Diam-diam Abelin memasuki kamar Carlos Diego, dia menatap pakaian yang tergeletak di atas kasur besar dengan headboard kayu yang berukir bunga mawar dan bercat warna maroon. Dia berjalan perlahan sambil menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang tahu bahwa dia berada di kamar sang paman.Dia raih celana dalam berwarna putih tulang dan mengendusnya perlahan. Senyumnya terbit menimbulkan lesung di kedua pipinya.Matanya berbinar kala mendengar suara gemericik air di dalam ruangan sebelah kanan. Langkah kakinya membawanya menuju ruangan tersebut, dia buka perlahan pintu kokoh itu. Menampilkan bilik kecil berbahan kaca tebal yang temaram. Dia menggigit bibir bawahnya yang kecil dan merah sempurna. Menatap lekat gerakan tubuh yang tengah asyik mandi tanpa tahu ada orang yang memperhatikannya.Diego menyanyi sambil menggosok tubuh atletisnya, dia menikmati pancuran shower. Dia matikan pusat keran, lalu menyibak rambutnya dan menarik handuk putih dan melilitkannya pada bagian pinggang.
Meski tubuh Abelin kecil, namun gerakannya sangat gesit. Dia terus menunjukkan cinta yang bergelora kepada Diego. Karena kesal diperlakukan seperti itu, Diego membanting tubuh Abelin dan mengikat kedua tangan gadis itu dengan gesper yang ada di kasur. "Kau ini benar-benar keterlaluan!" Diego menampar pipi Abelin agar keponakannya itu tersadar. Abelin menangis terisak. Dia berulang kali menggelengkan kepalanya. "Paman … jangan marah! Aku hanya bercanda!" "Bercanda katamu! Kau gadis yang tolol!" hardik Diego. Dia segera memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, lalu meninggalkan Abelin sendirian di kamarnya. Dengan tergesa dia berlari kecil menuruni tangga dan keluar rumah dari pintu samping, menuju mobil jeep dan mengendarai mobil tersebut keluar dari pekarangan rumah. "Kenapa Paman tidak mengerti juga dengan semua perhatianku selama ini?" isak Abelin memandang nanar kepergian Diego dari kaca besar yang ada di kamar itu. Di perjalanan, Diego terus memikirkan tindakan bodoh Abelin
Mengetuk pintu perlahan, Diego dengan tenang berdiri di depan pintu. Pelayan membukakan pintu dan mempersilakan Diego masuk."Apa kakekku sudah tidur?""Dia menunggu kepulangan Tuan Muda," sahut pelayan dengan menundukkan kepalanya.Diego melangkah mendekat. "Kakek, kau belum tidur?"Punggung Tuan Gerardo bergerak, dia segera duduk dan menatap sang cucu. "Ada apa? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tebak Tuan Gerardo.Diego duduk di samping kakeknya. "Tidak perlu mencemaskanku! Aku akan selalu oke untuk kau, Kakek."Suara tawa terdengar dari Tuan Gerardo, Diego tersenyum kecil. "Tidurlah, ini sudah malam," kata Diego.Dia memastikan sang kakek tertidur, barulah ia kembali menuju kamar pribadinya di lantai 3.Diego memilih menyegarkan diri. Dia pandangi dirinya di kaca yang ada di kamar mandi. Lampu kamar mandi tiba-tiba padam, membuat Diego berhati-hati.Dia melirik ke ventilasi, terdapat cahaya dari luar. Artinya lampu di kamarnya masih menyala, hanya lampu di kamar mandi itu yang p
Jose mengangguk, meski dia tidak mengerti tempat yang disebutkan oleh Diego. Tak penting baginya, sekarang bisa berteman dengan orang kaya seperti Diego, itu bagus untuk kedepannya. Joana, istri dari Jose mengajak Diego untuk bergabung menikmati santapan hasil dari kebun. Joana mengolah sayuran yang dia petik di kebunnya sendiri. Diego mengangguk kecil saat mencicipi hidangan, dia memuji dalam hati masakan orang desa yang sangat kental akan rempah-rempah. "Apa pekerjaanmu?" tanya Diego di tengah acara makan mereka. Tatapannya tertuju pada Joana. Joana menoleh pada sang suami, kemudian menatap Diego dan menjawab, "Hanya membantu Jose di kebun." Diego mengangguk kecil. Dia menyudahi makannya dan menatap serius pada dua orang yang ada di hadapannya. "Apa kau mau bekerja untukku? Aku akan membuat restoran di daerah sini, kau bisa jadi koki?" Mata Joana berbinar, dia menatap senang dan memeluk Jose. "Aku bersedia," jawabnya sambil tersenyum menatap pemuda tampan itu. Tamu yang memb
