Diego dan Kevin berlarian memasuki rumah sakit. Diego terus menelpon Andrea untuk menanyakan ruangan sang istri."Mama." Diego menghampiri dan menyambut tangan sang ibu."Istrimu di dalam sedang ditangani dokter dan teamnya. Doakan agar ia selamat," ucap Andrea.Diego berbalik menatap tajam pada sang keponakan yang tersenyum kecil menatapnya. "Paman … tadi aku–""Tutup mulutmu!" Anggota keluarga yang lain terkejut saat mendengar Diego membentak Abelin. Andrea mengusap lengan sang putra. "Jangan memarahinya," ucap lembut Andrea."Aku mau dengar kronologinya," kata Diego.Andrea menjelaskan sesuai yang ia tahu. Rahang Diego mengeras, ia yakin kalau di apel tersebut diberi racun oleh Abelin."Apa kakek tahu masalah ini?" tanya Diego menatap Andrea. Ibunya mengangguk pelan. Dia terus menenangkan putranya. "Kau pasti sengaja, kan, Abelin?" tanya Diego penuh penekanan."Aku tidak melakukan apa pun," bantah Abelin tenang.Kevin mengamati raut wajah gadis itu. Kondisi seperti ini dia masih
Abelin yang terkejut, tangannya bergerak cepat hendak menyimpan pisau miliknya. Namun, tajamnya pisau itu menggores lengan Alexa hingga berdarah."Siapa kau sebenarnya?" sergah Diego.Abelin sigap menghindar, wajahnya yang tertutup selendang yang dililit ke kepala itu membuat Diego tak mengenalinya. Apalagi Abelin datang dengan menggunakan pakaian serba baru dan sengaja memilih pakaian yang jauh berbeda dari pakaian yang biasa ia pakai.Aksi tangkap-menangkap itu membuat Abelin terpaksa melukai sang paman, dia juga melempar beberapa barang di dalam ruangan itu kepada Diego. Diego menangkap tubuh Abelin dari belakang. "Siapa yang mengirimmu?" Tangan Diego menarik selendang, ia sedikit kesulitan karena Abelin yang memberontak. Gadis itu sedikit memutar tubuhnya, dia melindungi wajah dengan satu tangannya dan menendang pusaka berharga milik Diego. Pekikan itu menggema, Diego memegangi pusaka kelelakian miliknya. Abelin berhasil lolos."Sialan!" geram Diego. "Astaga!" Diego berjalan se
Andrea mendekat saat ia menyadari menantunya itu membuka mata. "Alexa, kau sadar, Sayang." Andrea mengusap lembut tangan istri dari anaknya.Alexa mengamati wajah Andrea. "Ma, apa aku masih hidup?"Andrea mengangguk. "Tuhan mengabulkan doa kami. Kau mau minum?"Alexa mengangguk. Andrea mengambilkan air minum, dia membantu menantunya untuk bangun. "Suamiku di mana?" tanya Alexa lirih."Aku di sini," sahut Diego yang baru saja memasuki kamar rawat sang istri.Ia tersenyum, menghampiri Alexa dan mengecup kening istrinya dengan lama. 'Tuhan, aku ingin tetap hidup. Aku ingin terus bersama pria ini,' batin Alexa.Andrea mengusap pundak Diego. "Mama tunggu di luar saja, ya. Beri makan untuk Alexa agar dia punya tenaga," ujar Andrea.Diego menatap lekat wajah Alexa. "Aku bersyukur kau selamat. Maafkan aku, Alexa.""Ini bukan salahmu. Aku yang kurang hati-hati."Diego membujuk istrinya untuk makan terlebih dahulu. Meski ia begitu penasaran dengan kejadian yang membuatnya takut kehilangan sang
Diam-diam Abelin memasuki kamar Carlos Diego, dia menatap pakaian yang tergeletak di atas kasur besar dengan headboard kayu yang berukir bunga mawar dan bercat warna maroon. Dia berjalan perlahan sambil menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang tahu bahwa dia berada di kamar sang paman.Dia raih celana dalam berwarna putih tulang dan mengendusnya perlahan. Senyumnya terbit menimbulkan lesung di kedua pipinya.Matanya berbinar kala mendengar suara gemericik air di dalam ruangan sebelah kanan. Langkah kakinya membawanya menuju ruangan tersebut, dia buka perlahan pintu kokoh itu. Menampilkan bilik kecil berbahan kaca tebal yang temaram. Dia menggigit bibir bawahnya yang kecil dan merah sempurna. Menatap lekat gerakan tubuh yang tengah asyik mandi tanpa tahu ada orang yang memperhatikannya.Diego menyanyi sambil menggosok tubuh atletisnya, dia menikmati pancuran shower. Dia matikan pusat keran, lalu menyibak rambutnya dan menarik handuk putih dan melilitkannya pada bagian pinggang.
