Selamat Malam 🤍 Selamat Membaca, semoga kalian suka karya ini 🤍
“Mama.. Pevita?” sapa Clay. Kini dia sudah berada di ambang pintu rumah ayahnya. Hendak menanyakan perihal pembelian rumah yang sempat dia dengar dari mulut Kazuya tadi malam.Selama beberapa detik, tak terdengar sahutan dari dalam rumah. Clay kembali mengetuk pintu. Namun tetap saja tak ada jawaban. Akhirnya memutuskan untuk lewat pintu belakang. Sayangnya, pintu belakang pun dalam kondisi terkunci.Apa keluarganya sedang berada di luar rumah?Clay menghela nafas panjang. Meraih ponsel dari dalam tas dan segera mengirim pesan singkat pada Meghan. Tak menunggu lama, balasan pun datang.[Mama lagi perjalanan pulang. Tunggu saja, sebentar lagi juga sampai. Pas sekali ada hal yang mau mama omongin.]Setelah membaca pesan balasan, akhirnya Clay memutuskan untuk menunggu di teras rumah.Menit berlalu, Meghan tak kunjung muncul. Clay bolak-balik melihat pada jam di layar ponsel. Sudah hampir satu jam berlalu, langit pun terlihat semakin gelap.Apakah lebih baik dia menunda pertemuan ini? Cl
“Jika memang kamu pernah melakukannya dengan Elodie, apa kau bisa pastikan tak meninggalkan benihmu di rahimnya? Ibu curiga Clay memiliki darah yang sama dengan keluarga kita.”Ucapan terakhir Bertha yang masih terngiang-ngiang di pikiran Martin. Meskipun tadinya dia mengelak akan pernyataan ibunya.“Tak mungkin, Bu. Aku hanya melakukannya sekali dengan Elodie. Mustahil jika langsung jadi.”“Walaupun sekali, jika Elodie dalam masa subur maka semua itu bisa terjadi.”Mengapa Martin terlambat menyadarinya? Bahkan saat dulu dia memaksa Elodie melakukan pergumulan terlarang itu, masih teringat dalam pikirannya jika dirinya tak menggunakan pengaman.Jika memang benar benihnya tertinggal di rahim Elodie, lalu mengapa justru wanita itu pergi meninggalkannya? Bukannya menuntut pertanggung jawabannya, justru menikahi pria lain.Martin mengusap wajahnya dengan kasar. Hal penting yang sempat diabaikan, justru kini mengganggu pikirannya. Andai Elodie masih hidup, maka dia akan menemui wanita itu
Ucapan terakhir Kazuya masih terngiang-ngiang di otaknya. Sikap lembut juga perlindungan layaknya seorang suami yang bertanggung jawab, kini membuat hati Clay resah.Meski usia Kazuya jauh lebih muda dari Rafael, namun sikap keduanya sangat bertolak belakang. Usia hanyalah angka dan tak bisa menjadi tolak ukur bagi seorang dianggap telah dewasa.Setelah melakukan pergumulan panas, bahkan Kazuya yang membopongnya ke kamar mandi seakan tak ingin membuat istrinya itu kesulitan dengan lukanya yang hanya luka kecil. Kini Clay tengah berbaring di atas ranjang, matanya menatap ke langit-langit kamar dengan pikiran menerawang.Entah semenjak kapan pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang Kazuya. Sekeras apapun Clay berusaha menepis pikirannya, rasa asing itu semakin tumbuh. Bahkan lebih kuat dari rasa yang pernah dia miliki untuk Rafael. Namun tembok di hatinya masih belum sepenuhnya terbuka. Rasa kecewa menorehkan trauma dalam diri Clay. Takut untuk memulai hubungan baru.Clay bangkit dari pos
Kazuya menelan saliva yang tercekat di tenggorokan. Sorot mata tajam menatap pria di hadapannya dengan amarah yang membuncah.“Kita hanya tak sengaja bertemu, ingat itu!” Clay meraih tasnya dengan kasar. Lalu meminta Kazuya untuk melanjutkan langkah.Meski sebenarnya Kazuya ingin membuat perhitungan dengan lelaki bejat tak tahu malu itu, namun melihat kondisi sang istri yang sakit membuatnya urung melakukan.Mereka harus melewati satu tangga lurus hingga sampai ke lantai dasar. Suasana hati Kazuya yang dibuat memanas setelah pertemuan dengan Rafael, akhirnya memutuskan untuk menggendong Clay meski wanita itu berusaha memberontak.“Kaz, turunin aku! Aku masih bisa..”“Aku suamimu! Jangan membantah!” pungkas Kazuya dengan rahang mengeras, menahan amarah.Clay terdiam, membuang pandangannya ke samping. Hingga langkah Kazuya tiba di sisi mobil.“Buka pintunya!” perintah Kazuya pada Clay yang masih berada dalam gendongannya.“Turunin aku! Aku bisa..”“Aku bilang buka pintunya!” perintah Ka
Bola mata Clay melebar setelah melihat kehadiran pria yang duduk di sebelahnya. Dia bahkan sampai berdiri ketika pria itu menggeser tubuhnya hingga lengan mereka saling bersentuhan. “Hubungan kita sudah berakhir! Jangan temui aku?” Suara Clay teredam oleh dentuman musik keras. Namun masih terdengar di pendengaran sang pria. “Bukankah ini tempat umum? Tak ada satu orang pun yang berhak melarangku kesini. Dan tadinya aku ingin mencari kesenangan di sini. Ternyata tanpa sengaja melihat mantan kekasihku sedang duduk di sini, sendirian.” Rafael menepuk sofa di sebelahnya, “duduklah!” perintahnya seraya mengulas senyum lebar. Clay merasa tengah berada di situasi terpojok. Ingin rasanya pergi meninggalkan tempat itu, namun ketika melihat ke arah Marisa yang tengah asyik berjoget, Clay pun urung melakukannya. Akhirnya Clay kembali duduk, tapi bukan ke tempat duduknya yang tadi, melainkan kursi tunggal di depan Rafael. Clay terdiam membuang pandangannya ke samping, dengan perasaan was-was
Kazuya melenguh frustasi. Satu kota sudah hampir dikelilingi untuk mencari keberadaan sang istri, namun hasilnya nihil. Kemana lagi dia harus mencari? Tak ada sanak saudara Clay yang Kazuya kenal, selain hanya ibu dan saudara tirinya saja. Kazuya berusaha mengingat teman dekat Clay di kampus. Istrinya itu bukanlah orang memiliki banyak teman. Seingat Kazuya, hanya ada satu gadis yang sering menemani istrinya itu. Tetapi siapa namanya? Bahkan Kazuya tak memiliki kontak dari teman dekat Clay yang bisa dihubungi. Hari sudah semakin larut, Kazuya menepikan mobil di bahu jalanan sepi. Melihat pada jam yang bertengger di pergelangan tangan. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul tujuh. Waktu makan malam tak lama lagi, tentu Oma Bertha sudah menunggunya di rumah. Dia bahkan tak berani untuk melihat ponsel yang terus bergetar karena panggilan masuk, yang mungkin saja dari Oma Bertha. Kazuya mengusap wajahnya, melenguh frustasi. Kini dia merasa berada di jalan buntu. Kazuya tak sabar jika ha