Share

Mendadak Punya Cucu
Mendadak Punya Cucu
Penulis: Yuliana Lathif

Bab Satu

Ibu Pov 

**************

"Mbak, buruan ke Jakarta! Kalila mau melahirkan."

Mendadak lututku terasa lemas, setelah mendengar perkataan Ima, adik perempuanku yang tinggal di Jakarta, melalui sambungan telepon.

Bagaimana tidak? Kalila putri sulungku tiba-tiba dikabarkan akan segera melahirkan. Berbagai perasaan pun berkecamuk dalam benakku. Terutama merasa gagal sebagai orang tua dalam mendidik anak.

"Mbak, Mbak?" panggil Ima. Entah sudah berapa kali.

"Iya, Im," jawabku dengan susah payah mengendalikan diri.

"Mbak, bakal ke sini, kan? Pokoknya Mbak harus ke sini. Aku gak mau tahu. Aku gak mau dibuat malu di hadapan keluarga suamiku. Anak Mbak emang keterlaluan," maki Ima dengan berapi-api. Setelah itu memutuskan sambungan telepon tanpa berpamitan terlebih dahulu.

Ponsel dalam genggaman seketika terlepas dan terjatuh hingga layarnya pun retak. Tanganku terulur mencari pegangan. Pikiranku sungguh kacau. Bahkan tidak tahu harus berbuat apa.

Kenapa aku sama sekali tidak menyadari kehamilan Kalila? Padahal 5 bulan lalu, ia sempat mengambil cuti untuk pulang. Namun, saat itu aku sangat yakin perutnya masih rata. Bahkan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda seperti orang hamil kebanyakan. Seperti morning sickness, atau pun meminta sesuatu layaknya perempuan sedang ngidam.

Hanya saja, ia sempat mengutarakan niatnya untuk menyewa Apartemen yang dekat dengan tempat kerjanya. Menurutnya jarak rumah Ima dan kantor tempatnya bekerja lumayan jauh. Butuh satu setengah jam perjalanan untuk bisa sampai. 

Hal itu pun dibenarkan oleh Ima sendiri. Oleh karena itu, ia pun setuju dengan pemikiran Kalila. Karena Ima pun tak tega melihat Kalila yang nampak begitu kelelahan apabila pulang bekerja.

"Kamu yakin mau tinggal sendiri?" tanyaku pada hari itu. Ketika Kalila menyampaikan keinginannya.

"Yakin, dong, Bu," jawabnya tanpa ragu.

"Ibu, kok, khawatir ya."

"Bu, Lila tinggalnya di Apartemen, kok. Keamanannya pasti terjamin. Lagian Lila udah gede. Gak enak juga lah, Bu, masa numpang terus di rumah Tante Ima. Apalagi itu, kan, rumah suaminya. Suka segan sama keluarga Om Amar, kalau lagi pada berkunjung." Kalila memberi penjelasan yang cukup masuk akal.

Pernah juga kuusulkan agar Kalila pindah mencari pekerjaan yang dekat dengan rumah Ima saja. Akan tetapi, menurutnya saat ini ia sudah nyaman dengan pekerjaannya. Juga gajinya yang lumayan besar. Kalaupun melamar lagi, belum tentu dapat juga. Maka dari itu, Kalila tidak ingin mengambil resiko dan lebih memilih untuk mencari tempat tinggal yang dekat dengan kantor, meskipun dengan cara sewa.

Kalila bekerja disebuah perusahaan Asing. Dengan gaji yang cukup besar. Sehingga mampu menghidupi dirinya secara pribadi, bahkan bisa membantuku membiayai sekolah adiknya, yakni Kirana. Yang saat ini masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Profesi yang ia geluti saat ini, tak lepas dari bantuan Amar, suami Ima. Yang merekomendasikan Kalila pada teman-temannya yang juga menjadi pengusaha maupun petinggi-petinggi di perusahaan besar.

Beberapa kali, kami pun berkomunikasi lewat telepon. Kalila bilang, saat ini sedang menabung agar bisa memiliki unit sendiri. Karena katanya, tempat tinggalnya itu sangat nyaman dan aman. Tentu saja sebagai orang tua, aku hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untuknya. Tak lupa pula berbagai petuah kusampaikan pada putriku yang mulai dewasa itu.

Tak kusangka, jika hari ini Kalila justru mencoreng muka keluarga dengan kelakuannya yang seperti dikatakan Ima barusan, keterlaluan. Dan pastinya ini berlaku untuk Ima juga. Tentu dia merasa malu pada suami dan keluarganya, karena selama ini telah membawa dan menampung Kalila di rumahnya. Aku bisa mengerti mengapa Ima begitu murka saat tadi mengabariku tentang kondisi Kalila saat ini.

Sudah tak ada waktu untuk banyak berpikir, segera kulangkahkan kaki menuju kamar. Dengan gerakan tergesa, kuraih koper di atas lemari. Tanganku cekatan mengemas beberapa pakaian yang akan kubawa ke Jakarta tanpa perlu memilah-milah lagi. 

Yang ada dalam pikiranku sekarang adalah harus segera menemui Kalila. Selain untuk melihat kondisinya, aku juga harus meminta penjelasan darinya. Bagaimana semua ini bisa terjadi, bahkan tanpa sepengetahuan Ima sebelumnya.

Ketika hampir selesai kegiatanku mengemas pakaian, pintu kamar terbuka. Sosok yang sama sekali kulupakan itu masuk dengan tatapan terkejut. Aku yakin pasti hatinya pun bertanya-tanya.

Namun, semua itu tak kuhiraukan. Karena, otakku sungguh teramat sangat kacau. Sehingga tetap melanjutkan pekerjaanku sampai selesai.

"Bu, Ibu mau kemana? Kenapa bawa koper segala?" Suamiku memberondongku dengan pertanyaan.

Dengan satu tangan di pinggang dan satu lagi meraup wajah secara kasar, aku kemudian menatap wajah suamiku dengan berbagai perasaan yang campur aduk.

Bila kukatakan yang sejujurnya, aku takut ia akan marah besar. Namun, bila tidak dikatakan pun, cepat atau lambat suamiku juga pasti akan tahu, dan bahkan mungkin amarah akan lebih memuncak pada saat itu.

"Kita harus ke Jakarta, Yah," kataku, semakin membuat keningnya belipat-lipat.

"Ke Jakarta?" Aku mengangguk. "Apa sesuatu terjadi sama Lila?" tanyanya kemudian.

"Iya," jawabku singkat.

"Lila kenapa? Kecelakaan? Sakit?" Suamiku mengguncang kedua pundakku, sembari memasang raut penuh kecemasan.

"Kalila melahirkan."

_________________________

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status