Suara tawa terdengar menggema di ruang santai milik pria berambut coklat bernama Liam. Tangannya menepuk keras bahu kawannya yang bernama Rafa-duduk di sampingnya. Rafa tak menggubris Liam yang masih tertawa bahagia di atas penderitaannya. Wajahnya masih bertekuk masam sambil memandang malas ke arah TV yang masih menampilkan acara pacuan kuda.
"Kau sudah janji padaku, Rafa. Esok aku ingin kau sudah menjadi gelandangan di jalanan," ujar Liam."Berisik!" jawabnya sambil beralih dari tempatnya duduk."Eh! Mau kemana?" Liam membuntuti kawannya yang enggan untuk menjawab.Ternyata Rafa hanya menuju ke arah dapur, mengambil soda kaleng dingin yang berada di dalam kulkas dan meminumnya, berharap dapat mendinginkan kepala dan hatinya yang mulai panas. "Bagaimana kalau hukumannya ku ganti dengan saham perusahaan 10%? Bukankah itu terdengar lebih menggiurkan?"Liam menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tubuhnya menyender di kulkas besar miliknya sambil menatap Rafa dengan tatapan mengejek. "Kenapa diganti? Takut?""Apa? Tidak mungkin! Seorang Rafa dikatakan takut hanya karena menjalankan hukumannya? Cuih." Rafa membuat gerakan ludah ke lantai."Terus, kenapa minta diganti?""Realistis saja, Liam. Kalau aku menjadi gelandangan, siapa yang akan mengurus perusahaan, hah?""Itu mudah. Aku akan memberikan satu drama menarik untukmu. Kau umumkan pada orang-orang bahwa aku telah berkhianat merebut perusahaanmu, lalu kau dapat melihat siapa kawan dan siapa lawan."Ucapan Liam membuat Rafa tersedak soda yang sedang ditenggaknya hingga terbatuk-batuk. "Kau gila?""Ya! Aku memang gila. Gila karena berkali-kali aku memberitahu betapa busuknya istri yang kau banggakan itu, tapi nyatanya otak udangmu itu telah dipenuhi oleh cinta buta."Amarah mulai membuncah dalam dada. Dia tak terima istrinya yang paling cantik dan ia banggakan di fitnah oleh Liam. "Sialan kau, Liam! Pekerjaan Pevita adalah selebgram dan model papan atas! Jadi sudah sewajarnya jika ia dekat dengan pria-pria lain di luar sana."Liam mendengus tak percaya. "Dan kau percaya padanya setelah kau sudah mengetahui itu semua?""Ya! Aku percaya, karena hubungan mereka tidak lebih dari rekan kerja." Rafa lebih percaya dengan istri yang sangat disayanginya.Liam sekali lagi tertawa, lalu menatap Rafa dengan tatapan mengejek. "Bagaimana kalau hubungan mereka lebih dari sekedar rekan kerja?"Ucapan Liam membuat Rafa tertohok. Tapi secepat mungkin ia menepis segala perasaan buruk tentang Pevita. "Gak mungkin! Pevita adalah wanita yang baik.""Lakukan saja hukumanmu, Rafa. Jika Pevita memang tidak sebusuk yang kau kira, maka aku berjanji tidak akan pernah ikut campur dengan segala permasalahan asmaramu lagi," tukas Liam membuat negosiasi. Bagaimanapun caranya, dia harus membuat Rafa tersadar dari cinta buta yang mampu menenggelamkan hidupnya."Oke!" Rafa membuang kaleng bekas soda yang sudah habis isinya ke dalam sampah. Lalu beranjak dari apartemen Liam dengan menyambar kasar jaket denimnya.Liam hanya menghela napas panjang ketika sudah melihat supercar ferrari California milik Rafa dari balik jendela kaca besar apartemennya, pergi menjauh. Dia masih teringat ucapan ibu angkat sekaligus ibu kandung Rafa yang memintanya