Share

Rencana Pernikahan

Tidak pernah terbayangkan oleh Elsa jika dirinya akan dipertemukan dengan orang paling menyebalkan macam Erick Bramasta. Memaksanya untuk menikah dengan dirinya dalam waktu yang sangat singkat.

Dan bukan hanya itu saja, Erick bahkan sudah memberitahukan hal itu pada kakaknya, Lina tanpa memberitahukan hal itu pada dirinya. Tanpa berunding lebih dulu, Erick juga sudah memberitahukan pada Lina jika mereka akan datang ke rumahnya.

“Apa-apaan ini?” batin Elsa.

Elsa duduk di dalam mobil milik Erick. Duduk di kursi belakang di samping Erick dengan bibir mengerucut. Kini mereka sedang dalam perjalanan ke rumah kakaknya Elsa, Lina Meheswari.

“Jangan tunjukkan raut wajah seperti itu di hadapanku,” perintah Erick.

“Kenapa kamu selalu memutuskan semua sendiri?” tanya Elsa dengan nada kesal.

“Karena aku tidak mau berdebat denganmu lagi,” jawab Erick dengan santainya.

“Setidaknya beritahukan aku lebih awal agar aku bisa bersiap,”  protesElsa.

“Aku juga sudah memberitahukan itu padamu lebih dulu,” ucap Erick tidak mau kalah dengan Elsa.

“Iya, tapi kamu memberitahukannya 5 menit sebelum kita pergi,” ucap Elsa.

“Sama saja, 'kan.”

Elsa menggeram seraya mengepalkan kedua telapak tangannya. Ingin sekali ia meninju wajah Erick yang menyebalkan itu. Tampan, tetapi sangat menyebalkan.

“Sudah selesai marahnya?” Erick melirik sekilas ke arah Elsa.

“Apa pedulimu? Lagi pula aku akan selalu merasa kesal jika selalu ada di dekatmu,”  ucap Elsa.

Erick menyunggingkan senyum tipisnya. “Aku tidak perduli dengan perasaanmu. Aku hanya peduli dengan pandangan terhadapku.”

“Apa maksudmu?”

“Jika kakakmu melihat kamu dalam keadaan seperti itu, lalu apa tanggapan kakakmu kepadaku nantinya.” Erick berbicara dengan nada dingin.

“Lalu apa aku pikir aku peduli dengan itu,” balas Elsa tidak mau kalah.

Kini giliran Erick yang mendengkus. Erick menatap wajah Elsa dan memberikannya tatapan tajam.

“Jangan tunjukkan raut wajah menyeramkanmu itu di depan keluargaku nanti.” Elsa memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan mematikan dari Erick.

Dan setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan atau perdebatan di antara Elsa maupun Erick.

Tidak lama Elsa dan Erick tiba di kediaman Lina. Keduanya turun dari mobil secara bersamaan.

“Reza, jangan lupa turunkan barang-barang yang sudah aku beli tadi,” perintah Erick.

“Baik, Tuan.” Reza membungkukkan sedikit badannya.

Elsa melongo melihat barang-barang yang baru saja Reza keluarkan dari bagasi mobil. Salah satunya adalah sebuah mainan berbentuk helicopters berukuran sedang lengkap dengan remote control.

“Apa ini?” tanya Elsa.

“Apa kamu tidak bisa melihatnya?” tanya Erick dengan nada dingin.

“Maksudku untuk siapa mainan ini?” Elsa mencoba bersabar untuk menghadapi sikap dingin Erick.

“Anak kecil yang pernah aku tunjukan fotonya padamu,” ujar Erick.

“Gevan?" Erick langsung mengangguk.

“Gevan itu anak berumur 5 tahun. Bagaimana dia bisa memainkan ini?”

“Kenapa? Ada papanya yang bisa bermain dengan dia, 'kan?” Erick melihat reaksi Elsa dan ada tawa kecil di sudut bibirnya.

“Atau kalau kamu mau ... aku akan mengajaknya untuk bermain mainan ini denganku.” Erick bicara di dekat telinga Elsa membuat tubuh Elsa merinding.

“Tidak usah, terimakasih untuk tawarnya. Aku tidak ingin Gevan menjadi anak yang menyebalkan seperti dirimu,” tolak Elsa mentah-mentah.

“Terimakasih untuk pujiannya.”

Elsa menghentak-hentakan kakinya ke tanah. Elsa merasa frustrasi jika harus berhadapan dengan sikap Erick yang tidak mau kalah.

Pandangan Erick menuju pada Elsa yang masih merasa kesal. Tanpa permisi Erick menarik pinggang Elsa untuk mengikis jarak di antara mereka.

“Apa kamu ingin menunjukkan kepada keluargamu kalau kamu sedang merasa tersiksa? Ayo tunjukan senyummu,” suruh Erick.

Elsa berdecak sebelum menjauhkan tubuhnya dari Erick. Setelah itu Elsa melingkarkan tangannya ke lengan Erick. Sebelum melangkahkan, Elsa lebih dulu menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk tersenyum.