Meski tubuh Abelin kecil, namun gerakannya sangat gesit. Dia terus menunjukkan cinta yang bergelora kepada Diego. Karena kesal diperlakukan seperti itu, Diego membanting tubuh Abelin dan mengikat kedua tangan gadis itu dengan gesper yang ada di kasur. "Kau ini benar-benar keterlaluan!" Diego menampar pipi Abelin agar keponakannya itu tersadar. Abelin menangis terisak. Dia berulang kali menggelengkan kepalanya. "Paman … jangan marah! Aku hanya bercanda!" "Bercanda katamu! Kau gadis yang tolol!" hardik Diego. Dia segera memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, lalu meninggalkan Abelin sendirian di kamarnya. Dengan tergesa dia berlari kecil menuruni tangga dan keluar rumah dari pintu samping, menuju mobil jeep dan mengendarai mobil tersebut keluar dari pekarangan rumah. "Kenapa Paman tidak mengerti juga dengan semua perhatianku selama ini?" isak Abelin memandang nanar kepergian Diego dari kaca besar yang ada di kamar itu. Di perjalanan, Diego terus memikirkan tindakan bodoh Abelin
Mengetuk pintu perlahan, Diego dengan tenang berdiri di depan pintu. Pelayan membukakan pintu dan mempersilakan Diego masuk."Apa kakekku sudah tidur?""Dia menunggu kepulangan Tuan Muda," sahut pelayan dengan menundukkan kepalanya.Diego melangkah mendekat. "Kakek, kau belum tidur?"Punggung Tuan Gerardo bergerak, dia segera duduk dan menatap sang cucu. "Ada apa? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tebak Tuan Gerardo.Diego duduk di samping kakeknya. "Tidak perlu mencemaskanku! Aku akan selalu oke untuk kau, Kakek."Suara tawa terdengar dari Tuan Gerardo, Diego tersenyum kecil. "Tidurlah, ini sudah malam," kata Diego.Dia memastikan sang kakek tertidur, barulah ia kembali menuju kamar pribadinya di lantai 3.Diego memilih menyegarkan diri. Dia pandangi dirinya di kaca yang ada di kamar mandi. Lampu kamar mandi tiba-tiba padam, membuat Diego berhati-hati.Dia melirik ke ventilasi, terdapat cahaya dari luar. Artinya lampu di kamarnya masih menyala, hanya lampu di kamar mandi itu yang p
Jose mengangguk, meski dia tidak mengerti tempat yang disebutkan oleh Diego. Tak penting baginya, sekarang bisa berteman dengan orang kaya seperti Diego, itu bagus untuk kedepannya. Joana, istri dari Jose mengajak Diego untuk bergabung menikmati santapan hasil dari kebun. Joana mengolah sayuran yang dia petik di kebunnya sendiri. Diego mengangguk kecil saat mencicipi hidangan, dia memuji dalam hati masakan orang desa yang sangat kental akan rempah-rempah. "Apa pekerjaanmu?" tanya Diego di tengah acara makan mereka. Tatapannya tertuju pada Joana. Joana menoleh pada sang suami, kemudian menatap Diego dan menjawab, "Hanya membantu Jose di kebun." Diego mengangguk kecil. Dia menyudahi makannya dan menatap serius pada dua orang yang ada di hadapannya. "Apa kau mau bekerja untukku? Aku akan membuat restoran di daerah sini, kau bisa jadi koki?" Mata Joana berbinar, dia menatap senang dan memeluk Jose. "Aku bersedia," jawabnya sambil tersenyum menatap pemuda tampan itu. Tamu yang memb
Alexa terkejut saat tangannya ditarik paksa. Matanya melebar dengan ketakutan yang teramat. Air matanya jatuh, tubuhnya gemetar ketakutan. "Hei, siapa kau? Berikan dia padaku!" kata Lukas dengan menebas-nebas ranting dan tanaman liar yang menghalanginya. Dia sedikit berlari ke arah Alexa yang sudah berada di sisi Diego. Tanpa aba-aba, Diego melepaskan satu peluru sebagai peringatan. Suara memekakkan telinga membuat jantung Alexa semakin getir. Dia sulit bernapas dengan benar, Alexa meremas dadanya sekuat mungkin. Lukas terperanjat dan memegangi kakinya, dia takut kakinya terluka terkena tembakan dari orang asing. Lukas memandang sengit pada Diego, dia tak takut meski berhadapan dengan pistol yang ditodongkan langsung oleh Diego. Dia malah berjalan menantang dengan seringaian yang mengerikan. "Berikan dia, kau akan keluar dari desa ini dengan selamat," kata Lukas dengan percaya diri karena kini di belakang Diego sudah ada 2 anak buahnya. Mata Diego memicing kala mendapati orang lain