa sekarang kau juga berani mempertanyakan keputusanku sekarang, Xavier?" Liam tak kalah berani dihadapan Xavier. Liam sungguh merasa tersinggung dengan ucapan Xavier, seolah Xavier benar-benar sedang merendahkan dirinya.Sial! Xavier memaki dirinya dalam hati. Rupanya Liam bukanlah pria yang mudah untuk dihasut. Liam lebih sulit dari Rafa yang mudah dibohongi. "Tidak, Pak."Liam menghela napasnya berat, dia mendudukkan pantat di atas kursi dan menatap seksama wajah Xavier dan Rafa. Sesaat Liam melihat gelagat Rafa yang menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Xavier. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini selama kau mau untuk diajak bekerja sama."Kening Xavier mengerut dalam, merasa aneh dengan Liam. "Kerja sama?""Ya. Kau tahu Berlian Company bukan?" Mata Xavier berbinar mendengar kata Berlian Company. Berlian Company merupakan perusahaan yang sudah menduduki peringkat pertama di dalam negeri sebagai perusahaan terbesar. Terlebih Aliee-sang istri memiliki hubungan pertemanan dengan

  • Mendadak Miskin   Ketahuan Liam

    "Hentikan!"Seruan dari arah eskalator seketika membuat gerakan Xavier terhenti di udara. Semua orang ikut menatap ke arah seruan tersebut dengan tercengang, mengubah ekspresi wajah mereka menjadi tegang.Kedatangan sang bos pengganti membuat suasana menjadi dingin dan mencekam. Hawa amarah menyelimutinya saat ia berjalan mendekat. "Apa yang sedang kau lakukan, hah?" teriaknya murka. Tatapan Liam begitu tajam, seolah ingin mencabik-cabik wajah Xavier secara sadis."P-pak Liam." Bergetar bibir Xavier saat bersuara. Ia tak menyangka, Liam dapat menampilkan wajah murka yang begitu menyeramkan. Ingin rasanya Xavier kabur dan berlari menjauh dari hadapannya.Jika semua orang sedang bergidik ngeri melihat kemurkaan yang ditampilkan di wajah Liam, berbeda dengan Pevita yang memang sejatinya angkuh, menganggap Liam sebelah mata hanya karena Liam dulunya adalah sahabat Rafa. Tak sedikitpun kepala Pevita menunduk rendah untuk menunjukkan rasa hormatnya."Aku tanya apa yang kau lakukan pada Rafa

  • Mendadak Miskin   Helai Rambut

    Rafi menatap Lina dengan tatapan heran. Sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan dari budhenya itu. "Memangnya kenapa budhe? Kayaknya om tadi baik deh."Lina mencebikkan mulutnya, matanya masih melirik ke arah jalan yang dilalui Rafa tadi. "Memangnya kamu anak kecil tahu apa? Kita ini gak boleh sembarangan akrab dengan orang yang belum kita kenal, Rafi!" Pandangannya beralih pada Rafi. "Apalagi kamu ini anak kecil, bisa-bisa diculik kamu sama dia! Mau kamu, diculik sama om-om tadi?"Rafi menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Gak mau budhe, Rafi takut!""Makanya, nurut aja apa kata budhe, Ya?"Rafi hanya menganggukkan kepala dan menggenggam erat jari Lina yang menariknya pergi dari tempatnya berdiri.***"Aku ingin kau mengetes rambut ini untukku."Rafa datang tiba-tiba, menatap serius ke arah Liam yang tengah sibuk menatap layar laptop. Kening Liam mengernyit saat menatap plastik berisi dua helai rambut yang disodorkan oleh Rafa tepat di sebelah laptopnya. "Ini milik siapa?""Pu

  • Mendadak Miskin   Ganteng Tapi Miskin

    "Siapa yang kau maksud?" tanya Liam menaikkan satu alisnya.Rafa hanya diam, enggan mengucapkan sebuah nama yang telah membuatnya patah hati. "A..!" Liam menepuk tangannya satu kali saat ia sudah mendapat jawaban nama yang dimaksud oleh Rafa. "Apa yang kau maksud itu Dewi?"Melihat reaksi Rafa yang hanya diam, sudah pasti jika jawaban Liam benar. Liam menghela napasnya, lalu mendekati Rafa. "Lupakanlah dia." Hanya itu kata-kata penghibur dari Liam untuk sahabatnya. Seharusnya Rafa bisa membuatnya sederhana, jika Dewi sudah tak ingin bersama Rafa, maka seharusnya Rafa tak perlu menangisi semua itu. "Wanita akan terus lari jika pria semakin giat mengejar. Satu-satunya cara hanyalah melepaskan dan dia akan kembali padamu dengan sendirinya.""Aku sudah melakukan itu dulu, tapi nyatanya dia tak juga kembali."perasaannya pada Dewi sudah terlalu dalam hingga membuatnya susah untuk menghapus segala kenangan yang sudah dibuat bersamanya. Apalagi Dewi pergi meninggalkannya tanpa alasan yang j

  • Mendadak Miskin   Melupakan

    Kecanggungan sangat terasa diantara Dewi dan Rafa yang kini tengah berada di halaman belakang rumah Dewi. Berpisah terlalu lama membuat keduanya bingung untuk sekedar mengutarakan isi pikiran masing-masing. Padahal, dulunya mereka adalah sepasang kekasih yang saling menyayangi dan mengasihi. Rafa sempat tertegun melihat banyaknya bunga anyelir yang menjadi penghias belakang rumah. Mengingatkannya akan masa lalu yang menyenangkan sebelum Dewi pergi meninggalkannya. "Apa-""Sebenarnya-"Keduanya bersuara diwaktu yang sama, semakin menambah kecanggungan diantara mereka. Rafa menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. "Kau saja yang duluan bicara.""Sebenarnya apa tujuanmu tiba-tiba datang di acara seperti ini?" Dewi merasa was-was akan maksud kedatangan Rafa yang secara tiba-tiba datang dan mengikuti acara warga. Dewi hapal tentang Rafa secara keseluruhan, baik sifat ataupun watak dalam diri Rafa. Bukan satu atau dua jam Dewi mengenal Rafa, melainkan bertahun-tahun lamanya ia kenal d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status