untuk menjaga Rafa setelah kepergiannya. "Mama tahu kalau permintaan mama terlalu berat untukmu, Liam. Tapi mama yakin kalau kau pasti bisa melakukannya. Hanya satu hal yang mama minta darimu, tolong jaga Rafa layaknya saudara kandungmu dari segala hal bahaya. Bukan dari bahaya rampok ataupun kemalingan, tapi dari bahaya kecerobohan dan kebodohan yang selalu dilakukan tanpa disadarinya."Pria berkulit kuning langsat, berusia 33 tahun itu memang jauh lebih dewasa di banding Rafa meskipun usia mereka sama. Tumbuh bersama selama belasan tahun membuat Liam mengerti, bahwa uang dan kekuasaan dapat membutakan segalanya. Rafa memang pria yang pandai berbisnis dan mempunyai hoki di dalamnya. Tapi tidak dengan lingkungan yang penuh toxic di sekitarnya. Liam merasa harus membuka paksa mata bodoh Rafa yang tidak bisa melihat jelas siapa kawan dan siapa lawan yang sebenarnya.***Sesampainya di penthouse mewah dua lantai, Rafa mendengus kesal ketika hanya mendapati seorang asisten pribadi bernama Diba yang sudah melayaninya sejak kecil. Diba sendiri terheran mendapati majikannya yang pulang jam 9 malam. Biasanya, majikannya itu akan pulang tengah malam atau bahkan jam 1 atau 2 dini hari."Kemana Pevita?" tanya Rafa ketika dia berjalan melewati anak tangga. Diba berada di belakang membuntutinya."Nyonya masih belum pulang, Tuan." Pandangan Diba menunduk. Enggan menunjukkan wajahnya di depan Rafa yang tengah menoleh ke arahnya.Rafa mendengus kesal. "Apa biasanya dia memang pulang selarut ini?""Benar, Tuan.""Kenapa tidak ada yang memberitahuku?""Karena Nyonya yang menginginkannya, Tuan." Meskipun Diba takut pada kemarahan Pevita, tapi dirinya lebih takut melihat kemurkaan majikan yang berada dihadapannya itu.Wajah Rafa menggelap setelah mendengarnya. "Baiklah, siapkan air hangat untukku. Aku akan mandi," titahnya pada Diba.Tepat ketika tengah malam. Pevita terlihat datang dengan jalan sempoyongan di bawah penerangan yang remang-remang. Lampu ruang tengah memang dimatikan karena sudah tak ada orang yang beraktivitas, namun samar-samar Rafa yang tengah duduk si sofa ruang tengah dapat melihat bahwa yang tengah berjalan adalah sang istri.Ketika langkah Pevita akan menaiki anak tangga, mendadak langkahnya terhenti karena lengannya di cekal oleh tangan berotot."Kenapa baru pulang jam segini? Darimana saja, hah?"Pevita memicingkan mata untuk menelusuri siapa gerangan yang beraninya menanyai dirinya dengan nada tinggi. "Oh! Rafa? Kau sudah pulang?"Tercium bau alkohol yang begitu menyengat, membuat kening Rafa mengernyit. "Bau apa ini? Kau mabuk?"Pevita tak menghiraukan pertanyaan Rafa. "Lepasin, Rafa! Aku mau masuk kamar dulu, aku udah ngantuk."Rafa membuntuti Pevita yang masih jalan sempoyongan ketika lanjut menaiki anak tangga. Sesampainya di kamar, Pevita langsung menghamburkan diri di atas ranjang tanpa melepas sepatu dan mengganti pakaiannya."Vita! Mandi dulu! Badanmu bau alkohol!" titah Rafa pada istrinya.Pevita hanya menggeliatkan badan dan bergumam tak jelas."Pevita!"Kali ini Rafa tak sabar. Dia menyalakan lampu kamar dan membalikkan istri badannya untuk membangunkannya. Namun betapa terkejutnya ia melihat banyak bekas cupang yang menghiasi leher dan dada