Kamar kontrakan sempit kini dipenuhi aroma makanan dalam rantang yang telah terbuka. Di atas lantai beralaskan tikar tipis, Clay duduk bersila menyendok nasi dan lauk pemberian Felicia. Wajahnya terlihat lebih cerah, setiap suapan seolah menghapus rasa lelah.“Kamu gak makan?” tanya Clay melirik pada Kazuya yang justru diam memandangnya.Kazuya menggeleng pelan, “kamu duluan, aku ntaran.”Clay mencibir, rongga mulutnya masih dipenuhi makanan. Segera menyendok nasi dan lauk, lalu mengarahkan ke depan mulut Kazuya.“Kamu harus cobain! Masakan Bu Felicia sangat enak,” pinta Clay setelah menelan makanan dalam mulutnya.Kazuya tak langsung mengiyakan, justru menatap sang istri dengan alis bertaut.“Aku bisa..” belum selesai berucap, Clay memasukkan sesendok makanan ke mulut Kazuya. Membuat mata sipit Kazuya sedikit melebar.“Gimana? Enak kan?” tanya Clay dengan alis naik turun.Kazuya mengangguk. Memang tak diragukan, masakan pemilik kontrakan memiliki cita rasa yang menggunggah selera. Ta
“Kazuya..” Suara Clay menyentak kesadaran Kazuya.Clay melepaskan diri dari pelukan sang suami, kali ini Kazuya tak menahannya.“Hum, ya sayang?” Kazuya mengalihkan pandangannya pada Clay. Berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan seutas senyum tipis.“Udaranya semakin dingin. Ayo kita masuk!” pinta Clay seraya mengusap pelan lengan Kazuya.Setelah melihat Kazuya mengangguk, Clay lantas memutar tubuh. Mendahului Kazuya masuk ke dalam kamar.Kazuya tak langsung mengikuti sang istri, tubuhnya masih terpaku di depan pagar balkon kayu. Tatapannya menyapu kembali ke arah ujung gang, tempat sosok pria misterius tadi berdiri. Namun hanya dalam sekejap sosok itu lenyap, seperti ditelan gelapnya malam. Tanpa suara, tanpa langkah.Kazuya menarik nafas panjang, dadanya terasa sesak.“Ada sesuatu tak beres di tempat ini,” batin Kazuya.Perasaan itu semakin menekan, seakan menuntut untuk segera mengambil keputusan sebelum hal buruk terjadi.Tatapannya mengeras, sejurus kemudian gumamnya terde
Mata sipit Kazuya sedikit melebar. “Felicia?” “Ya, nama pemilik kontrakan ini. Ibu yang tadi, Kaz.” Netra Kazuya bergerak ke atas, berusaha mengingat wajah sang pemilik kontrakan. Lalu kembali menatap sang istri. “Benarkah? Aku malah gak tahu. Kalau menurutmu memang seperti itu, ya mungkin saja.” Kazuya kembali memeluk Clay, seolah tak pernah puas. Bibirnya mulai menelusuri lembut ceruk leher sang istri. Wangi parfum vanila yang selalu membuatnya candu. Aroma yang selalu mampu menenangkan hatinya di tengah keterpurukan. Clay terdiam, tubuhnya sempat menegang karena keintiman yang mendadak itu. Namun perlahan melembut, seiring sentuhan Kazuya yang merambat pelan, memancing sesuatu dalam dirinya. Kelopak mata Clay perlahan tertutup, menyerahkan dirinya dalam dekapan pria yang begitu rapuh namun begitu mendominasi. “Ssshhh…Ka-kazuya..” desah Clay di ambang batas kesadaran. Setengah ingin menahan, setengah lagi pasrah dalam gelombang hasrat yang diciptakan Kazuya. Clay tak menolak
“Maaf, apa benar di sini masih ada kontrakan kosong?” Suara Kazuya memecah keheningan.Wanita paruh baya itu tak langsung menjawab, namun tatapannya tak beralih sedikitpun dari pria yang berdiri di depannya.Garis dahi Kazuya mengerut dalam, melihat sikap wanita yang terlihat aneh menurutnya.“Bu..” panggil Kazuya seraya melambaikan tangannya di depan wajah sang pemilik kontrakan, hingga kesadarannya kembali.Wanita itu mengangguk pelan, sebelum akhirnya bersuara.“Masih ada satu kamar kosong, apa kalian mau menyewa?” ucap wanita itu dengan suara terdengar serak.“Kalau boleh, kami mau menyewanya Bu,” jawab Clay santun.Tatapan pemilik kontrakan pun beralih pada Clay. Mata tuanya mengamati Clay dari wajah hingga ujung kaki, menelisik dalam. Sejenak Clay merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Tangannya mengeratkan dalam genggaman Kazuya. “Baiklah, ikut saya! Kamarnya ada di lantai atas,” jawab wanita itu seraya memutar tubuhnya, melangkah ke arah tempat penyimpanan kunci di samping
Empat jam terasa begitu panjang bagi Kazuya. Punggungnya pegal, matanya berat, sementara pikirannya terus bergulat dengan banyak hal. Clay juga terlihat letih, meski berusaha menyembunyikannya dari Kazuya. Begitu bus berhenti di terminal kota tujuan, keduanya bergegas turun. Udara malam menyergap, hawa dingin menusuk tulang. Suasana terminal terlihat masih ramai. Di tengah hiruk pikuk itu, Kazuya menuntun sang istri menuju tempat yang lebih sepi seraya memikirkan langkah selanjutnya.Clay merogoh ponsel dari tas kecilnya, mencari kontak Marisa. Niatnya hanya ingin meminta bantuan Marisa untuk mencarikan kontrakan murah.Namun hingga beberapa kali menelepon, tak ada jawaban. Selama beberapa bulan terakhir, semenjak kepergian Clay yang sangat tiba-tiba, kontak dengan Marisa pun ikut terputus. Saat itu, Clay tak ingin orang lain tahu akan kondisi dan keberadaannya.Nada sambung di ponsel Clay kembali terputus, Marisa tak kunjung mengangkat telepon. Nafas Clay mulai memburu, kegelisahan
Martin akhirnya melangkah ke arah pintu, memutar knop pintu untuk mencari tahu orang yang berada di balik pintu.“Tuan Martin, maafkan saya mengganggu waktu anda. Den Kazuya dan nona Clay, mereka sudah pergi,” ucap Hasan dengan wajah gusar dan nafas tersengal.Martin terdiam. Wajahnya tak berubah, tetap datar dan dingin. Tak ada keterkejutan, tak ada kepanikan, seolah kabar itu bukan hal yang berarti.“Aku sudah tahu,” jawab Martin singkat. Suaranya tenang terkontrol, seakan benar-benar sudah merelakan.Hasan menatapnya heran. “Tuan, apa anda tidak berniat menyusul mereka? Masalahnya mereka pergi dengan berjalan kaki, tidak menggunakan mobil,” tanyanya hati-hati.Martin menggeleng samar, “tidak perlu, biarkan mereka menentukan jalan hidupnya sendiri.”Dengan tenang, Martin menutup kembali pintu kamar. Berdiri membelakangi pintu, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapannya kosong, namun hatinya bergemuruh hebat. Martin merasa ada bagian dari dirinya yang ikut