Alexa terkejut saat tangannya ditarik paksa. Matanya melebar dengan ketakutan yang teramat. Air matanya jatuh, tubuhnya gemetar ketakutan. "Hei, siapa kau? Berikan dia padaku!" kata Lukas dengan menebas-nebas ranting dan tanaman liar yang menghalanginya. Dia sedikit berlari ke arah Alexa yang sudah berada di sisi Diego. Tanpa aba-aba, Diego melepaskan satu peluru sebagai peringatan. Suara memekakkan telinga membuat jantung Alexa semakin getir. Dia sulit bernapas dengan benar, Alexa meremas dadanya sekuat mungkin. Lukas terperanjat dan memegangi kakinya, dia takut kakinya terluka terkena tembakan dari orang asing. Lukas memandang sengit pada Diego, dia tak takut meski berhadapan dengan pistol yang ditodongkan langsung oleh Diego. Dia malah berjalan menantang dengan seringaian yang mengerikan. "Berikan dia, kau akan keluar dari desa ini dengan selamat," kata Lukas dengan percaya diri karena kini di belakang Diego sudah ada 2 anak buahnya. Mata Diego memicing kala mendapati orang lain
"Dengar Alexa, ikuti semua perintahku. Berpura-puralah menjadi istri yang baik di depan keluarga besarku. Sisanya kau akan belajar sendiri dan segeralah menyesuaikan kondisi." Diego menatap lekat pada gadis muda itu. Itu adalah keputusan terbaik untuknya jika ingin kembali ke kediaman Gerardo.Alexa mengangguk patuh. Lagipula apa yang bisa dia perbuat? Hidupnya kini telah dibeli oleh pemuda itu. Ayahnya sendiri yang menjualnya. Meski dia tahu, Carlos Diego, laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu telah menolongnya dari Lukas, si ayah yang kejam."Sekarang kau bisa kembali, Nex."Nex mengundurkan diri dan membiarkan sepasang pengantin baru itu melewati malamnya."Tuan, apakah aku harus memakai pakaian ini terus hingga besok pagi?" Alexa yang bingung, mau tak mau memilih bertanya."Oh, astaga! Aku lupa." Diego membuka pintu lemari dan memberikan gaun indah untuk sang istri. "Selama kita di desa ini, kita akan tinggal di rumah ini. Dan kau, bebas melakukan apa saja asal jangan kelua
"Perkenalkan ini istriku, Alexa Irene."Sontak saja pengumuman Diego membuat anggota keluarga yang tengah berkumpul menjadi tercengang."Beraninya kau!" bentak Tuan Gerardo murka. Dia berdiri dengan menghentakkan tongkat kayunya pada lantai.Andrea dan Teo ikut berdiri, bahkan ibu Diego memejamkan matanya saat sang suami juga ikut tersulut emosi mengetahui putra satu-satunya itu menikah dadakan tanpa memberitahu anggota keluarga."Ayah, sebaiknya kau istirahat saja. Biar aku yang memberi hukuman pada Diego," kata Teo yang begitu khawatir dengan Tuan Gerardo yang memegangi dadanya."Anak nakal ini, apa yang dia pikirkan?" keluh Tuan Gerardo.Diego menahan kesedihannya melihat sang kakek yang marah padanya. Bahkan Diego mempertaruhkan kesehatan sang kakek. Bagaiman lagi dia tidak bisa keluar dari masalahnya sendiri, apa lagi berbagi pada anggota keluarga. Kelakuan Abelin menjadi aib tersendiri bagi Diego."Maafkan aku Kakek," kata Diego. Matanya mengisyaratkan sesuatu yang tidak dipaham
Diego menceritakan masalah yang mengganggunya belakangan ini. Kevin mendengarkan dengan serius. "Kau yakin keponakanmu begitu? Ah, maksudku, kau yakin dia terobsesi padamu?" tanya Kevin.Diego mengangguk lesu. "Aku tidak tau kapan waktu dia berubah seperti itu? Mungkinkah karena dia beranjak dewasa dan salah menempatkan rasa cinta?" tebak Diego."Ini aneh! Aku rasa dia ada kelainan jiwa," cela Kevin. Ia tidak berharap salah mendengar penuturan dari sahabatnya. Namun, jika kondisi begitu panas, jelas keputusan menikah dadakan itu bisa jadi penyelamat."Aku akan memantau perubahan sikap Abelin, dia belum tahu masalah ini karena masih les di luar dan kemungkinan akan kembali nanti malam," kata Diego."Kau harus berhati-hati! Tidak, maksudku istrimu lah yang harus berhati-hati. Mendengar cerita darimu, aku sanksi kalau keponakanmu itu bisa menerima kehadiran Alexa," ujar Kevin. Ia segera menenggak sisa minumannya."Bawa aku untuk melihat seperti apa wanita yang membuatmu mengakhiri masa l