istrinya."Ini... siapa yang melakukannya, Vita!" teriak Rafa. Wajahnya terlihat murka.Pevita terduduk dengan mata tertutup. Dia mengacak rambutnya kasar. "Ah, kau berisik, Rafa! Kenapa menanyakan hal yang biasanya tidak kau tanyakan?" tanyanya tanpa dosa. Lalu berlalu melewati Rafa untuk menuju ke kamar mandi.Rafa mengacak rambutnya frustasi. Sial! Hal yang biasa katanya?Tubuh Rafa melemas saat dirinya mencoba bangun setelah ketiduran di sofa tadi siang. Rafa mengusap wajahnya lalu mengambil ponsel. Diusapnya layar ponsel yang menunjukkan pukul setengah empat sore. "Sudah lebih dari tiga jam ternyata aku ketiduran," gumamnya lirih. Banyak pesan yang masuk di ponselnya tak membuat Rafa ingin segera membuka. Dia memilih memijit pelipis kepalanya yang berdenyut-denyut dengan pelan. Memang hal yang tak biasa bagi Rafa untuk tidur siang, terlebih dia tidur selama kurang lebih tiga jam. Setelah itu ketukan pintu disertai suara salam kembali terdengar. "Assalamu'alaikum."Rafa menajamkan pendengarannya, merasa pernah mendengar suara tamu tersebut di suatu tempat. "Wa'alaikumsalam," serunya seraya mencoba bangkit berdiri.Dengan langkah sedikit terhuyung, Rafa berjalan dengan pelan karena penglihatannya juga terasa berkunang-kunang. Rafa menyipitkan mata karena efek sakit kepala yang dirasakannya."Siapa ya-" Suara Rafa terhenti saat ia membuka pintu dan m
"Apa sekarang kau juga berani mempertanyakan keputusanku sekarang, Xavier?" Liam tak kalah berani dihadapan Xavier. Liam sungguh merasa tersinggung dengan ucapan Xavier, seolah Xavier benar-benar sedang merendahkan dirinya.Sial! Xavier memaki dirinya dalam hati. Rupanya Liam bukanlah pria yang mudah untuk dihasut. Liam lebih sulit dari Rafa yang mudah dibohongi. "Tidak, Pak."Liam menghela napasnya berat, dia mendudukkan pantat di atas kursi dan menatap seksama wajah Xavier dan Rafa. Sesaat Liam melihat gelagat Rafa yang menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Xavier. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini selama kau mau untuk diajak bekerja sama."Kening Xavier mengerut dalam, merasa aneh dengan Liam. "Kerja sama?""Ya. Kau tahu Berlian Company bukan?" Mata Xavier berbinar mendengar kata Berlian Company. Berlian Company merupakan perusahaan yang sudah menduduki peringkat pertama di dalam negeri sebagai perusahaan terbesar. Terlebih Aliee-sang istri memiliki hubungan pertemanan dengan
"Hentikan!"Seruan dari arah eskalator seketika membuat gerakan Xavier terhenti di udara. Semua orang ikut menatap ke arah seruan tersebut dengan tercengang, mengubah ekspresi wajah mereka menjadi tegang.Kedatangan sang bos pengganti membuat suasana menjadi dingin dan mencekam. Hawa amarah menyelimutinya saat ia berjalan mendekat. "Apa yang sedang kau lakukan, hah?" teriaknya murka. Tatapan Liam begitu tajam, seolah ingin mencabik-cabik wajah Xavier secara sadis."P-pak Liam." Bergetar bibir Xavier saat bersuara. Ia tak menyangka, Liam dapat menampilkan wajah murka yang begitu menyeramkan. Ingin rasanya Xavier kabur dan berlari menjauh dari hadapannya.Jika semua orang sedang bergidik ngeri melihat kemurkaan yang ditampilkan di wajah Liam, berbeda dengan Pevita yang memang sejatinya angkuh, menganggap Liam sebelah mata hanya karena Liam dulunya adalah sahabat Rafa. Tak sedikitpun kepala Pevita menunduk rendah untuk menunjukkan rasa hormatnya."Aku tanya apa yang kau lakukan pada Rafa