Erick yang melihat itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis.

“Ternyata kamu pandai berakting juga ya.” Pujian Erick terdengar seperti sindiran di telinga Elsa.

“Ayo kita masuk sekarang!” ajak Elsa.

Sampai di depan pintu, Elsa dan Erick disambut oleh Lina dan juga Abian. Elsa pun langsung memeluk Lina.

“Kakak apa kabar?” tanya Elsa.

“Kakak baik, El. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?” tanya balik Lina.

Elsa menarik diri dari pelukan itu.

“El juga baik, Kak,” jawab Elsa.

Pandangan Lina dan Abian beralih kepada Erick. Bagi mereka suatu kehormatan orang seperti Erick mau mengunjungi rumah mereka.

“Selamat datang di rumah kami, Tuan Erick Bramasta,” sambut Lina dan Abian.

“Jangan sungkan. Kalian bisa memanggilku dengan nama saja. Lagi pula aku calon adik ipar kalian, 'kan,” ucap Erick.

“Baiklah, kalau begitu ... Erick silahkan masuk,” ajak Lina dengan senyum canggungnya.

Langkah keempat orang itu menuju ruang tengah. Mereka melanjutkan obrolan mereka di tempat itu.

“Kamu jahat sama kakak, El. Kamu sudah kembali ke negara ini, tapi tidak pernah main ke sini. Dan sekarang kamu membuat kami terkejut mendengar kabar rencana pernikahan kalian,” ucap Elsa.

Elsa sebenarnya bingung akan menjawab apa. Elsa diam seraya berpikir kata-kata yang akan dia ucapkan pada kakaknya.

“Kami sengaja ingin membuat kejutan pada kalian,” ucap Erick.

Elsa langsung menoleh ke arah Erick, mempertemukan pandangnya dengan calon suaminya.

“Baiklah, kalian sudah membuat kami terkejut. Ayo kita makan malam bersama, kami sudah menyiapkan makan malam untuk kalian,” ucap Lina segera dianggukki oleh Elsa dan juga Erick.

“Mami Elsa.”

Langkah mereka terhenti saat ada suara anak kecil memanggil Elsa. Anak kecil itu adalah Gevan. Elsa langsung menolehkan pandangannya ke arah Gevan.

“Halo, Mami Elsa,” sapa Gevan.

Elsa membungkukkan badannya. Tangannya mengusap sisi wajah Gevan. Wajah Gevan mirip sekali dengan Abian. Selama ini Elsa hanya melihat Gevan melalui foto dan juga panggilan video. Kini Elsa merasa senang bisa melihat Gevan secara langsung.

“Halo, Gevan. Apa kabarmu?” tanya Elsa.

“Baik, Mami,” sahut Gevan. “Mami Elsa bagaimana kabarnya?”

“Baik, Sayang.” Elsa menarik hidung Gevan karena gemas pada anak kecil itu.

“Halo, Gevan,” sapa Gevan.

Gevan dan Elsa menoleh ke arah Erick.

“Aku bawakan mainan untukmu.” Erick memberikan mainan yang ia beli sebelumnya.

Gevan menerima mainan itu dengan rasa bingung. Pandangannya pun tidak lepas dari Erick.

“Gevan, ucapkan terimakasih pada papi Erick,” suruh Abian.

“Terimakasih, Papi Erick.”

“Sama-sama.” Erick mengusap kepala Gevan dengan senyum tipis pada bibirnya.

“Ternyata dia bisa tersenyum manis juga,” batin Elsa.

Gevan melompat-lompat setelah mendapatkan mainan yang terbilang mahal itu.

“Gevan selalu memanggil Elsa dengan sebutan 'mami', jadi ... saya harap kamu tidak keberatan jika Gevan memanggilmu dengan sebutan 'papi,” ucap Abian.

“Tentu saja tidak. Setelah aku menikah dengan Elsa, dia juga akan menjadi anakku.” Erick senang melihat reaksi Elsa, Lina, dan Abian.

Lina dan Abian sedikit terkejut mendengar perkataan Erick. Namun, mereka mencoba menutupinya dengan senyum mereka.

“Sudahlah, kita lanjutkan obrolan ini nanti saja. Kita makan malam dulu sebelum makanannya dingin,” ucap Lina.

Elsa dan Erick mengangguki ucapan Lina. Keduanya pun mengikuti langkah pasangan suami-istri itu.

Malam semakin larut, acara makan malam pun sudah selesai. Sebelum Erick dan Elsa pulang, Erick memberitahukan pada Lina dan Abian tentang rencana pernikahannya dengan Elsa

“Sebelum kami pulang, saya ingin memberitahukan pada kalian tentang rencana pernikahan kami ....” Erick menjeda ucapannya.

Pandanganya ia mengarah pada Elsa yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih telapak tangan Elsa dan menggenggamnya.

“Kami akan menikah 2 minggu lagi,” ucap Erick.

Meksi merasa terkejut, Lina nampak sangat bahagia. Akhirnya adiknya akan menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status