Rafi menatap Lina dengan tatapan heran. Sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan dari budhenya itu. "Memangnya kenapa budhe? Kayaknya om tadi baik deh."Lina mencebikkan mulutnya, matanya masih melirik ke arah jalan yang dilalui Rafa tadi. "Memangnya kamu anak kecil tahu apa? Kita ini gak boleh sembarangan akrab dengan orang yang belum kita kenal, Rafi!" Pandangannya beralih pada Rafi. "Apalagi kamu ini anak kecil, bisa-bisa diculik kamu sama dia! Mau kamu, diculik sama om-om tadi?"Rafi menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Gak mau budhe, Rafi takut!""Makanya, nurut aja apa kata budhe, Ya?"Rafi hanya menganggukkan kepala dan menggenggam erat jari Lina yang menariknya pergi dari tempatnya berdiri.***"Aku ingin kau mengetes rambut ini untukku."Rafa datang tiba-tiba, menatap serius ke arah Liam yang tengah sibuk menatap layar laptop. Kening Liam mengernyit saat menatap plastik berisi dua helai rambut yang disodorkan oleh Rafa tepat di sebelah laptopnya. "Ini milik siapa?""Pu
"Siapa yang kau maksud?" tanya Liam menaikkan satu alisnya.Rafa hanya diam, enggan mengucapkan sebuah nama yang telah membuatnya patah hati. "A..!" Liam menepuk tangannya satu kali saat ia sudah mendapat jawaban nama yang dimaksud oleh Rafa. "Apa yang kau maksud itu Dewi?"Melihat reaksi Rafa yang hanya diam, sudah pasti jika jawaban Liam benar. Liam menghela napasnya, lalu mendekati Rafa. "Lupakanlah dia." Hanya itu kata-kata penghibur dari Liam untuk sahabatnya. Seharusnya Rafa bisa membuatnya sederhana, jika Dewi sudah tak ingin bersama Rafa, maka seharusnya Rafa tak perlu menangisi semua itu. "Wanita akan terus lari jika pria semakin giat mengejar. Satu-satunya cara hanyalah melepaskan dan dia akan kembali padamu dengan sendirinya.""Aku sudah melakukan itu dulu, tapi nyatanya dia tak juga kembali."perasaannya pada Dewi sudah terlalu dalam hingga membuatnya susah untuk menghapus segala kenangan yang sudah dibuat bersamanya. Apalagi Dewi pergi meninggalkannya tanpa alasan yang j
Kecanggungan sangat terasa diantara Dewi dan Rafa yang kini tengah berada di halaman belakang rumah Dewi. Berpisah terlalu lama membuat keduanya bingung untuk sekedar mengutarakan isi pikiran masing-masing. Padahal, dulunya mereka adalah sepasang kekasih yang saling menyayangi dan mengasihi. Rafa sempat tertegun melihat banyaknya bunga anyelir yang menjadi penghias belakang rumah. Mengingatkannya akan masa lalu yang menyenangkan sebelum Dewi pergi meninggalkannya. "Apa-""Sebenarnya-"Keduanya bersuara diwaktu yang sama, semakin menambah kecanggungan diantara mereka. Rafa menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. "Kau saja yang duluan bicara.""Sebenarnya apa tujuanmu tiba-tiba datang di acara seperti ini?" Dewi merasa was-was akan maksud kedatangan Rafa yang secara tiba-tiba datang dan mengikuti acara warga. Dewi hapal tentang Rafa secara keseluruhan, baik sifat ataupun watak dalam diri Rafa. Bukan satu atau dua jam Dewi mengenal Rafa, melainkan bertahun-tahun lamanya ia kenal d